PART 1

1240 Words
Hari membosankan kembali datang. Aku si guru magang berkali-kali menguap, menahan kantuk di tengah kelas. Segera, kuhapus ujung mataku yang sedikit berembun akibat rasa kantuk yang semakin mendera. Mengusir bosan, aku berjalan mengitari barisan kelas hingga kesunyian berganti dengan ketukan high hells yang tengah kukenakan. Hari ini, ada ujian kecil yang rutin aku lakukan tanpa pemberitahuan. Biarpun dianggap kejam, tapi ada baiknya juga karena akan terlihat siapa saja yang serius belajar meski pelajaran sejarahku tidak diunggulkan seperti halnya bahasa inggris atau matematika. Tuk... Ketukan hellsku terhenti di barisan nomor tiga. Ada sebuah bangku kosong yang mengingatkanku pada seseorang. Sudah hampir seminggu ia tidak masuk, sebenarnya apa yang terjadi pada Arzhou? "Saya bahkan tidak tahu nomor ponselnya, coba sensei tanya pada alayers kelas sebelah." Omura, ketua kelas sipit berambut ikal menjawab sekenanya saat aku dengan nada berwibawa menanyakan keberadaan Arzhou. Alayers? Kenapa tidak sekalian membuat fansclub saja? Cemoohku sebal lalu menutupi emosiku dengan anggukan terima kasih atas jawaban yang tidak jelas itu. Tak lama, kuakhiri kelasku dengan pengumpulan kertas ujian yang kulihat-- hampir separuh dari jawaban mereka salah semua. Aku mengerang, merasa gagal. Di akhir masa uji cobaku sebagai guru, aku bahkan tidak pernah melihat satu muridpun yang menyimak pelajaran. Arzhou sama saja. Remaja tampan berotak cerdas itu selalu bergumul dengan rasa kantuknya selama pelajaran sejarahku berlangsung. Namun, ajaibnya ia selalu mendapatkan nilai sempurna. "Sensei." Seseorang berteriak memanggilku, berlari di antara koridor terakhir ruang guru. "Sensei Akida, ada yang bisa kubantu?" tanyaku datar, lebih tepatnya malas. Pria tambun yang sudah lama mengincarku itu memasang senyum sedikit c***l di sudut bibir, "aku hanya ingin bertanya, apa bisa kita keluar lagi malam ini?" Rona tersipu malunya, jujur membuatku muntah. Dasar tidak tahu diri, bukankah kemarin aku sudah meninggalkannya di klub? Kenapa tidak kapok juga sih? "Maaf Sensei, Saya sudah menolak Anda kemarin,"gumamku sehalus mungkin, "saya permisi dulu." Aku cepat-cepat membungkuk, berlalu dari tempat itu tanpa basa-basi. Harus kuakui, status janda yang melekat pada diriku adalah cap negatif. Aku betah, tapi akhir-akhir ini tidak. Arzhou memporak porandakan gairah seksku dalam semalam. Ini adalah bulan ketiga dimana aku sangat tersiksa. Sesampainya di meja kerja, aku mendapati ponselku berdering di tumpukan kertas. Memang sengaja kutingg karena benda sialan itu selalu berdering tanpa kenal waktu. Aku duduk, mengangkat sambungan udara itu sambil bertopang dagu. Rasa bingung membuat pikiranku semakin kacau. Arzhou tidak pergi ke sekolah selama seminggu, apa dia sudah tidak peduli lagi dengan beasiswanya? "Ayumu? Apa kau mendengarku?" tegur Himeko dari speaker ponsel. Teriakannya menyadarkanku dalam sekejap. "Akh, Himeko- chan? Apa yang kau katakan barusan?" Terdengar dengusan. Aku tertawa kecil, membujuknya lagi dengan suara imut yang di buat-buat. * Malam itu, lampu diskotik terlihat sama gilanya dengan otakku. Benda bulat penuh cahaya itu, berputar cepat di atas puluhan pasangan yang tengah menari. Dalam sekejap, iramanya membakar adrenalinku. Aku menari sendirian tanpa memperdulikan tatapan lapar orang lain. Berulang kali tangan-tangan jahil pria mendekat, mencoba menyentuhku. Fuck! Batinku melotot marah pada seorang pria jelek yang hampir menyentuh area pribadiku. Ia sungguh gendut dan berpeluh. Beruntung, Himeko langsung menarikku pergi sebelum aku menghajar wajah cabulnya. Mana ada yang tahu? Kalau aku adalah mantan atlet judo nasional? Bisa-bisa kurontokkan giginya dalam satu kali tonjokan. "Jika terus berpakaian seperti itu, kau sudah pasti diganggu." Himeko menggerutui dres ketat berdada rendah milikku. Aku tak peduli dengan omongannya. Ini diskotek, bukan kuil. Biar saja, jika mereka berani menyentuh, aku bisa menghajarnya kok. Tak mau bertengkar, Himeko akhirnya mengajakku duduk di tempat bartender meracik minuman. Lumayan, aku sudah lama tidak menjamah alkohol dan cairan panas itu begitu menggoda. Semenjak mulai menjalani magang pertamaku, aku sudah mencoba untuk menahannya. "Jangan banyak-banyak Sensei, besok kau mengajar,"tegur Himeko menyentil keningku sekilas. Aku menjerit tak terima. Ia selalu menasehatiku layaknya seorang ibu. Aku tidak suka. "Sebenarnya apa maksudmu mengajakku kemari, huh? Minum jus?" teriakku mencoba mengalahkan alunan musik yang semakin menghentak. Himeko mengernyit, membuang wajahnya ke arah bartender yang menggoyang wadah vodka ke segala arah. Lengan berotot yang bertato. Huh, Pria itu tipe Himeko. "Aku tidak melarangmu, tapi jangan banyak-banyak,"kilah Himeko melempar senyum termanisnya saat sang bartender itu bergerak mendekat sambil mendorong minuman pesanan kami. Sial, pria itu lumayan juga. Apalagi yang diliriknya adalah aku---maksudku, belahan dadaku. Himeko berdecak sebal karena lagi-lagi aku mengalihkan perhatian incarannya. "Ayumu, apa kau menginginkan seseorang? Bukankah sudah lama sekali kau tidak tidur dengan seorang pria?" oceh Himeko saat kami sudah meneguk minuman masing-masing. Akh, dia benar. Sudah lama sekali. Mungkin aku memang butuh pelampiasan. Sangat butuh. Bartender itu terus mengawasiku, dan Himeko kembali kesal dibuatnya. "Dia tertarik padamu," keluh Himeko memutar matanya sebal. "Tidak, dia tertarik dengan payudaraku," kekehku asal. Himeko semakin merengut, meneguk sisa terakhir vodkanya frustrasi. Bukan salahku kan? Aku punya ukuran di atas rata-rata? "Belakangan ini, aku memikirkan seseorang. Kau tahu sendiri kalau aku belum tidur dengannya, kepalaku sakit," ucapku dengan nada sedikit serius. Akhirnya aku jujur juga. "Kalau begitu, goda saja," celetuk Himeko. Ia tahu betul jika aku sudah menarget seorang pria, aku bisa dengan mudah mendapatkannya. "Tidak bisa, aku tidak bisa mengganggunya,"keluhku putus asa. Mana mungkin kan? Aku menggoda muridku sendiri? Bisa-bisa izin mengajar yang bahkan belum kudapat hangus dalam semalam. Perjuangan demi mendapatkan kepercayaan kakek adalah alasan utama aku mau menjadi seorang guru. Kalau saja bisa memilih, aku lebih suka menjadi seorang pengangguran. "Dia muridku,"ucapku dengan nada menekan. Raut aneh langsung tergambar jelas pada mimik wajah sahabatku. Lucu sekaligus menggelikan. Pasti ia pikir aku sedang bercanda. "Jangan membuatku tertawa, kau bahkan tidak suka d**a kurus mahasiswa. " Aku mengendikkan separuh bahu. Sulit menjelaskan betapa gilanya aku sejak bertemu Arzhou. Ya, mustahil ia bisa memuaskan player sepertiku. Kelihatannya Arzhou masih perjaka dan ukuran mr.P nya mungkin saja kecil. "Sudah, lupakan," tawa Himeko. Ia kemudian memesan dua gelas vodka lagi. Menghampiri Bartender itu sambil merendahkan sedikit lehernya agar belahan dadanya sedikit menyembul. Sungguh membuatku malu saja. Setengah jam duduk, aku berinisiatif ke kamar kecil. Riasanku mungkin sudah rusak karena keringat. Ini adalah klub baru di prefektur Akita. Beberapa meja juga furniture masih berbau cat yang belum sepenuhnya mengering. Lokasinya sebenarnya strategis, di tengah kota, tapi pelayanannya belum maksimal dan banyak bangku sisa penataan yang belum dibereskan. Aku bahkan sempat harus menahan kencing karena bingung letak toilet. * "Apa kau yakin? Sungguh kau konyol sekali mau membayar hutang ayahmu dengan menginap dengan wanita tua itu, kau bisa muntah di atas ranjang," kata seorang pria berpakaian pelayan pada seorang lain yang berdiri membelakangiku. Terdengar sekali lagi, cemooh dari pria itu. Aku menggerutu, mereka menghalangi jalanku. Pelayan kenapa malah mengobrol di belakang? "Tak ada jalan lain, aku sudah berusaha, tapi bahkan meski aku membolos dari sekolah selama seminggu, uangnya tidak juga terkumpul," sahut pelayan yang satu lagi. Tunggu, aku kenal suara itu. "Akh maaf apa kami menghalangi jalan?" kata pria pelayan yang memergokiku termenung lama di tempat itu. Ya, kenapa baru sadar? Satu lagi, berbalik. Damn! Dia memang Arzhou. Ekspresinya tak kalah terkejut saat kami saling melempar pandangan satu sama lain. Di saat terakhir akan berpaling dan pura-pura tidak mengenal, aku sempat melihat Arzhou melirik kearah dress ketat yang membalutku. Reflek, aku membuang muka. Menggerutu kecil karena terlihat begitu murahan. Jauh dari kesan sok wibawa dan bijaksana yang kubangun di hadapannya selama ini. "Kau kemana saja?" teriak Himeko sesampainya aku di meja bartender. Aku tak segera menyahut, memilih mengeluarkan sepuntung rokok mint untuk menghilangkan keterkejutanku. Kutenggak gelas penuh alkohol itu cepat-cepat tanpa memperdulikan tatapan Himeko. "Hei, apa yang terjadi?" teriaknya mengguncang bahu telanjangku. Menuntut diberi jawaban saat itu juga. "Himeko-chan, bisa aku pinjam uangmu? Hari ini aku ingin menyewa seorang pria."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD