1. Syarat yang Harus Disetujui

1318 Words
Kini, Nuca sudah berada di sebuah rumah mewah yang akan membawanya bertemu dengan orang itu. Orang yang membuatnya dendam setengah mati. Ia sengaja meminta bertemu di rumah keluarga Sandiaga Group karena ada misi lainnya yang tengah ia incar. Keluarga itu harus menyetujui syarat yang akan ia katakan nanti jika ingin ia menyetujui kerjasama ini. Licik? Dalam bisnis tidak ada kata licik, selagi itu menguntungkan maka haruslah dilakukan. Dalam kamus bisnis, hal semacam ini sudah tentu sering terjadi. Nuca tidak buta dalam hal melihat berita semacam itu yang sering bertebaran di majalah, televisi ataupun koran. Dan kini, dirinya lah yang akan menjadi pusat perhatian dari berita itu. Pria itu berdiri dari duduknya ketika sang tuan rumah telah datang, dengan gaya sopan serta formalnya ia menyapa sang tuan rumah. Nuca sejenak menghilangkan pendaran kebenciannya hanya agar ia tidak terlihat memiliki tujuan lain. Pria itu memang sangat pandai menyembunyikan perasaan hati yang sebenarnya, sengaja hal itu Nuca pelajari. Agar orang lain tak bisa memahami perasaan Nuca yang sebenarnya. Hanya ia yang boleh mengerti luka lama yang ia rasakan, orang lain tak perlu tahu karena mereka sama sekali tak pernah merasakan. Ditinggalkan orang-orang yang begitu Nuca sayangi sejak kecil, itu begitu menyakitkan. Sakitnya bahkan sampai sekarang. "Selamat siang, Pak Sandiaga," sapa Nuca sambil menjabat tangan pria paruh baya di hadapannya. "Siang juga, Pak Nuca. Merupakan kehormatan yang besar Anda mau berkunjung ke kediaman kami," balas Sandiaga tersenyum menatap calon rekan bisnisnya. "Selamat siang juga, Bu Yulia." Yulia yang merupakan istri Sandiaga ikut menjabat tangan Nuca. "Siang juga, Pak Nuca. Terima kasih karena sudah berkunjung ke kediaman kami," ucap sang nyonya rumah. "Kebetulan di dekat sini saya ada pekerjaan, saya juga tahu dari asisten saya kalau rumah Pak Sandiaga dekat. Jadi saya memutuskan mampir sekaligus membahas kerjasama perusahaan kami, tidak masalah jika saya membahasnya di rumah, Tuan dan Nyonya?" tanya Nuca. Pria itu berbohong, ia sama sekali tak ada pekerjaan di dekat sini. Ia memang sengaja datang ke sini karena ingin melihat kondisi keluarga itu secara langsung. Dan benar sekali dugaannya, keluarga itu begitu bahagia sekali. Berbeda dengan keadaan hatinya yang hancur, bahkan sejak dulu. Sama sekali tidak adil, mereka berbahagia di atas penderitaan Nuca. Nuca bersumpah kalau ia akan membalas rasa sakitnya, mereka semua harus merasakan apa yang ia rasakan. "Tidak apa-apa, kami justru senang sekali dengan kedatangan Anda, Pak. Silakan duduk," ucap Sandiaga sambil tersenyum. "Baik, terima kasih." Nuca kembali duduk. "Saya kembali ke dalam, ya? Kebetulan ini sudah jam makan siang, apa Pak Nuca ingin bergabung bersama kami? Masakannya sebentar lagi selesai," ucap Yulia menawarkan sesuatu hal yang memang Nuca inginkan. 'Makan siang? Boleh juga, itu bisa membuat kami lebih akrab dan tentunya akan membuatku lebih mudah memuluskan semua rencana yang sudah aku susun dengan rapi.' Nuca membatin dalam hati sambil tersenyum menyeringai. "Saya tidak enak merepotkan keluarga kalian," ucap Nuca pura-pura tak enak hati. "Tidak, kami sama sekali tidak merasa repot. Kalau Pak Nuca tidak keberatan, Anda bisa makan siang bersama keluarga kami," balas Yulia menyanggah kalau Nuca sama sekali tak merepotkan. "Baiklah, terima kasih banyak kalau begitu." Yulia mengangguk, wanita paruh baya itu pergi dari ruang tamu menuju dapur. Kini tinggal Nuca dan Sandiaga saja yang ada di sini, suasana yang semula ramah kini beralih menjadi lebih formal. Yulia tadi memang sengaja meninggalkan dua orang itu karena sadar setelah ia pergi, maka bisnis akan dibahas. Wanita paruh baya itu sama sekali tidak ikut campur dalam urusan bisnis suaminya, ia hanyalah seorang ibu rumah tangga yang tentunya akan patuh atas segala keputusan suaminya. Sandiaga menatap Nuca sambil tersenyum, pria paruh baya itu jelas tahu Nuca memang sengaja datang ke sini. Bukan kebetulan yang pria itu katakan, ia sedikit peka mengenai itu. "Saya yakin Anda memang sengaja datang ke sini, bukan kebetulan. Benar begitu, Pak Nuca?" tanya Sandiaga membuat Nuca tertawa pelan. "Bapak memang benar-benar tahu tentang hal itu, baiklah saya tidak akan menutupi hal itu lagi kalau begitu. Saya memang sengaja datang ke sini, apa Anda keberatan?" Sandiaga hanya menggeleng pelan. "Tidak, sama sekali tidak. Lagipula bukan Anda saja yang menggunakan cara seperti ini, sudah ada beberapa yang melakukan hal seperti ini. Saya cukup merasa tersanjung karena Anda berkenan datang ke kediaman saya, saya sudah tahu banyak mengenai Anda. Anda merupakan orang yang super sibuk, sangat jarang sekali Anda bisa meluangkan waktu untuk bertemu dengan klien secara langsung. Benar begitu?" Lagi dan lagi Nuca tertawa pelan. "Anda ternyata sudah tahu banyak mengenai saya, berarti tidak ada yang perlu saya perkenalkan lagi secara resmi karena Anda jelas tahu mengenai hal itu," balas Nuca. "Jadi, apa syarat Anda agar perusahaan saya bisa bekerjasama dengan perusahaan Anda?" tanya Sandiaga yang kini sudah membahas pokok yang akan mereka bicarakan, apalagi kalau bukan mengenai bisnis? "Saya hanya meminta satu syarat saja yang harus Anda setujui jika Anda ingin perusahaan kita bekerjasama," jawab Nuca. Pria itu menaruh sebuah dokumen di atas meja, Sandiaga langsung membuka dokumen itu dan membacanya dengan teliti. "Anda ingin menikahi putri saya?" tanya Sandiaga ketika selesai membaca dokumen itu. "Iya, saya sempat bertemu beberapa kali dengan putri Anda. Dia merupakan sosok gadis yang sangat cantik, kami sama sekali belum sempat berkenalan karena saya memandangnya dari jauh." Lebih tepatnya Nuca mencari tahu semua tentang putri Sandiaga melalui orang suruhannya. Bertemu? Mereka bahkan sama sekali belum pernah bertemu, itu hanya alibi Nuca saja agar Sandiaga tak curiga. "Beberapa kali bertemu dengannya saya tertarik, dan ketika Anda mengajukan kerjasama dengan perusahaan saya. Saya memiliki sebuah harapan, Anda tentu saja mengerti apa yang sedang saya bicarakan?" tanya Nuca menatap pria paruh baya di hadapannya dengan senyum ramahnya. "Pernikahan bisnis maksud Anda?" tanya Nuca. "Yup, bukankah pernikahan karena bisnis sudah sering terjadi? Anggap saja ini adalah sebuah permintaan seorang calon menantu pada calon mertuanya, jika Anda berkenan menjadikan saya menantu Anda," ucap Nuca yang sudah percaya diri sekali kalau Sandiaga pasti akan setuju. "Anda benar-benar percaya diri, khas sekali seorang Giannuca," balas Sandiaga. "Putri saya itu begitu penurut, ia pasti akan menyetujui semua keputusan yang saya lakukan jika itu demi kebaikan semuanya. Mendengar Anda mengatakan hal itu, saya merasa yakin kalau Anda pasti akan membahagiakan putri saya. Tapi ada satu pertanyaan saya, Anda begitu mapan dan tampan, mengapa malah memilih putri saya?" tanya Sandiaga. 'Karena dendamku padamu, bukan orang lain.' "Cinta tidak bisa diprediksi akan jatuh pada siapa, Anda pasti paham maksudnya," ujar Nuca masih mempertahankan senyumnya membuat Sandiaga tertawa. "Anak muda zaman sekarang memang berbeda. Tanpa perlu berbasa-basi lagi, saya menyetujui syarat dari Anda." Tanpa basa-basi, Sandiaga menandatangani surat perjanjian itu. "Semudah itu? Anda tidak ingin mencari tahu mengenai saya terlebih dulu? Siapa tahu saya adalah seorang kriminal?" tanya Nuca setengah bercanda. "Saya percaya, siapa yang tidak kenal dengan Anda? Semua orang yang ada di Indonesia mengenal Anda, bahkan dari luar negara saja mengenal Anda. Anda merupakan calon menantu yang sangat potensial, jelas saja sangat disayangkan 'kan kalau saya menolak tawaran Anda yang pastinya sudah ditunggu-tunggu oleh pebisnis lainnya?" Memang benar, banyak sekali pebisnis yang mengincar Nuca. Menginginkan Nuca menjadi menantu mereka, tetapi Nuca sama sekali tidak tertarik. Ia hanya memiliki seorang mantan kekasih, tetapi hubungan mereka kandas karena Nuca ingin fokus membalaskan dendam ayahnya. "Anda bisa saja, saya sama sekali tak sehebat itu." "Jangan merendah, kalau begitu ayo kita ke ruang makan. Sepertinya makan siang sudah siap, hari ini yang memasak putri saya. Sangat kebetulan sekali karena Anda akan berkenalan dengan putri saya secara langsung," ucap Sandiaga mengajak Nuca pergi ke ruang makan. Sesampainya mereka di ruang makan, benar saja. Makanan sudah tersaji di atas meja, pandangan Nuca tertuju pada sosok gadis cantik yang akan menjadi istrinya. Sosok cantik dan penurut yang mencuri perhatian Nuca. "Ola, kenalkan ini ada rekan bisnis papa namanya Giannuca, Giannuca kenalkan ini putri saya namanya Yolanda." Sandiaga mengenalkan putrinya dengan Nuca. "Ola." "Nuca." Mereka berjabat tangan. Yolanda melepaskan tangannya dari tangan Nuca ketika dirasa mereka sudah berjabat tangan terlalu lama. Nuca tersenyum, jika begini caranya akan sangat mudah membalaskan dendam itu. Ola yang penurut tidak akan bisa menghalangi niatnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD