2. | Cokiber SMA Rajawali

1682 Words
Hari terakhir masa orientasi siswa di SMA Rajawali. Gloria Pandanayu Chindai, atau akrab disapa dengan nama belakangnya itu, sekuat hati mengikuti agenda perkenalan saban ekstrakurikuler kebanggaan sekolah; Paskibra, Palang Merah Remaja, Karya Ilmiah Remaja, Patroli Keamanan Sekolah, dan lain-lain. Namun, satu pun tak ada yang menggugah minat meski diwajibkan. Gadis berciri khas poni pagar dan pipi tembam tersebut duduk sendiri di pojok, mendengar malas-malasan kalimat ajakan serta penjelasan manis bagaimana sebuah harta karun SMA Rajawali berhasil menyandang juara di berbagai perlombaan. “Look at that, he is the center of our school!” “Benar. Kak Bagas terkenal banget di sini! “Gue awal masuk sini, incar banget, tuh, kakak kelas.” “Sumpah, gue pengen foto sama Kak Bagas.” Chindai bergidik oleh jeritan para gadis menyerukan lawan jenis. Chindai sudah cukup pening sebab ponselnya semalaman tidak diam oleh pesan-pesan masuk dari nomor asing—tidak hanya satu dua—untuk bermain game pun tidak tenang. “Selamat pagi menuju siang, adik-adik sekalian yang kami sayangi. Perkenalkan nama saya Rio, ketua umum ekstrakurikuler musik.” “Hai, Kak Rio!” “Halo, semuanya. Saya Michelle, sekretaris.” “Halo, Kak Michelle!” Chindai makin ogah-ogahan walau sedikit santai akibat hal menarik di sebelah kakaknya. Namun, tunggu … Rio datang bersama—. “Saya Bagas.” “Halo, Kak Bagas!” Apa yang tak diindahkan Chindai melebur. Lain sekarang, ia akan mengatakan iya. Tak perlu pemaksaan Rio yang tengah meliriknya nyalang, Chindai pasti mendaftar apa pun caranya. Hanya digunakan figuran pemikat dan … tentu sukses, bahkan Michelle mengoceh panjang lebar tidak dapat mengalihkan perhatian seluruh kaum Hawa. “Sedikit gambaran yang kami jelaskan barusan semoga membuat adik-adik tertarik dan bergabung dengan kami.” Tidak terasa Rio pun menyelesaikan semuanya dengan singkat, padat, dan jelas. “Saya mau gabung, Kak!” “Saya juga!” “Kak, saya mau!” Saat Bagas disuruh Rio membagikan formulir, Chindai semangat mengangkat tangan. Bagian dari ekstrakurikuler musik tidak buruk. Hal tersebut mengagetkan Rio, tetapi tidak ayal terkekeh. Chindai menyeringai membalas tatapan kakaknya itu, lalu fokus mengisi biodata demi niat terselubung yang direncanakan di waktu singkat. “Dek, pulang nanti kumpul, lho, kalau benaran jadi join.” Chindai terperanjat, tidak sadar bila Bagas berdiri di dekatnya. Tak sengaja bertatapan di jarak dekat, ia lantas menggigit bibir bawahnya. Sungguh membikin debaran d**a menggila. “Dek?” Chindai mengerjap, serta merta bertanya pelan, “Di mana, ya, Kak?” “Ruang musik, di gedung organisasi.” “Terima kasih, Kak.” Biar dideskripsikan dari segi fisik. Bagas bukanlah visual sempurna yang sering digambarkan di novel-novel, tetapi kesan wibawa didukung rahang tegas, bulu mata panjang nan lentik, alis tebal, dan segenap vibes lain menjadikan Bagas kelewat memukau untuk remaja yang baru beberapa bulan lalu mendapat surat izin mengemudi. Oh, satu lagi … kacamata Bagas menambah kesan good looking. Jauh dari penggambaran laki-laki nerd pada umumnya. “Gloria Pandanayu Chindai.” Deep voice menggetarkan jiwa. Sekian banyak umat mengeja namanya, hanya seruan Bagas terdengar sempurna. Chindai mesem salah tingkah dipandang Bagas lekat ketimbang sebelumnya. “Iya, Kak. Panggil aja Chindai.” “Iya, gue tahu. Bye the way, lo lucu.” “Ha?” Chindai melongo, sementara pikirannya penuh oleh teka-teki tentang; apakah Bagas tipe-tipe playboy yang melancarkan aksi? “Selamat bergabung dan sampai jumpa, calon Inai yang lugu!” Chindai kenyir menangis, menelaah keberuntungannya hari ini. Maksud Kak Bagas ... calon anggota ekstrakurikuler musik, kan? “I-iya, Kak.” “Sip.” Detik berikutnya, Chindai dibuat hendak pingsan merasakan Bagas mengacak rambutnya hingga berantakan. Detak jantung Chindai bertalu-talu, sedangkan di sekitar timbul bisik-bisik iri. Baiklah, ia wajib mewawancarai Rio, tetangga yang merangkap kakak angkatnya. *** Bel pulang berbunyi setengah jam lalu, tetapi tak membuat SMA Rajawali sepi, justru tambah ramai karena hilir mudik warga sekolah dan sahutan toa bertahap yang memekakkan telinga. Di ruang musik, segenap calon anggota berkumpul, begitu pun para senior terdahulu. Chindai dan sahabat dekatnya—Chelsea Agatha dan Marsha Suciara—kompak memilih, sementara Salma Chitara di ekstrakurikuler lain. Tidak suka keramaian, Chindai sudah nyaris setengah jam bertenggang melamun di bangku jauh dari pandangan, terkesan tersembunyi di balik punggung Chelsea. Ia malas jika harus berbaur. “Jadi, lo pemain violin?” Tidak mampu menghilangkan keterkejutan, Chindai terlonjak di posisi. Sangat tak bisa dipercaya, bahkan Marsha sampai menoleh horor. Demi Dewa Zeus memindahkan Pleiades, Bagas yang lebih dulu menegur dan menghampiri Chindai! Definisinya ... besi meleleh karena api. Maka dari itu, Bagas penyebab Chindai mati perlahan. “Kok diam?” Chindai menyeringai, tampak gamang. “Silakan duduk, Kak. Kursinya kosong,” lanjutnya kala Bagas tak jua mengambil tempat. “I thought you received something else.” “What?” “Gue lihat lo didatangi Randa.” “Randa?” Kening Bagas berkerut sembari menuruti perintah Chindai berdampingan. Senyumnya tak luntur, begitu juga netranya yang terang benderang. “Lo enggak kenal?” “Enggak, Kak,” ungkap Chindai jujur. “Ketua umum ekstrakurikulr bahasa asing.” “Kayaknya lupa, Kak.” Bagas mengendikkan bahunya. “Well, lo pilih UKM yang tepat.” “Iya, Kak.” Chindai bernapas tak tenang sesaat Bagas berulah mencubit gemas pipinya. Tidak ada yang dilakukan Chindai selain mematung sebagai respons sebuah ketidakpercayaan. “Chindai.” “I-iya, Kak?” “Gue boleh panggil lo Chindai aja tanpa embel-embel Dek?” Apa lagi ini, Miskah? Mengabaikan gugup, Chindai menganggut kecil. Rio tidak masalah, tetapi benar ... lama-lama geli bila Bagas memanggil seakan mereka juga adik-kakak. Chindai, kan, penginnya lebih. Eh! “Dek, lo ... oke, enggak jadi!” Panjang umur, Rio tiba-tiba muncul. Saking kagetya, laki-laki yang lebih tua dua tahun di atas Chindai itu menyipit melihat keakraban sepasang tersebut. Sama sekali tidak menduga progres meningkat tajam. “Hai, Kak.” “Hai?” Bagi orang awam, Rio ramah menjawab, padahal terselip pertanyaan besar. Ia geleng-geleng kepala setelahnya, berusaha memaklumi sifat di luar pemikiran Chindai, yakni ingin bersikap tak saling mengenal. “Nama lengkap Gloria Pandanayu Chindai. Kemampuan violin-nya luar biasa. Lo pasti suka,” tutur Bagas memperkenalkan Chindai sekehendak jidat. “Anggota baru, Gas?” Bodohnya, Rio bertanya. Lagi pula, tak seorang pun yang mengenal Chindai sebaik dirinya. “Ndai, ini ketua umum kita. Mario Aditya, dipanggil Rio.” Chelsea dan Marsha bengong, Rio mengatup mulutnya bila tak mau meloloskan tawa, serta Chindai serba canggung. “Saya Chindai, Kak Mario Aditya.” “Mario Aditya?” Rio mengepalkan jemarinya, gereget bukan kepalang. “Lo juga, Gas. Juru bicara?” “Gue salah?” tanya Bagas naif. “Aneh.” “Lo—” Rio berdeham sebelum adik kelasnya itu menjawab lagi, takut-takut gila duluan. “Chelsea, Marsha, ikut gue!” “Siap, Kak!” “Lo kenal mereka?” Bagas berprasangka buruk. Ia mengetahui sahabat-sahabat Chindai itu sebab pegangannya di gugus ketika MOS. “Menurut lo?” Rio tersimpul misterius. Memaki lawannya bebicara akan sia-sia, menerangkan tidaklah berhak, belum tentu juga cepat tanggap. “Chels, Sha, buruan!” “Iya, Kak Rio Aditya anak Om Dhanny!” ucap kedua nama yang diperintahkan berbarengan sebelum beranjak menyusul Rio. Bagas mendelik keheranan, lambat menyerap situasi. Ia baru tenang seiring Chindai menyentuh belikatnya. “Kak.” “Lo kenal Rio, Ndai?” Tuduhan Bagas tepat sasaran, tetapi Chindai memilih menyanggah elegan. “Baru aja Kakak yang kasih tahu Chindai.” “Serius?” “Iya, Kak Nathaniel Bagas Saputra” “Lo tahu nama gue?” Mampus! Chindai menekuk jari-jari kakinya di dalam sepatu. Ditinggal sendirian dan didesak interogasi tidak menguntungkan. Sekarang, pikirkan agar tidak selalu terlihat mencurigakan. “Kan, Kakak femes. Siapa yang enggak kenal?” “Gue enggak femes, Chindai.” “Iya, Kakak.” “Dari mana teman-teman lo tahu Rio, bahkan orang tuanya?” Chindai kebingungan luar biasa, sesaat tak memiliki jawaban apa pun. Di lubuk terdalam, ia mengutuk Chelsea, Marsha, dan Rio yang biasa menyusahkan. “A-anu. Habis kenalan kali, ya, Kak.” “Nama orang tua pun tahu, Ndai?” Bagas terkekeh geli. “Lo pikir mereka mau ijab kabul?” “Pendekatan, maybe.” Chindai menggelitik langit-langit mulutnya, pertanda berdusta bukanlah kelebihannya. “Rakus banget Rio, Ndai, dua sekaligus.” “Besok tambah tiga.” “Pacaran aja belum pernah si Rio,” ujar Bagas pelan. Malapetaka bila sampai di telinga si objek pembahasan. Giliran Chindai tergelak. Fakta tersebut tak harus diperpanjang. “Memangnya Kakak pernah?” “Apa?” “Pacaran.” “Entar, sama lo.” Deg. “Kakak lagi gombal?” Chindai mengap-mengap, serta jantungnya bak dihantam hingga lepas. “Menurut lo?” “Kakak tingkat dan adik tingkat?” “Lo benar enggak paham atau pura-pura lugu, Dek?” Bagas mengecap indra perasanya yang hambar. “Gue kurang gamblang?” “A-gue—” “Bagas, astaga ... gue cari-cari lo!” Selanjutnya, dengus kompak Bagas dan Chindai mengakhiri percakapan keduanya. Michelle tergesa-gesa menghampiri. Lantas Chindai mengakui kekalahannya, berganti memuji kecantikan gadis itu, bahkan menimbulkan insecure. Kemudian, ia menyadari ..., sebagaimana Michelle menatap Bagas tidak lain sejenis usaha meluluhkan hati lawan. Tak salah, saingan utama Chindai. “Kenapa, Chell?” “Dicari Pak John, Karel juga.” “Pak John tadi gue temui. Karel kenapa?” “Lo minggat rapat OSIS, katanya.” “Malas.” Bagas tidak sedikit pun suka ribet—yang ditangkap Chindai dari raut wajah kakak kelas favoritnya. Ia bertahan mengamati interaksi dua sejoli di depan matanya langsung. “Karel marah-marah,” ujar Michelle kendati Bagas melengos melewatinya. “No problem. Tugasnya gue sudah tahu.” Chindai terdiam ditinggal begitu saja, meratapi perginya Bagas dengan Michelle yang terus mengejar. Seharusnya, tidak ada pengganggu supaya Chindai leluasa menelaah sisi lain laki-laki yang disukainya. “Ekhem!” Tak lama kemudian, Rio muncul kembali bersama cengar-cengir yang khas. Chindai melotot, bersiap memborong pertanyaan. “Lo harus cepat jawab, Kak!” Nathaniel Bagas Saputra, namanya. Kelas sebelas dan memegang predikat siswa berprestasi, serta anggota OSIS tersayang sekolah. Selain itu, Bagas belum terdengar dekat dengan gadis mana pun. Rio juga mengungkap bahwa Bagas sering main ke rumahnya tanpa sepengetahuan Chindai. Intinya, menyukai kaum Adam tak seburuk bayangan. Well, apalagi terbalaskan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD