Kanjeng Kaseni

1208 Words
Mentari masih bersembunyi, namun suara riuh di pawon (dapur) dan kepulan asap dari luweng (tungku dari tanah, umumnya terdiri dari dua lubang tungku dan memanjang) menghangatkan pagi yang sebenarnya dingin karena embun telah turun membasahi rumput dan daun-daun yang ada di sekitar rumah besar. Gadis cantik jelita yang ditemani oleh wanita renta namun masih cekatan itu, memotong beraneka sayuran dan beberapa pàlà pendem (umbi-umbian), setelah selesai dia segera membersihkannya dan menaruhnya dalam dandang (kukusan) yang ada di luweng lubang belakang. “Apa lagi, Mbok?” tanyanya sambil tersenyum manis memperlihatkan lesung pipi di ke dua pipi gembulnya. Percakapan dalam bahasa Jawa yang kental dan pitutur sopan santun terdengar begitu merdu di setiap gendang telinga yang menangkapnya. “Sudah, Nak Sekar. Istirahat saja, nanti kalau kanjeng Kaseni tahu kamu membantuku, orangnya marah lagi.” jawab mbok Jum sambil meniupi api di dalam luweng agar tidak sampai padam. Sekar tersenyum lagi. Dia pun beranjak dari duduknya dan ikut duduk di samping luweng untuk menghangatkan diri karena lumayan dingin pagi ini. Musim kemarau memang sudah biasa pedut (kabut) turun dan membuat hawa semakin dingin saja. “Mbok, ibu saja kok didengarkan. Nanti kan diam sendiri.” jawab Sekar sambil mendekatkan telapak tangannya lebih mendekati bibir luweng. Mbok Jum menggeleng dan tersenyum ke Sekar. Memang non ayunya yang satu ini berbeda dengan nyonya besar. Entah sudah berapa tahun mbok Jum ikut kanjeng Kaseni, sejak Sekar kecil, dia sudah mengasuhnya, dan itu membuatnya sangat hafal dengan tingkah kanjeng Kaseni. Dulu beliau sangat baik sekali, menjadi istri kepala desa dan memiliki tanah di mana-mana membuat hartanya tidak pernah habis. Jangankan untuk makan, padi yang ada di lumbung saja terkadang sampai tumbuh. Tak jarang semua pesuruhnya dihadiahi berrinjing-rinjing (rinjing adalah tas dari anyaman bambu, biasa digunakan wanita untuk berjualan jamu dan digendong) gabah untuk dibawa pulang dan makan dengan keluarganya. Rumah besar ini memang tak pernah sepi, sekarang saja meski pun mentari belum sepenuhnya muncul, dapur sudah ramai oleh beberapa orang yang memasak berbagai macam lauk pauk, menanak nasi, dan ada pula yang menggoreng tempe, tahu dan juga keripik miler (keripik dari endapan ketela pohon). Tapi hanya mbok Jum dan sekar saja yang bisa akrab, karena mereka sudah bertahun-tahun kenal, bahkan dari Sekar masih bayi. Kambing yang ada di belakang rumah besar ini juga memiliki lima buruh khusus yang bertugas untuk mencarikan rumput dan membersihkan cendil (kotoran kambing). Sawah dan ladang yang harus digarap juga memiliki orang yang bertanggung jawab khusus agar tidak ada satu pekerjaan pun yang lalai atau terbengkalai. Tidak ada seorang pun yang tidak mengenal kanjeng Kaseni. Janda kembang yang kaya dan memiliki wajah cantik jelita. Kebaikan hatinya yang banyak memberi kepada warga miskin yang ditemuinya, membuat desa Krantil sangat terdengar sampai ke pelosok desa lain. Bahkan pasar yang ada di perbatasan antara desa Krantil dan juga Jatirejo, tak kalah ramai dengan rumah besar miliknya. Warung makan yang menjual nasi pecel, rujak, tahu lontong, dan nasi lodeh pun tak pernah sepi pengunjung, meski pun bukan beliau yang menjajakan dagangannya. Bukan karena dia kekurangan uang, warung itu dibangun karena ingin memberi uang kepada seluruh orang yang mengabdi kepadanya. Sebagian besar warung yang memegang kendali memang mbok Jum, tapi untuk pembagian hasil selalu dibagikan di depan kanjeng Kaseni selaku pemilik rumah besar ini. Bukan hanya warung, bahkan semua pekerja di tempat dan di ladang milik kanjeng Kaseni, harus sarapan di rumah dulu sebelum melaksanakan tugas yang diembannya. Kanjeng Kaseni tidak suka ada pekerjanya yang lesu dan sakit hanya karena kekurangan makan saja, padahal di dalam lumbungnya terdapat banyak gabah (butiran padi) dan juga berbagai macam hasil tani yang didapatnya dari kebun dan ladangnya. “Nduk.” panggil kanjeng Kaseni dari ambang pintu pawon. “Ya, Bu.” jawab Sekar beranjak dari duduknya dan mendekati kanjeng Kaseni. “Ke pasar. Jum, yang habis dicatat semua, jangan kelupaan seperti kemarin.” katanya sambil menolehkan kepalanya ke mbok Jum, mengisyaratkan agar segera bangkit dari duduknya dan berangkat ke pasar. Semakin siang, biasanya sudah tidak menemukan apa pun di sana. “Iya, Kanjeng.” jawab mbok Jum sambil berlalu mengambil angkring (tas besar dari anyaman plastik warna-warni yang biasa dibawa saat ke pasar) yang ada di atas pàgà (rak di bagian atas digunakan untuk menyimpang barang-barang di dapur). Tanpa menunggu lama Sekar dan juga mbok Jum telah naik ke atas dokar (sejenis delman tapi memiliki dua roda) dan membawanya menuju ke pasar. Pasar sudah sangat ramai. Hawa dingin tidak menghalangi siapa pun untuk menjajakan dagangan dan orang yang sedang berbelanja saat ini. Matahari yang bersinar malu-malu seperti menambah semangat tersendiri bagi Sekar, mbok Jum, dan orang-orang yang memenuhi pasar saat ini. “Mbok, aku ke sana ya, mau lihat jepitan rambut dan bando, sepertinya bagus-bagus.” kata Sekar sambil berlalu meninggalkan mbok Jum yang sibuk memilih daging dan ikan segar. Memang jika ke pasar mereka hanya akan beli ikan dan daging saja untuk dijual di warung dan juga dimakan sendiri. Beberapa ikan kali tangkapan penduduk setempat yang masih hidup juga lebih dipilih karena bisa disimpan lebih lama dari pada ikan yang sudah dibersihkan. Sekar mendekati penjual pernak-pernik itu yang mengambil jepit yang berwarna hijau dari plastik, pasti akan cocok saat dikenakannya nanti. “Yang ini lebih bagus, Dik (panggilan untuk perempuan lebih muda dan menarik hatinya, menurut laki-laki). Pas kalo dipakai.” kata seorang pemuda mengagetkan Sekar. Sekar menoleh dan langsung menunduk melihat seseorang yang mampu membuatnya sesak nafas sekarang. Badannya yang kekar dan otot lengan serta d**a yang tercetak di baju berkain tipis yang dikenakannya membuat pipi Sekar memanas sekarang. Pemuda itu menyodorkan jepit itu lebih mendekati tangan gadis cantik itu agar cepat diterimanya. Dia sedang mengantar pekerjanya mengirimkan daging sapi tadi, saat tidak sengaja melihat gadis cantik berjarik motif kopi pecah dan berkebaya hijau berlengan sesiku, yang memperlihatkan kulit mulusnya. Sekar menerima jepit itu dan tersenyum ke pemuda itu lalu menunduk kembali sambil merapikan rambutnya yang dikepang dua sekarang. “Terima kasih, Mas (panggilan untuk laki-laki dewasa).” kata Sekar yang masih tetap belum berani menatap pemuda di depannya itu. Pemuda itu tersenyum melihat gadis di depannya yang masih saja menunduk tapi sesekali mencuri pandang ke arahnya. “Danuri. Dari desa Jatirejo bagian selatan sendiri.” kata pemuda yang mengaku bernama Danuri itu sambil menyodorkan tangan kekarnya ke Sekar. Meski pun malu-malu, Sekar menyambut tangan pemuda itu, membalas salamannya dan sedikit meliriknya lagi. “Sekar. Dari desa Krantil utara, Mas.” jawab Sekar. “Sekar sama siapa ini tadi?” tanya Danuri lagi sambil sedikit merunduk untuk melihat wajah ayu Sekar. “Sama mbok Jum, Mas. Itu masih beli ikan.” jawab Sekar sambil tersenyum dan sesekali memalingkan wajahnya untuk menghindari tatapan Danuri yang tajam seperti pedang dan mampu menyelusup tepat di jantungnya. “Nduk Sekar! Ayo, sudah selesai. Itu dokarnya terlalu lama menunggu, nanti ibumu marah kalau lama-lama.” teriak mbok Jum ke dua sejoli yang saling merayu. Tanpa berniat mendekatinya karena lebih memilih untuk membawa belanjaannya naik ke atas dokar dan dibantu oleh kusir. Sekar mengangguk dan mencari koin uang di kantong yang dibawanya dari tadi untuk membayar jepit yang dipegangnya. “Aku yang bayar, itu hadiah dariku.” kata Danuri memegang tangan Sekar untuk menghentikan gerakannya. “Terima kasih, Mas.” kata Sekar sambil mengangguk dan tersenyum ke Danuri. “Aku pulang dulu.” imbuhnya dan berjalan mendekati dokar yang membawanya berangkat tadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD