1. | Cekiber SMA Rajawali

1542 Words
Nathaniel Bagas Saputra. Setidaknya, membaca name tag-nya adalah hal pertama yang dilakukan para wajah baru di lingkungan SMA Rajawali. Menyebabkan suasana seolah sedang pembagian sembako, langkah tegas Bagas di sepanjang jalan dianggap cuci mata menghalau terik matahari yang saat ini berada di atas kepala. Namun, laki-laki berperawakan kalem, mata berbentuk almon dengan binar teduh, serta rambut bergaya comb over itu tetap di mode cuek bebek, bahkan rautnya tampak kelelahan luar biasa. Bolak-balik menanggung beban anggota OSIS dan tanggung jawab di ekstrakurikuler musik menguras tenaga lahir batin. Sesekali Bagas menghela napas menyusuri koridor menuju kelompok gugus pegangannya, tidak acuh terhadap terang-terangan riuh kekaguman yang tertuju padanya, alih-alih tak mengharapkan sedikit pun. “Gas, lo dipanggil Kak Rio di ruang musik, tuh!” Bagas memejam rapat, susah payah meredam kekesalan di ujung tanduk, padahal sedikit lagi menyentuh ruangan tempat gugusnya berada. Jangankan menuruti jadwal, absensi saja belum dilakukannya. “Lo lihat, kan, Ran, apa di tangan gue?” Randa Rayyan—yang baru saja memanggil atas perintah orang lain—menggaruk tengkuk selepas melihat bawaan Bagas. Aura rekannya tersebut kini amat sangat menyeramkan. “Eng—coba lo hubungi aja Kak Rio langsung. Jangan marah di gue, dong. Elah!” “Ya sudah, nanti gue urus.” “Lo repot banget?” Randa cengengesan begitu Bagas melototinya. “Gugus gue lagi dikunjungi Karel, makanya gue metu. Lo bisa temui Kak Rio, biar gue rekap lo di sini. Dua atau tiga jam enggak masalah.” Bagas melirik jam tangan di lengan kirinya selagi menimbang-nimbang. “Kalau gue tinggal, bisa aja lama. Gue masih mau temui Pak Adi juga buat pembagian tugas promosi ekstrakurikuler musik besok.” “Sans. Gue pastikan aman.” Bagas mengangguk kecil, mulai agak tenang. Ia menyerahkan berkas-berkas pada Randa, lalu menepuk bahu sahabat dekatnya itu. “Thanks. Gue ke gedung eksrakurikuler dulu, Ran.” “Iyoi. Hati-hati!” Kembali melangkah, tetapi kali ini suara berisik berasal dari kaum Adam di sepanjang menyusuri koridor cukup mengusik pendengaran. Perkenalan lingkungan sekolah berlangsung lima hari—tersisa esok dan lusa, selama itu banyak angkatan-angkatan terdahulu memeriahkan acara untuk sekadar mencari gebetan. “Akhirnya gue tahu nama, tuh, our new cekiber. Gloria Pandanayu Chindai, dipanggil Chindai. Dia masuk gugus Lili, yang pegang beruntung banget. Username media sosialnya gue ketemu, semoga aja di-follback.” “Iya, gila. Untuk kecantikan, memang masih menang Chelsea—si bule bening. Tapi Chindai manisnya kebangetan!” “Ramah juga walau agak-agak judes.” “Bener beut. Fix, gebetan beberapa angkatan, tuh!” “Gue rela habis duit seratus ribu lebih kalau dia ikut putra dan putri sekolah. Tampangnya bikin adem, punya happy smile lagi.” Bagas mengernyih heran. Bisa-bisanya anak baru telah pintar mencari perhatian kakak kelas, entah kelebihan apa yang dipunya. Jujur, Bagas sedang tidak memiliki waktu luang sekadar memperhatikan sekeliling. Dilanda repot sekali. Desas-desus berlanjut di sepanjang lantai dua gedung ekstrakurikuler yang diinjaknya, membuat Bagas terperangah dan berpikir bahwa SMA Rajawali baru saja menerima siswi cantik berprofesi artis remaja terkenal. “Gue berharap juga Chindai masuk putra-putri sekolah.” “Asli. Marching band juga incar dia.” “Sejak kemaren ketua umum bahasa asing gercep caper, sih, biar Chindai tertarik gabung nanti. Beruntung banget kalau benaran.” “Dengar-dengar waktu SMA dia ikut photography, artinya ekstrakurikuler gue lebih punya kesempatan buat gamit Chindai di UKM WPS.” “Asal bisa lihat Chindai saban hari, no problem dia join ekstrakurikuler mana. Gue juga rela, deh, ngantin terus kalau doi di sana.” “Jangan aja tiba-tiba muncul konfirmasi doi ada pacar.” Tak terasa langkah Bagas membawanya ke dalam ruang musik yang berantakan akibat akan direnovasi besar-besaran. Ia mencari sesosok di antara beberapa anggota lain di setiap sudut. Akan tetapi, tidak tampak batang hidung. Saat Michelle Anatasya—sekretaris ekstrakurikuler musik—berjalan mendekat untuk memungut gitar, Bagas bertanya, “Chell, lihat Rio enggak?” “Tuh, belakang lo.” Detik berikutnya, bahu Bagas ditepuk keras hingga dirinya memekik. “Lecek banget muka lo, Gas. Kenapa?” “Pakai tanya segala,” gumam Bagas koersif. “Lo ngapain suruh gue kemari? Lo, kan, tahu gue repot sana-sini. Gugus gue aja enggak keurus, belum absensi siang.” “Lo di sini aja bantu persiapan buat besok. Urusan lo sebagai anggota OSIS sudah disetujui Karel, dia sama Randa yang bakal menggantikan lo.” “Malas banget, Yo.” “Wajib, Gas. Jangan macam-macam lo, ya!” “Enak nian rasan kau.” Bagas berbicara dengan logat bahasa yang hanya dimengerti oleh anak daerah Palembang sepertinya. Mario Aditya adalah ketua ekstrakurikuler musik yang selalu mempercayai Bagas melebihi sekretaris maupun bendahara dalam beberapa hal. Saking akrabnya, Bagas tak segan hanya menyebut nama tanpa embel-embel bermakna kesopanan. Toh, keduanya sangat akrab, dan yang penting saling menghargai. “Ada waktu setengah jam sebelum isoma. Sana, coba lo tanya Pak Adi aja, Gas. Gue pusing, kadang enggak paham ngomong sama beliau.” “Gue lebih pusing, mana dengar orang-orang sebut … siapa itu—” “Chindai?” Bagas berdecak sekali sambil menyandarkan punggungnya di dinding terdekat. “Aish, lo sama aja ternyata.” Rio cekikikan, tetapi tidak menyahut. “Tuh anak bisa depresi kayaknya gara-gara diomongi sana-sini.” “Lo belum ketemu dan lihat Chindai memangnya?” “Belum,” jawab Bagas singkat, lalu berbalik mempersiapkan nyawa menemui pembina seperti yang diperintahkan ketua umum. Rio menatap ke luar jendela, di mana terdapat gerabak-gerubuk yang diakhiri ketegasan Karel memimpin rombongan gugusnya. Rio terkekeh bertepatan seogok manusia melongoknya berang di kejauhan. “Noh, orangnya ada.” “Mana?” “Enggak, ah. Entar lo suka, tambah banyak saingan.” Bagas mendengkus sebal. “Dih, dasar lo. Ya sudah, gue ke ruangan Pak Adi dulu,” pamitnya berlalu, mau tak mau mesti menjelajah luasnya sekolah. Rio menahan napas menangkap siluet Bagas asyik bermain ponsel berpasasan dengan Chindai yang menelaah penerangan Karel. Seperti sama-sama capek akan kehidupan yang fana. Rio berdecak berbarengan angan-angan klise berputar di kepala. Mungkinkah? *** Kegiatan PKL hari ini dibubarkan di pukul dua siang. Bagas akhirnya selesai menerangkan seluruh hasil diskusi bersama Pak Adi pada anggota yang menunggu. Selanjutnya, ia bernapas lega dan berdoa dalam hati semoga esok tidak terlalu repot mesti tak mungkin. Bagas tidak pernah suka berada di ruang musik—ah, bahkan di semua sudut SMA Rajawali. Dipaksa menjadi anggota OSIS dan pengurus ekstrakurikuler musik, serta yang terbaru dilimpahkan amanat ketua pelaksana acara perpisahan kelas dua belas membuat Bagas menggeram saat datang rapat. Itulah penyebab Bagas layaknya tidak terurus akhir-akhir ini, begitu pun libur semesternya kemarin terpaksa terganggu. Masih di koridor lantai dua, tiba-tiba padangan Bagas tepat mengarah ke satu objek di bawah sana dan pertama kali pujian lolos. She was the most beautiful woman I ever seen, bisiknya. Bagas benar-benar larut dan menghentikan langkah, membuat Randa di sampingnya ikut menoleh. Dari kejauhan Bagas sudah dapat menilai. Pipi tembam itu sibuk mengoceh tak jelas bersama ketiga temannya, serta rambut sebahu dengan tambahan poni pagar. Menggemaskan sekali. Kalau begini, Scarlet Johanssen bisa dienyahkan Bagas selaku wanita tercantik versinya. “Lo lihat rombongan cecans tahun ini juga, Gas?” Bagas mengernyit mendengar Randa yang kembali bersedia merepotkan diri menemaninya tanpa dibayar. “Maksud lo?” “Calon cekiber SMA Rajawali.” “Siapa namanya?” “Chindai. Asuhan gue di gugus,” kata Randa lugas. “Ah, andai dia suka gue!” Bagas melengos jenuh. Bagi Randa dan Karel—yang kini tidak turut serta—perempuan cantik disebut aset berharga. “Enggak cocok sama lo.” “Kurang ajar!” “Gue ngomong serius.” Randa terkekeh, menganggap perkataan Bagas tak pernah terdengar. “Entar kalau gue jadian sama dia, cowok-cowok di sini bisa nangis tujuh hari tujuh malam. Chindai dari awal incaran banget tahu!” “Memang dia belum ada pacar ?” “Dengar-dengar, belum. Dia jomlo sendirian di rombongannya.” “Oh,” komentar Bagas, matanya tidak berpaling karena si poni pagar itu berlari ke gedung lain di ujung sana bak mencari sesuatu. “Anyway, lo mau ikut ruang rapat buat ngobrol sama Karel enggak?” “Muak gue ke sana, lo aja.” Randa manggut-manggut. “Oke, deh. Dan ingat … Chindai incaran gue!” “Dih. Enggak usah atur-atur gue, deh, lo!” Sepeninggalan Randa, Bagas tetap bergeming di tempat menelaah gerak-gerik gelisah new cekiber—katanya. Sejumput surai pirang buatan menembah kesan manis, dan pipi yang tampak berisi. Bagas mengakui visual mengagumkan itu. “Lo ngapain ke sana, Dek? Gue di gedung organisasi. Iya, tunggu sebentar. Kenapa, sih, enggak mau? Dah, jangan ngomel, gue ke sana sekarang. Tunggu!” Bagas mendelik. Bisa-bisanya Rio yang tak layak dihormati itu menabrak punggungnya seakan tidak saling mengenal, dan berniat kabur pula. Ketua yang kurang ajar. “Woi, Rio, buta lo?! Jalan lihat-lihat, dong!” “Sori, Gas, sengaja.” Rio berbalik sejenak, menyengir menghadap partner-nya bertahun-tahun sambil memasukkan ponsel ke saku celana. “Gue lagi enggak ada waktu ngeladenin lo. Adek gue nunggu. Bye!” Kening Bagas mengerut sengaja seiring Rio benar-benar meninggalkannya di tempat. Pertanyaannya ..., sejak kapan Rio memiliki Adik? Mengenyahkan pikiran ngawurnya, Bagas mengambil alat komunikasinya yang berdenting sebab adanya sebuah notifikasi. Arkian, ia mendengkus kesal. Kehidupan Bagas semenjak SMA tidak lebih-lebih dari ekstrakurikuler musik dan OSIS.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD