4. | Keanehan Awal

1577 Words
Mario Aditya | Terima kasih masih gratis. | Selamat bersenang-senang, adikku sayang. Gloria Pandanayu Chindai Apa, sih, Kak? | Mario Aditya | Lo enggak mau minta bantuan gue? | Cemen, gitu doang baper sama Bagas. | Nyesal lo enggak kenal dia dari dulu. Chindai merinding membaca pesan yang baru saja dikirim Rio. Tak ditemani oleh siapa pun di jam istirahat karena ditinggal Chelsea dan kawan-kawan ke kantin, bulu kuduk Chindai berdiri. Novel yang sempat dibaca, ia lepaskan di atas meja. Gadis cantik dengan poni pagar itu tidak berhenti mengatupkan mulutnya, senyampang tak tahu lagi ingin berpikir bagaimana. Belum genap seminggu menginjakkan kaki di SMA Rajawali, rasanya sudah berat saja semenjak hatinya mendadak tergerak menyukai lawan jenis. Nathaniel Bagas Saputra dan pesonanya sangat sulit ditolak. “Orang-orang gue kenapa begini, sih?” Gemeretak gigi Chindai tak tanggung-tanggung. Belum apa-apa, secara mendadak pula ia dibuat tidak paham. Banyak yang memainkan emosinya akhir-akhir ini; terlebih Rio, Chelsea, Marsha, bahkan si kalem—Salma. “Berhubungan sama Kak Bagas melulu perasaan.” Karena lo suka doi, batin Chindai bergejolak. “Sebentar lagi gue pasti enggak suka dia lagi.” Kayak lo pernah suka orang seumur hidup, selain Kak Bagas. “Lah, iya. Kak Bagas—” “Chindai!” Oh my god! Tak butuh sedetik menelaah, entah berapa kali bola mata Chindai hampir lepas. Kelas yang sepi mendukung derap kaki Bagas layaknya alunan kematian. “Kak Bagas, Kakak—“ “Halo.” Sapaan hangat itu akhirnya menyeruak di penjuru ruangan, tak lupa senym tipis andalan yang membuat siapa pun memuja. “Hai,” sambut Chindai harap-harap cemas. “Kakak, kok, ke sini?” “Gue tadi lihat lo buang sampah. Tumben sendirian, enggak takut?” Bagas menempatkan diri di sebelah Chindai, anteng sekali. “Yang lain lagi jajan, Kak. Chindai malas ikut.” “Nanti kumpul ekstrakurikuler musik.” “Eh?” Chindai berpikir dramatis, menemukan satu titik … Rio-lah yang mengatur Bagas hingga repot-repot menemuinya! “Lo enggak tahu?” “Belum buka handphone dari tadi, Kak,” cicit Chindai deduktif. Di sekian banyak manusia, ia tergolong jarang menggunakan teknologi, kecuali laptop yang digunakannya untuk menulis novel. “Tuh, enggak Chindai keluarkan, tetap di tas.” “Oh, begitu.” “Kak.” “Iya, Ndai?” Sudut bibir kanan Bagas berdenyut, menahan senyum. Yang pasti, ia tak akan diam jikalau Karel dan Randa berani melangkah lebih jauh. Mendadak Bagas begitu impulsif dalam mengedepankan posesif sebelum waktunya. “Kak Rio bilang apa?” “Rio?” “Kakak disuruh Kak Rio, kan?” Di otak Chindai menanyakan ... apa rencana Rio yang menyangka dirinya mengagumi Bagas—kendati betul? “Kenapa Rio suruh gue?” “Enggak?” “Apa, Chindai?” Bagas membalik badan sembilan puluh derajat dan menghadap Chindai, lalu gadis itu memundurkan tubuhnya. Alis Bagas terangkat sebelah saat berdeham kembali. “Enggak, Kak. Enggak jadi,” balas Chindai gelagapan, gelisah bukan kepalang. “Lo enggak ada kalimat selain itu?” “Eh?” Alih-alih mengharapkan kedatangan Bagas di zonanya, Chindai mengutamakan bagaimana cara membeli novel di akhir minggu. Sungguh, ia nyaris tidak sanggup sekadar saling beradu tatap dengan Bagas. “I—” Bagas mendengkus setelahnya. Kegugupan Chindai memang memanjakan netra, tetapi juga membuat dirinya gereget. “Iya, Kak … lagi?” “Chindai … Chindai ….” “Gue tahu nama lo Chindai.” “Kak Bagas.” “Iya, gue Bagas.” “Bukan begitu maksudnya, Kakak.” Chindai mendesah jenuh. Ia cemberut, apalagi kejailan Bagas mencuat ke permukaan sangat tidak disangka-sangka. “Apa?” “Entar bel masuk.” “Cendol, kita sudah pesankan bakso ke Mang Ghani, tapi katanya—” Mata sipit Marsha membesar, dilihatnya juga Chelsea serta Salma memutar kepala masing-masing, lalu berbenturan. “b**o,” lanjut Marsha atas kebodohan para sahabatnya. “Halo, Kak Bagas!” “Eh, ada kakak gugus gue nyempil di sini. Selamat pagi menjelang siang, Kak Bagas!” Chelsea melanjutkan teguran Salma dengan sama hangatnya, bahkan menyeringai lebar seakan mengenal Bagas lama. Ia menjerit akibat diinjak, padahal jidatnya saja masih nyeri. “Lo lebay banget, Chels,” tutur Marsha, malu. “Kak, jatuh … jatuh apa yang enggak sakit?” ujar Chelsea bertingkah lagi, mengabaikan pelototan Chindai dan lainnya. “Sans, Girls. Kenapa kalian marah sama gue?” “He-he-he. Enggak, kok, silakan.” Salma mengangkat tangan, begitu juga Marsha—mengode Chindai bahwa mereka tidak ikut campur. Bagas terkekeh, merasa terhibur. “Apa?” “Jatuh cinta.” Tiga detik berselang. “He-he-he. Lucu, kan, Kak?” Chindai memijat ubun-ubunnya, kembali dibuat kalut atas uruk-urakan salah satu teman dekatnya itu. Ia bertanya-tanya perihal apa yang dilihat kaum Adam sehingga Chelsea di lingkaran playgirl club dan memiliki banyak gebetan? “Kak.” Chinda, menyadarkan Bagas dari humor rendahan Chelsea. Tidak boleh dibiarkan sama sekali. “Iya, kenapa?” Sekejap Chindai tercegat. Suara lembut nan berat yang merasuki pendengarannya teramat berharga, sekejap juga nyaris tak sanggup berujar. “Chelsea enggak usah diladeni.” “Alah, Ndai. Bilang aja lo cem—” “Eh, Kak Bagas ngapain ke sini?” Marsha berdeham, tanpa diminta memotong perkataan Chelsea yang berbahaya. Terlihat Chindai bernapas lega. “Sudah bel, tuh, Kak.” “Iya, Kak. Entar keburu guru masuk kelas.” Bagas tersimpul tipis, menggapai surai Chindai sebelum mengacaknya. Bagi Bagas, semua di diri Chindai adalah terbaik untuk disentuh. “Lo usir gue?” Jari-jari kaki Chindai yang berbalut sepatu menekuk sempurna, berharap Bagas tak mengindahkan raut tegangnya. Efek yang diberikan laki-laki itu di luar prediksi meskipun otak negatif Chindai menyerukan nama Rio. “Enggak, Kak.” “Gue seram, ya?” “Enggak, Kak.” “Menakutkan?” “Enggak, Kak.” “Setelah ‘iya, Kak’, sekarang ‘Enggak, Kak’?” decak Bagas mengalun indah. Ia beranjak berbarengan Chindai mendadak menjawatnya. “Kakak mau ke mana?” “Balik ke kelas, seperti yang lo suruh.” Mengikuti insting, Bagas meraih jemari Chindai dan balas menggenggamnya tiba-tiba. Sesaat ia meninjau langsung gemetarnya tubuh Chindai di jangkauanya. “Kenapa lo gugup banget?” “Enggak, kok, Kak Bagas,” elak Chindai. Gigi rapinya terpampang biarpun dipaksakan, makin dilanda gelisah. “Lo mah bohong.” “Ya sudah, sana. Kakak balik ke kelas.” Bukannya mengamuk sebab Chindai bersikap tak sopan, justru Bagas tertawa kecil. “Tunggu aja besok atau nanti kumpul ekstrakurikuler musik, gue hukum.” “Memang berani?” “Kenapa Enggak?” Chindai mengalihkan pandangan. Cara Bagas menatap membuatnya tidak bisa berkata-kata selain terus mengagumi ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Lagi pula, jangan sampai kepercayaan diri Chindai meluap. “Enggak takut.” “Awas lo kabur.” Bagas menyerahkan map berwarna merah, lalu mesem tipis. “Tuh, kerjaan lo sebagai sekretaris kelas. Kumpul ke ruang OSIS lusa.” “Kakak tahu ..., Chindai sekretaris?” Bagas mengangkat bahu. “Apa yang enggak gue tahu di SMA Rajawali, Ndai?” Anggota OSIS, wajar. “Oh, oke.” Chindai mengangguk, memaklumi. “Hem … hem, Ndai.” “Iya, Kak, kenapa?” “Hem … Inai.” Netra Bagas menandakan tidak tenangnya, tetapi berusaha menguatkan diri. Ia menatap kening Chindai yang mengerut sengaja seiring … mungkin saja mengartikan maksud panggilannya tadi. “Apa boleh?” “Hah” Chindai tetaplah gadis yang tidak cepat paham di segala kondisi. Diawali kegugupan yang ternyata sia-sia, Bagas berdengkus. “Enggak jadi, yang penting lo kasih izin.” “Izin apa?” “Inai.” “Ha?” “Bye!” Chelsea termenung bersamaan Marsha dan Salma, sama-sama mengamati lari Bagas yang kian menghilang ditelan daun pintu. Ketiganya tidak menduga sesuatu amazing dilewati. Delik Salma memindai Chindai, menerka hal apa yang terjadi sebelum kedatangan mereka. “Kalian kenapa juga?” “Lo ngapain sama Kak Bagas tadi?” tanya Marsha tanpa jeda, disusul anggukan penasan yang lain, serta-merta mengelilingi meja Chindai.. “Enggak tahu,” seru Chindai jujur, lalu mengedikkan bahu dengan jantung yang bertalu hebat. Bagaimana fragmen barusan bisa terjadi? “Jangan enggak tahu begitu, Ndai. Muka lo merah banget itu,” kata Salma kalem, tetapi terselip kekepoan yang besar. “Serius, gue enggak tahu. Tiba-tiba aja Kak Bagas datang ke kelas, ngajak ngobrol enggak jelas, terus begitu aja sampai kalian datang.” Chindai menjelaskan dengan napas memburu-buru dan tatapan yang menunjukkan kelelahan. Lama-lama, ia bisa terserang penyakit jantung. “Tiba-tiba banget?” tanya Chelsea yang juga tampaknya setengah tidak percaya. “Gue tahu banget kesibukan Kak Bagas di sekolah ini enggak main-main. Gue yakin semuanya bakal bilang waw kalau tahu doi mau repot-repot ke sini buat … nyariin lo, Chindai?” “Wah, daebak. Bisa-bisanya lo, Ndai, jadi prioritas Kak Bagas, apalagi sekarang posisinya lo lagi suka dia banget, kan?” sambung Marsha antusias. “Jangan bikin gue berharap, Guys.” “Kita juga lihat Kak Karel dan Kak Randa di luar—agak jauh dari kelas, sih. Kayaknya sengaja nunggu Kak Bagas doang. Nah, otomatis dia datang bukan cuma sekadar kasih buku absensi kelas, Ndai.” Giliran Salma mengutarakan pendapat. Chindai menyandarkan punggungnya di bangku, sementara tangannya terlipat di depan d**a. “Gue enggak tahu apa maksudnya, makanya dari tadi negative thinking kalau sebenarnya Kak Rio yang suruh Kak Bagas ke sini. Soalnya, Kak Rio peka banget kalau gue suka doi.” “Ya … enggak apa-apa, Ndai. Nikmati aja.” Lantas kembali terdiam, Chindai benar-benar larut dalam keheningan sampai guru yang seharusnya mengajar telah memasuki kelas. Ia bahkan mengabaikan bakso terenak di kantin yang pasti akan terasa hampir jika dimakannya paksa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD