3. | Ekstrakurikuler Musik

1251 Words
Serangkaian kegiatan bagi calon anggota resmi ekstrakurikuler musik berlanjut. Kini dimulainya satu per satu perkenalan diri di podium, disaksikan kakak kelas dan alumni yang kebetulan hadir. Sepertinya, Chindai sengaja dipanggil Rio, padahal hal tersebut termasuk tugas Michelle. “Oke, kamu … Gloria Pandanayu Chindai. Sebutkan nama, hobi, dan alasan bergabung dengan ekstrakurikuler musik. Usahakan yang menarik, ya, Dek.” Chindai menarik sudut bibirnya. Sama seperti saat mengikuti lomba pidato, ia hanya menganggap orang-orang tak ada, lalu mengoceh sekehendaknya. “Halo, nama saya Gloria Pandanayu Chindai, biasa dipanggil Chindai. Hobi bermain violin. Saya tidak mempunyai alasan bergabung di ekstrakurikuler musik.” “Chindai?” Michelle yang setengah bingung mewakilkan. “Iya, Kak.” “Jawaban kamu ganjil. Tolong beri alasan yang betul.” Suara Rio terdengar tegas, tetapi kentara berusaha tak tertawa. “Sudah betul, Kak,” ujar Chindai sekadarnya. Bagas terpukau oleh kesan yang ditampilkan Chindai kelewat polos dan apa adanya—tak dibuat-buat. Sebelumnya, ia telah menggali informasi, berbincang walau tak lama, bahkan mengakui bagaimana Chindai menggemaskan di matanya. Gadis itu mempunyai atensi yang kuat. “Ikhlas, enggak, mau gabung di sini?” “Iya, Kak. Tepatnya, sih, disuruh.” “Disuruh siapa?” Chindai ragu setelah Michelle mendesaknya jujur, padahal niatnya awal ingin mengerjai Rio. Namun, ia tetap menjawab, “Kakak yang barusan ngomong.” “Rio?” Bagas menyahut, sedangkan Rio yang dituduh mengacungkan jempol dengan ekspresi datar. Bagas tidak tahu, Rio marah atau memakbulkan tudingan Chindai—calon junior mereka di waktu dekat. “Jadi bisa dibilang terpaksa, dong, Dek?” Michelle menunda catatannya, di mana belum ada perintah selanjutnya dari Rio. Ia tanpa ada arahan mengutarakan pertanyaan yang mengganjal. “Betul?” “Enggak juga, Kak.” “Ngomong selengkapnya, Dek, biar enggak salah paham yang lain,” perintah Rio, susah payah membungkam gelak. “Selengkapnya.” Bagas memenungkan tafsiran Chindai. Kala paham, ia terbahak-bahak sambil memukul bahu Rio yang menggeram karena dipojokkan. “Bagus, Ndai, gue suka! Lo bikin Rio kalah pertama kali!” Chindai menyengir bersama jari yang membentuk huruf V di posisinya berdiri, sementara Chelsea dan Marsha di tempat duduk masing-masing hanya geleng-geleng kepala. “Cerdas.” “Gue suka.” Cakka dan Debo—alumni—yang meluangkan waktu menghadiri agenda adik-adiknya menyambut penerus turut tertarik terhadap keberanian Chindai sebagai angkatan lima belas. “Apa cita-cita Chindai?” tanya Debo iseng. “Orang sukses.” “Chindai, lo jangan bikin malu gue!” Bagas mengernyit keheranan melihat Rio putus asa menghadapi Chindai seakan sudah mengetahui lahir batin. “Lo kenal Chindai, Rio?” Bernapas tenang, Bagas mensyukuri Cakka yang bertanya. “Iya, Kak. Kemaren dikenalkan Kak Bagas,” sahut Chindai, menyengir sesudahnya. “Lo enggak mau kenalan sama Kakak ini yang siap membahagiakan, Dek? ” Cakka tak tanggung-tanggung menunjukkan ketertarikan. “Sudah kenal.” “Siapa?" “Kak Cakka.” “Gue?” Debo tidak tertinggal menggoda Chindai—gadis ceria sekaligus calon penerusnya yang meramaikan suasana. “Kak Debo. Iya, kan?” “Betul ... betul ... betul.” Tawa geli memenuhi ruang musik, Cakka dan Debo pun bertos ria. Hanya butuh satu hari, Chindai tak gagal memperoleh image baik semua kakak kelasnya. Bagas berdeham, meminta perhatian. “Jadi, kalau kemaren gue enggak kenalin sama Rio, lo enggak bakal tahu ketua umum kita?” “Iya, Kak,” jawab Chindai mantap. “Berdosa banget lo, Halimah.” Rio berdesis seraya menggeleng, tak menampik selalu kalah dari Chindai jika adu mulut. Cukup dibuat pusing, Rio mengisyaratkan Michelle agar menyudahi sesi absurd ini. “Selesai, Kak?” tanya Chindai sok polos. “Iya. Terima kasih, Chindai. Silakan berkumpul dengan teman-temannya.” “Terima kasih kembali, Kak Rio Aditya anak Om Dhanny.” Bagas yang memperhatikan di kesunyian mulai dilanda penasaran. Perihal ada apa dengan Chindai dan Rio? *** “Gue punya dua gebetan baru, njay!” “Yang bule atau lokal?” “Semuanya kalau bisa!” “Rakus!” Berada di gedung kelas sepuluh demi tugas, Bagas memandang jengah kedua sahabatnya—Karel Abraham dan Randa Rayyan—yang berjalan di depan. Setiap hari, pembahasan perihal kaum Hawa tidak pernah absen sampai dirinya muak, apalagi semenjak mereka menjadi senior. “Rombongan mereka emang cantik-cantik, sih, Rel. Sayang, duanya udah ada pacar,” seru Randa berkoar-koar. Karel mengangguk tak kalah antusias. “Tinggal si Bule dan si Manis doang, young and free.” “Lo ambil aja si Bule, gue si Manis.” “Tapi si manis benaran menggoda iman.” “Waktu MOS kemaren gue samperin si manis, maksudnya biar doi mau gabung aja di ekstrakurikuler bahasa asing. Rezeki gue banget, kan. Eh, ternyata sudah jadi juniornya Bagas.” Karel berhenti melangkah, menoleh ke belakang saat Bagas mulai mengerling curiga. “Kenapa lo?” “Siapa yang kalian maksud?” “Lho ... kok, lo ngamuk?” tanya Karel, disusul anggukan Randa. “Siapa?” “Rombongan pemenang queen of MOS kemaren,” tutur Randa menerangkan. “Itu, lho, yang agak bule-bule. Nah, temannya calon pacar gue.” “Chindai?” Bagas meneguk salivanya susah payah, sekejap tegang. Randa lanjut bersiul, dan berkata, “Lo, kan, seniornya. Pasti tahu.” “Minta nomor dia, dong, Gas,” sambung Randa penuh harap. “Enggak!” Karel melotot tidak terima, padahal hanya Bagas harapan satu-satunya. “Kenapa, woi? Bantu teman dikit, masa ogah, sih, Gas?” “Langkahi dulu gue.” Sesaat Bagas terkekeh elusif, tetapi tampaknya dapat dipahami baik oleh Karel dan Randa. “Bukan cuma tahu. Gue gak izinkan kalian buat lebih lanjut.” “Maksudnya?” delik Karel tidak suka, tepatnya ingin memastikan. “Mein ziel.” “Machst du ....” Karel memukul belikat Randa sampai menyebabkan sang empu meringis setelah menelaah perbincangan menggunakan bahasa Jerman yang sangat dikuasainya. “Tuh, saingan lo berat!” “Maksud lo ... anjir!” Randa mulai berteriak heboh. “Sumpah, enggak lucu berantem gara-gara cewek!” Bagas mendengkus. Benar apa kata orang-orang, di sini hanya dirinya yang cukup waras. “Gue enggak butuh kalian sebagai pemeran pembantu. Kisah gue enggak bakal klise, remember it.” “No ... no ... no. You know, Gas, sekarang Chindai trending topic di forum sekolah. Artinya, banyak yang incar!” “Enggak bakal dapat.” “Emang lo iya?” “Iya,” balas Bagas berkeyakinan. “Lo enggak mau give up, Gas? Satu ini aja.” Randa tak sepenuhnya serius, bahkan bersiap mengalah bila Bagas benar-benar menyukai sosok yang sedang dibahas. “Enggak.” “Kalau gue?” Randa cengengesan kala Bagas menggeplak kepalanya. “Big no!” Tak lama kemudian, Karel melebarkan tangannya sampai Bagas dan Randa berhenti lagi. “Gue lihat bidadari!” “Nah, iya!” ucap Randa berseri-seri. “Rezeki beut ketemu si Manis!” Bagas bergerak cepat, ditahannya dua manusia itu ke posisi semula. “Kelas pertama ... lo, Rel. Kelas dua ... lo, Ra. Kelas ketiga ... gue.” “Rencana lo licik banget, woi!” titah Randa memprotes. “Ubah, dong, Gas!” “Kagak. Kita mesti hemat waktu.” “Hemat waktu atau lo mau modus?” Dituduh selayaknya melakukan dosa, Bagas memutar bola matanya. “Bodoh amat. Turutin perintah gue.” “Perasaan gue yang ketua OSIS, kenapa kalian—sekbid-sekbid—malah atur gue?” Karel bedecak tak terima. Di pihak lain, Randa menunjuk Bagas dengan garang. “Dia, tuh, ogah ngalah.” “Bye!” pamit Bagas tak acuh berlalu. Pandangannya tertuju ke satu arah, mengulas senyum bertepatan afeksi itu muncul begitu manis. Mari pikiran sesuatu yang pantas disematkan. Inai ... Inai ... calon Inai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD