Dokar merah

1122 Words
Sekar membantu mbok Jum mengangkat belanjaan yang lumayan banyak ke atas dokar. Berbagai macam bumbu dapur seperti bawang merah, bawang putih, cabai, dan empon-empon (seperti jahe, kencur, kunyit dan kawan-kawannya) yang ditaruh di dalam angkring bersama dengan beberapa kilo gula dan juga garam dapur. Minyak goreng, kerupuk miler dan gaplek (dari ketela pohon yang dijemur dan dilumerkan) mentah, dan ikan mujair dan lele yang masih hidup di dalam kendi yang dibawanya dari rumah tadi. Sekar sesekali menyempatkan mencuri pandang ke Danuri yang masih tetap di tempatnya tadi, dan setia memandanginya sambil tersenyum ramah ke Sekar. Sungguh keadaan ini membuat pipinya terasa panas sekarang. Mungkin wajahnya sudah memerah saat ini. “Ayo, Nduk Sekar.” kata mbok Jum naik ke dokar dan diikuti oleh Sekar. Dokar berjalan pelan meninggalkan pasar. Meski tatapan Danuri dan Sekar tidak terputus sedikit pun padahal jarak sudah semakin jauh sekarang. Danuri mengangguk ke Sekar, dan dibalas anggukan juga oleh Sekar. Entah, sesuatu yang begitu menarik itu harus ditahan mereka sekarang. “Siapa, Nak?” tanya lelaki berumur sekitar 56 tahunan kepada Danuri. “Cantik ya, Pak. Sekar, dari desa Krantil utara.” jawab Danuri yang masih tetap di tempatnya tadi, meski pun dokar yang dinaiki Sekar sudah tidak terlihat dia seakan berat meninggalkan tempat itu. “Sudah tidak usah, Nak. Dokarnya berwarna merah, cuma satu orang yang memiliki dokar itu. Kanjeng Kaseni. Bapak tidak mau nanti kamu sakit semua.” kata Gimin, bapak Danuri mengingatkan anak lelakinya. “Kalau cinta ya dikejar dong Pak-Pak. Bagaimana lagi?!” jawab Danuri sambil membayar jepit yang diberikan ke Sekar tadi dan berjalan mendekati cikar (dokar besar yang ditarik dua sapi), dan menyenggol pundak b******n (sopir cikar) agar bangun karena sebentar lagi mereka akan pulang. Entah apa yang dirasakan karena Danuri tidak pernah setertarik ini sebelumnya. Dia tidak ingin terlalu memikirkan omongan bapaknya dan akan tetap mencari cara untuk menemui Sekar sebisanya. Setelah sampai rumah besar, Sekar segera masuk ke kamarnya, duduk di depan meja riasnya dan memasang jepit yang dibelikan Danuri ke atas rambutnya. Memang benar kata Danuri tadi, yang ini lebih cocok untuknya. Sekar tersenyum melihat bayangannya sendiri di dalam cermin. Ditariknya laci di bawah mejanya dan mengambil buku yang bersampul hijau, membukanya, lalu menuliskan nama Danuri di atas lembaran yang masih kosong itu. Krantil, 8 Jumadil akhir 1907 DANURI Jatirejo kidul Sekar menutup bukunya kembali dan menyimpannya di dalam lacinya lagi. “Jum, pelangganmu tidak ada yang cakep sih, aku dari kemarin lusa nongkrong di sini kok tidak ketemu sama yang ganteng.” kata kanjeng Kaseni sambil menyedot lintingan kobot (kulit jagung tua) yang berisi mbako (tembakau) dan beberapa cengkih racikannya sendiri. “Ya begitulah, Kanjeng. Bulan berapa sekarang?” kata mbok Jum sambil duduk di sebelah kanjeng Kaseni. “Jumadil akhir (itu bulan ke-6 di hitungan bulan Jawa). Masih lama, tapi kan kenalan dulu Jum, masak ya langsung saja.” jawab kanjeng Kaseni santai sambil memperhatikan para pelanggan yang menatapnya kagum namun tidak ada satu pun yang menarik perhatiannya. Tak lama sebuah cikar menepi di depan warung. b******n itu turun, mengambil sedikit damen (tanaman padi yang sudah tidak ada butir padinya dan mengering) dan memberikannya ke sapi yang menarik cikar itu. b******n itu masuk ke dalam warung, melepas topi lebar di atas kepalanya dan mengipaskannya ke wajahnya sendiri. “Mak (Mak itu sebutan lain dari mbok), kopi pahit satu sama nasi pecel tolong ditambah telur dadar.” kata pemuda yang baru masuk itu dan mengambil air putih dalam kendi (tekonya orang jaman dulu), menuangnya ke dalam gelas dan meminumnya. Kanjeng Kaseni memperhatikan setiap gerakan pemuda itu, menyedot lagi lintingan kobot di tangannya dan tersenyum sambil mengangguk saat pemuda itu menoleh ke arahnya. Pemuda itu ikut mengangguk dan tersenyum ke wanita cantik yang tubuhnya sangat bahenol dan mampu memancing gairahnya saat lelah mendera seperti saat ini. Pemuda itu terus memperhatikan wanita yang duduk tak jauh dari tempatnya sekarang. Belahan yang tercetak dengan jelas di atas kemben berwarna biru laut dan berbalut kebaya berwarna ungu melekat pas di tubuh indah itu. Dia menelan salivanya seakan ingin segera meneguk sesuatu yang sangat menantang di depan sana. “Silakan, minumnya apa?” tanya mbok Jum. “s**u, eh ... maksud saya es s**u, ada?” pemuda itu menyengir lalu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Kanjeng Kaseni terkekeh mendengar jawaban pemuda itu. Mbok Jum tersenyum tipis lalu kembali ke belakang untuk membuatkan es s**u untuk pemuda itu. “Kalau mau minum es s**u siang begini memang nikmat, tapi kalau s**u yang hangat, malam lebih enak.” kata kanjeng Kaseni sambil menghisap kobot yang terselip di antara jari tengah dan telunjuknya sendiri. “Susunya belum punya kalau malam, jadi bisanya cuma es s**u saja siang hari.” jawab pemuda itu. “Siapa namamu?” tanya kanjeng Kaseni. Dia pun berjalan mendekati pemuda itu dan duduk di sebelahnya. “Sugeng, dari Peniwen. Kalau Nyai (sebutan untuk orang yang dianggap bangsawan/lebih kaya).” pemuda bernama Sugeng itu menyodorkan tangannya yang sudah dilap dengan celananya sendiri tadi, agar kering dan tak ada sisa keringat karena sudah lelah seharian bekerja di ladang. “Kaseni, panggil Kaseni saja, biar lebih akrab.” Kanjeng Kaseni menjabat tangan Sugeng dan sedikit meremasnya. “Silakan es susunya.” Mbok Jum meletakkan es s**u di sebelah nasi pecel yang belum tersentuh itu. “Silakan Sugeng makan dulu, kalau ingin bertemu denganku mampirlah ke warung ini lagi.” kata kanjeng Kaseni, berdiri dari duduknya dan duduk kembali di tempat yang tadi. Beliau tidak ingin mengganggu pelanggan warungnya di saat lapar dan lelah seperti saat ini. Mbok Jum duduk kembali di samping kanjeng Kaseni. Memang banyak yang membantunya di warung ini, tapi saat ada pelanggan yang ingin dilayaninya secara langsung, maka dia akan melakukannya dengan senang hati. “Bagaimana Kanjeng? Apa pemuda itu cukup bersih?” tanya mbok Jum yang penasaran karena melihat kanjeng Kaseni mendatangi pemuda itu tadi. “Aku akan mendekatinya dulu, tidak buruk.” jawab kanjeng Kaseni yang masih setia memandangi pemuda itu dan sesekali tersenyum dan mengangguk saat pemuda itu melihat ke arahnya. *** Bulan purnama bulat sempurna. Wangi kemenyan dan harum bunga memenuhi satu ruangan yang cukup besar. Satu lukisan penguasa laut bak dewi yang memiliki kecantikan sempurna, sedang menunggangi naga berwarna hijau dan memiliki mata bersinar merah. Saat seorang wanita yang elok parasnya baru saja selesai membakar kemenyan itu duduk bersila di depan meja yang berada di tengah ruangan, meja yang penuh dengan aneka lauk pauk, buah, dan berbagai macam minuman yang bisa dibuat manusia di jaman itu, tak lupa bunga tiga warna (umumnya mawar, kantil/melati putih/steemit, dan kenanga), tangannya saling menggenggam bertautan, dan matanya menutup rapat, “Hong ... Sang Maha Agung Nyai Ratu Kidul, èngkang lenggah ing dumparing samudra kidul ingkang ngratoni sagang pàrà lelembut dumawuh, kulà si jabang bayine Kaseni, ngamundang sendikà dawuhe Kanjeng Ratu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD