Bab 8 Tidak Ada Bedanya dengan Mati

1750 Words
Selama sidang berlangsung, hanya dihadiri oleh para pengacara Aidan dan Alaric, wanita malang itu segera mendapatkan putusan hakim dengan hasil sidang 15 tahun penjara. Saat digiring keluar pengadilan, flash kamera para wartawan menghujani wajah pucat tak berekspresinya. Tidak hanya itu, beberapa orang melemparinya dengan berbagai macam benda: telur dan tomat busuk, meludahinya, melemparinya sendal dan sepatu, dan masih banyak lagi. Dia menduga itu mungkin sebagian besar adalah penggemar fanatik dari Belinda Saputra. Dia adalah artis papan atas dengan banyak penggemar. Ruby menerima semuanya seperti papan datar tanpa ekspresi. Apa yang menimpanya pasti sudah membuat semua yang membencinya sangat puas, bukan? Mau melawan atau tidak, bagi Ruby sudah tidak ada artinya lagi. Dia seorang diri di dunia ini. Tidak ada yang benar-benar tulus menolongnya. Pengacara gratisan itu, dilihat juga sebenarnya terpaksa hanya demi alasan tertentu saja. Ingin melawan 2 keluarga besar dan berpengaruh di ibukota? Haha. Dirinya seperti badut bodoh yang tersesat di tengah jalan. Otaknya yang terkenal cerdas dan pintar, akhirnya kalah oleh permainan kekuasan dan uang. “Hei! Cepat bangun! Jangan duduk saja di situ! Pemalas!” teriak seorang wanita kepada Ruby. Kesal melihatnya tengah melamun lagi seperti biasa. Karena tidak melakukan apa yang diperintahkannya, wanita tadi langsung memberi perintah kepada dua tahanan lain agar segera memaksanya berdiri. BUK! Punggung Ruby menghantam tembok, meringis kesakitan memegangi perutnya usai ditendang oleh wanita yang berteriak memakinya. Dia pikir hatinya sudah mati rasa, tapi begitu mendengar nama Aidan, tak kuasa rasa sakit menjalar di dadanya. Dia paham. Sangat paham kalau kelakuan buruk dan jahat semua tahanan wanita itu sudah pasti ada yang mendukung mereka! Sudah bisa ditebak siapa yang memberi mereka izin, bukan? Haha. Siapa lagi kalau bukan Aidan Huo dan Alaric Jiang! Rasa dendam dan kebencian Ruby kepada dua pria itu semakin kuat seiring semakin sering dirinya menerima siksaan setiap harinya. Setiap pukulan yang diterimanya, membuat kebenciannya semakin dalam dan mengakar kuat. Membuat hal yang disebut cinta di hati Ruby akhirnya musnah tak bersisa sedikit pun. Dia sudah tidak percaya lagi dengan yang namanya cinta. Itu hanyalah dongeng anak kecil! “Hei! Jangan pura-pura sok menderita! Kejahatanmu sangat banyak! Tidak bisa ditebus bagaimana pun juga! Seharusnya kamu dulu menjalani hidup dengan penuh kebajikan! Inilah akibatnya jika berani mencintai Tuan Huo dengan tidak tahu malu! Sekarang, dia memberimu perlakuan spesial, bukan? Sungguh hebat kamu bisa menerima semua hadiah darinya sejauh ini. Benar-benar keras kepala. Tidak heran dia sangat membencimu yang seperti lintah menganggu di masa lalu.” Ruby yang menggeliat di lantai dengan wajah keringat dinginnya, melirik seorang tahanan wanita yang berbicara barusan. Bibirnya digigit, gemetar pucat. Yang dimaksudnya sudah tentu kalau apa yang dilakukan kepadanya adalah perintah dari pria itu. Haha. Aidan benar-benar membencinya! Dia sudah sadar sekarang! Sangat sadar! Apa perlu menyiksanya selama 15 tahun untuk membuatnya sadar? Kejam! “Dia, kan, memang tidak tahu malu! Juga sangat sombong! Sewaktu dulu masih di luar, aku selalu lihat berita tentang dia yang suka menempel seperti pengemis cinta! Bahkan berani mencuri pria milik dari wanita lain! Belinda Saputra yang malang.... harus melawan pelakor licik sepertinya! Untung saja keadilan datang dengan cepat! Hahaha! Bukan hanya itu, rupanya dia juga masih bermimpi ingin mengeruk harta Tuan Jiang setelah gagal merayu pria kaya! Sudah tentu Tuan Jiang memilih sahabatnya yang baik hati itu. Cantik dan seksi pula! Keadilan pasti akan menang!” Ruby marah sekali mendengarnya! Keadilan apa?! Tai kucing! Satu aturan di dalam tahanan itu, jika ingin siksaan berkurang atau berhenti, maka sebaiknya jangan melawan. Itulah sebabnya, mau seburuk apa pun Ruby diperlakukan, dia nyaris tidak pernah melawan, hanya berani memohon dan mengembik menyedihkan seperti kacung rendahan. Kalau melawan, sudah jelas akan seperti apa nasibnya. Wanita yang mengatakan kalimat barusan, lalu duduk jongkok begitu sombong ala preman sembari menarik rambut Ruby yang diikat satu. Memaksanya saling tatap. Kecantikan yang dulu melekat pada Ruby, perlahan memudar sedikit demi sedikit. Wajahnya kusam, penuh memar, bekas luka, dan tampak gelap. “Wanita jahat sepertimu, sudah sepantasnya mendapat hukuman dari kami semua. Dengan senang hati kami akan selalu menyampaikan salam kedua pria yang kamu tipu itu! Hahaha! Wanita bodoh! Ingin mempermainkan orang, lihat dulu siapa mangsamu!” Dahi Ruby dibenturkan sangat kuat ke lantai, membuat kepalanya langsung pusing. Kesadarannya hampir menghilang, matanya berkunang-kunang. Warna merah dengan cepat terlihat mengalir di dahinya. Karena tidak ada suara kesakitan yang keluar dari bibirnya, membuat wanita ala preman tadi mengedikkan kepalanya, memberi perintah kepada 2 tahanan wanita lain sembari saling lempar tawa jahat. “ARGH!!!” Rubyza Andara akhirnya menjerit kesakitan! Suaranya bahkan terdengar beberapa blok di rumah tahanan itu. Air matanya meluruh hebat, mendesis menahan rasa sakit bagaikan merobek daging dan tulangnya. Kedua tangannya masih memegangi perutnya yang sakit usai ditendang. Keringat dingin membasahi punggung dan wajahnya. Seiring waktu berlalu, siksaan para tahanan semakin brutal dan tidak berbelas kasihan. Ruby pikir, mungkin dia tidak akan bertahan lama. Baguslah! Dia juga sudah bosan hidup! “Sa-sakit... sakit... tolong hentikan... aku mohon...” pinta Ruby dengan bibir gemetar, mata sudah mau menunjukkan kehilangan kesadarannya. Sayangnya, rasa sakit yang diterima tubuhnya semakin tidak masuk akal untuk ditahan. “Apa?! Hentikan?! INJAK YANG KUAT! KITA BIKIN TUAN HUO DAN TUAN JIANG SENANG! HAHAHA! UANG YANG DIBERIKAN PASTI LEBIH BANYAK JIKA DIA SEMAKIN MENDERITA, KAN?” Kakinya yang dulu terluka gara-gara melompat dari lantai 2 kantor polisi, ternyata memberikan cidera yang cukup parah kepadanya. Itu baru disadarinya ketika dipaksa keluar dari rumah sakit untuk diadili. Kaki Ruby yang sebenarnya masih bisa disembuhkan itu, akhirnya mendapat perlakuan kejam. Perutnya juga kembali jadi samsak tahanan lain. Ruby mengerang hebat, warna merah kental keluar dari mulutnya. Tapi, itu tidak menghentikan aksi mereka semua. Malah mereka tertawa-tawa jahat seperti orang gila. Dia sama sekali tak menyangka kalau yang membawanya ke rumah sakit saat itu adalah Aidan Huo. Ternyata dia punya niat lain kepadanya: mempersiapkan mentalnya untuk menerima siksaan di dalam penjara selama sisa hidupnya. Pria itu tidak ingin membuatnya hidup tenang! 15 tahun bukanlah waktu yang sedikit. Di umurnya yang sudah mau kepala tiga ini, masa 15 tahun bukanlah waktu singkat. Kalau pun memang bisa keluar nantinya, dia sudah kehilangan masa muda dan masa-masa emasnya hanya untuk menerima siksaan di dalam penjara. Dia mungkin hanya bisa menikmati hari-hari tua dengan tubuh lemah dan berkubang dalam kemiskinan dan penderitaan, terlunta-lunta sebagai pengemis berwajah jelek di luar sana. Namun, Ruby sangat yakin, mustahil bisa bebas, apalagi mendapatkan remisi jika dendam orang-orang yang membencinya begitu dalam sampai ingin membuatnya membusuk di penjara seperti sekarang ini. Hal terakhir yang ada di hatinya adalah harapan untuk bebas. Itu seperti mimpi untuk memetik bintang. Ruby berpikir, kalau masa hukuman 15 tahun hanyalah dalih. Dengan kuasa orang-orang jahat itu, masa hukumannya bisa dengan mudah diperpanjang sesuka mereka. Pagi, siang, dan malam, yang diterima Ruby selama berada di dalam tahanan hanyalah perlakuan tidak manusiawi. Pada hari pertamanya dulu saat baru memasuki penjara, Ruby diperkenalkan dengan para teman satu selnya, dan wanita itu segera menjadi bulan-bulanan mereka begitu para penjaga pergi. Langsung menyilet kedua pipinya, memberi tanda X seolah-olah Rubyza Andara adalah sebuah kesalahan besar telah lahir di dunia ini. Mereka tidak suka melihat wajah cantiknya bersinar di penjara kumuh itu. Apalagi sikapnya yang dinilai sok polos dan tak berdosa, padahal jelas-jelas sudah mengaku di pengadilan. Bikin mereka kesal bukan main! Jadi, tamparan di kedua pipinya adalah makanan sehari-hari Ruby dari setiap orang di dalam sel itu. Sudah mirip kegiatan wajib harian. Setiap malam, dia pun selalu tidur dengan pipi bengkak dan merah. Tidak ada penjaga yang mau repot-repot mengurusinya. Entah bagaimana, hampir semua tahanan tahu kisahnya. Membuatnya jadi semakin terkucil dan terasing. Ya. Semua sudah pasti diatur sedemikian rupa! Ruby akhirnya tidak heran lagi dengan sikap cuek orang-orang kepadanya. Dia bagaikan tahanan yang menunggu kematian saja. Untuk sel yang dihuni oleh Ruby berjumlah hampir 20 orang. Bayangkan penderitaan yang diterima Ruby setiap hari! Sudah jadi rahasia umum kalau setiap sel memiliki bos kecilnya masing-masing. Sialnya, Ruby mendapat bos paling kejam di antara ratusan sel yang ada di rumah tahanan itu. Suatu hari, di hari Minggu, ketika semua baru saja selesai makan siang, Ruby kembali disiksa di dalam sel sampai bergelung kesakitan di lantai. Beberapa kaki menendangnya tanpa ampun. Ketika berpikir tidak bisa menerima rasa sakit lagi, Rubyza Andara menghempaskan semua kaki itu hingga beberapa wanita terjatuh dengan raungan marah. Dia pun merangkak cepat dengan adrenalin menyuntik tubuhnya bagaikan orang sinting dengan wajah super bahagia ke arah benda berkilau yang tersembunyi di balik salah satu ranjang tahanan. Semua tahanan wanita syok dengan pemandangan yang tersaji di depan mata mereka. Rubyza Andara menusukkan pisau lipat yang sudah lama diincarnya ke perut sendiri. “AKU BEBAS! BEBAAASSS!!!” jerit Rubyza Andara dengan wajah frustasi bercampur tawa sintingnya. Belum cukup menusuk perutnya sekali, dia lalu menusuknya beberapa kali hingga semua tahanan wanita yang melihatnya merasa ngeri. Mengira dia sudah gila. Rubyza Andara seketika jatuh tergolek ke lantai dengan genangan darah, tidak bergerak sama sekali. Salah seorang tahanan berteriak histeris melihat darah yang mengalir di lantai dalam jumlah banyak. Darah surut dari wajahnya, jatuh terduduk bersandar di dinding selnya. “PENJAGA! PENJAGA! ADA TAHANAN YANG BUNUH DIRI!!!” *** Beberapa bulan kemudian. Bulan April ini musim hujan sedikit lebih panjang dari biasanya, semakin sering mengguyur ibukota dan membuat ruang para tahanan semakin dingin dari hari ke hari. Khususnya ketika malam tiba. “Rubyza Andara! Pengacara Tuan Jiang datang menjengukmu!” seru seorang penjaga wanita pada siang hari, memukulkan tongkatnya ke sel tahanan dengan sikap acuh tak acuh. Selama hampir 2 tahun menerima penyiksaan, fisik Rubyza Andara sangat berubah total. Wajahnya yang sudah rusak, makin rusak dan terlihat sangat jelek dengan rambut pendek sebatas punggung yang selalu diikat satu. Jelek dan tidak terawat. “Hei, monster! Kamu ada pengunjung!” bentak salah seorang tahanan wanita ke arah sosok kurus yang duduk di sudut ruangan, memeluk dirinya dengan kepala tertunduk muram. Ruby tengah melamun seperti biasa. Di saat semua para tahanan memakai jaket atau selimut karena hawa dingin sehabis hujan, Ruby hanya memakai seragam tahanan miliknya, menghangatkan diri seadanya dengan rangkulan kedua tangannya. “Apa kamu tuli? Penjaga bilang ada pengunjung untukmu!” Seseorang melemparinya dengan piring plastik, Ruby terkejut seperti orang linglung dengan mata hampa, menoleh ke arah pintu sel. “Cepat keluar!” bentak sang penjaga wanita tidak sabaran, kening mengencang marah. “Ba-baik,” balasnya dengan suara serak yang jelek dan parau. Sangat tidak enak didengar. Wajahnya sangat lesu, sangat datar. Bukan hanya fisik Ruby yang menjadi sasaran para tahanan yang membencinya, suaranya pun jadi sasaran mereka. Pita suaranya dirusak, dan kini suaranya sangat serak hampir seperti seorang pria jika memaksakan dirinya berbicara dalam ritme cepat. Hal ini membuatnya menjadi lebih pendiam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD