PART 2

1689 Words
Aku memilih untuk diam saat Himeko terus bertanya perihal ide gilaku untuk menyewa seorang pria. Apa yang menjadi permasalahan Arzhou mungkin bisa kumanfaatkan. Ini justru kesempatan bagus untuk mendapatkan pria itu dalam semalam. Arzhou punya hutang? Jika ia berniat menjual tubuhnya, kenapa tidak aku saja yang beli? Berapapun, aku yakin bisa mengusahakannya jika membujuk kakek. Berbekal syal Himeko, kututupi area dadaku yang sedari tadi jelas terekspos. Mungkin kesempatan ini tidak akan datang lagi. Setelah mendapatkannya, kegilaanku pasti akan berakhir. Aku buru-buru menuju ruang ganti karyawan yang ternyata bersebelahan dengan toilet. "Dia sudah pulang, sepertinya ada urusan,"kata pelayan yang sempat mengobrol dengan Arzhou tadi. Mata sipitnya sedikit mengintip area yang kututupi dengan syal. "Dia kemana? Apa membayar hutangnya?" tanyaku cemas. Tidak terpikir lagi olehku alasan lain ia buru-buru pulang. Pemuda dengan aksen Osaka itu diam sejenak. Menatapku ragu, mungkin sedang berpikir akan memberitahuku atau tidak. Kuulurkan lembaran yen yang kuambil dari dalam tas kearahnya tak sabar,"Cepat katakan," dengusku tajam. Ia nampak terkejut, tapi dengan segera menerima pemberianku lalu memasukkannya ke dalam saku. "Iya, ayahnya yang menyuruh Arzhou untuk itu, kalau tidak salah ia ada di Barinton hotel, sepuluh menit perjalanan dari sini." Tak peduli apapun lagi, aku langsung melesat meninggalkan klub dengan mobil milik Himeko yang di parkir paling belakang. Aku berkali-kali menekan klakson yang membuatku terlihat seperti wanita mabuk yang sedang berkendara. Beruntung, tidak ada polisi lalu lintas pada tengah malam seperti sekarang. Setelah memarkir mobil di hotel kecil itu, aku buru-buru masuk ke bagian resepsionis. Berlari seperti orang yang hilang akal. "Anda ingin memesan kamar Nona?" tanya seorang resepsionis menyambutku ramah. Sial...bagaimana aku bisa menemukan kamar mereka? Kuremas mini dressku dengan pikiran kacau. Sudah sejauh ini, apa aku harus menyerah? "Aku ingin pesan kamar di lantai dua," kataku asal, penuh keraguan. "Baik, akan segera saya siapkan." Resepsionis wanita itu lalu memeriksa ketersediaan kamar lewat layar monitor di depannya. Sesekali, ia melirik kearah wajahku yang terlihat diliputi kepanikan. Seperti mencoba menebak tentang apa yang ada di pikiranku sekarang. "Maaf, apa anda sedang mencari seseorang disini? Emm--- maksud saya mungkin saya bisa membantu, tapi saya butuh tip untuk itu." Senyumku langsung mengembang,"Baiklah apa ini cukup? Disini tidak ada cctv kan? Jika kau sampai membocorkan rahasia tamu, kau bisa celaka." Ia menggeleng, berbisik sambil mencondongkan tubuhnya mendekatiku,"Sudah lama cctv kami tidak berfungsi, bukankah sesama wanita harus saling membantu?" Kini aku mengerti, dia mungkin berpikir aku sedang mencari suami atau pacar yang sedang berduaan dengan wanita simpanan mereka di hotel. Masa bodoh yang penting aku harus menemukan kamar itu. "Hanya kamar nomor ini yang ada wanita paruh baya dengan pria remaja, mereka baru saja. Kira-kira 10 menit yang lalu." Tidak ada waktu. Jika sudah sepuluh menit yang lalu, bisa-bisa mereka sudah melakukannya! Setengah berlari aku meninggalkan tiga lembaran ratusan yen di mejanya. Butuh waktu semenit, hingga kaki telanjangku berdiri tepat di depan kamar nomor 502. Napasku masih tersengal saat dengan buru-buru kuketuk pintu bercat coklat itu tak sabar. Satu menit. Dua menit. Masih hening. "Buka atau kudobrak!" teriakku mencoba untuk kembali tenang. Ada apa ini? Apa wanita itu terlalu asyik hingga tak peduli? Ceklek. Seorang wanita paruh baya bermata seperti rubah betina membuka pintu itu. Aku berkacak pinggang, mendorongnya lebih kuat agar terbuka lebar. "Siapa kau! Pergi atau aku panggil keamanan! "Ia panik, memicing di bawah kelopak mata kendurnya. Bukannya takut mendengar ancaman, aku sekuat tenaga menahan pintu yang akan kembali ia tutup. Tapi, ia mati-matian menepis kakiku yang menendangi daun pintu. Buk... Wanita itu terjengkang mundur dan akhirnya pintupun terbuka, memberi akses bagiku untuk masuk. "Surumi-san? Apa pengganggu itu sudah pergi?" Seorang wanita berjalan menuju kearahku, kutafsir, umurnya lebih dari 30. "Siapa kau? Mana Surumi!" Ia memekik kaget saat melihat sosokku menerobos masuk ke ruangan bagian dalam. Namun, aku tak menggubrisnya. Begitu melihat wanita lain selain rubah betina yang menghalangiku tadi, firasatku berubah sangat buruk. Apa ada pesta liar di sini? Segala pertanyaanku langsung terjawab begitu aku melihat Arzhou duduk setengah sadar di sebuah sofa paling pojok. Di sampingnya, ada seorang lagi, sibuk melepasi kancing bajunya sendiri. Terlihat sangat tidak sabar, penuh nafsu. "Kau! Lepaskan dia, jalang!" teriakku, berlari kearahnya emosi. Tanpa ampun, kutarik ujung rambut wanita ketiga itu hingga terdorong mundur, menghantam sudut sebuah meja besi. Ia memekik kencang, menyentuh ujung pelipisnya yang berdarah akibat perbuatanku. "Siapa kau! Dia sudah dibayar. Pria ini adalah milik kami!" "Benar, pergi atau ku panggil satpam!" Ketiganya mengepungku dengan ancaman menggelikan. "Satpam kalian bilang? Apa tidak sekalian polisi huh? Berpesta liar dengan anak yang masih sekolah bukankah melanggar hukum!" balasku berteriak menunjuk Arzhou yang sudah mulai sadar. Pria itu buru-buru kurengkuh, kuangkat dengan salah satu lenganku. Aku harus membawanya pergi. "Memangnya kenapa? Kami membayarnya!"teriak wanita ke dua menutup pintu keluar. Memang, mustahil mereka membiarkanku membawa Arzhou keluar begitu saja dari tempat itu. "Baiklah, berapa nominalnya, akan kuganti." Satu dari mereka tergelak, menertawai omonganku. "Bilang saja, kau juga ingin mencicipi tubuh remaja tampan ini, kita bisa membaginya denganmu nanti." Kurang ajar! "Minggir atau aku akan telepon polisi karena kalian hampir menelanjangi anak didikku." Perkataanku, sukses membuat ketiga wanita itu bungkam. Ya, jika mereka masih waras, mereka akan melepaskanku sekarang. Aku sangat yakin, mereka pasti takut jika aku sampai lapor polisi. Itu sama saja membiarkan perbuatan menyimpang mereka ketahuan. * Lewat tengah malam, dengan sisa-sisa tenagaku kubawa Arzhou masuk ke dalam apartemen. Entah apa yang telah ia minum, sudah hampir setengah jam, ia tidak bergerak sedikitpun. Aku membaringkan Arzhou di ranjangku. Punggungku serasa remuk dan penampilanku hampir sama dengan p*****r tua di pinggiran jalan kota Tokyo. Akh, menyebalkan dia sungguh menggairahkan, bisikku mengepalkan jari. Melihat Arzhou terpejam di atas ranjangku, rasanya gairahku bisa tumpah saat itu juga. Ukh... Apa ini mimpi? Semoga saja tidak karena aku bisa gila jika terbangun dari mimpi seindah ini. Menahan kesal pada diriku sendiri, aku beranjak ke kamar mandi. Mungkin jika berendam sebentar, pikiranku bisa lebih tenang. Bukankah tidak nikmat b******u dengan seorang yang tidak bergerak? Berendam terlalu lama di dalam bathtub, ternyata tak mampu meredakan gairahku sedikitpun. Yang ada, tubuhku menggigil dan kepalaku berdenyut nyeri. Aku menggerutu, mengambil sebuah setelan gaun tidur di loker kamar mandi. Apa Arzhoe sudah siuman? Sudah terlalu lama sejak aku membawanya dalam keadaan tidak sadar. Rasa penasaranku terjawab setelah aku melihat sosok tingginya masih tergeletak di atas ranjang king sizeku dalam posisi yang sama. Aku langsung cemas. Apa ia dibius oleh tiga rubah itu? Jika benar lebih baik aku membawanya ke rumah sakit. Dengan ragu, ku periksa suhu kening juga alunan nafasnya. Semua normal, tapi kenapa ia tak juga sadar? Alih-alih cemas, otak gilaku malah sibuk menahan gejolak liar dari dalam tubuhku, berkali-kali perhatianku terpusat pada 'bayi besar' itu. Arzhou sungguh mempesona. Jika aku cium bibir itu, apa pemiliknya akan bangun? Aku menunduk, setengah mengambangi tubuh Arzhou dari samping Cup... Saat kulit lembab bibirku menyapu bibirnya, yang kurasakan tidak hanya gairah, tapi juga sensasi aneh. Tidak puas dengan kecupan, aku melumatnya lembut. Jika bibirnya senikmat ini, bagaimana dengan yang lain? f**k! Kini lihatlah, aku sudah tidak lagi bisa mengontrol nafsuku sendiri. Tanganku dengan cepat mulai menjelajahi setiap senti tubuh Arzhou. Bermain di balik kausnya. Meski tidak terlalu berotot, tapi perutnya terasa kuat dan kokoh. Bibirku kemudian bergerak turun, mengecupi rahang dan tengkuk Arzhou bergantian. Tercium aroma mint bercampur bunga mawar menyerbu hidungku, membakar gairahku yang seketika menggila. Tapi, sialnya Arzhou terbangun. Ya, ia benar-benar terjaga dan secara reflek langsung membuka mulutnya. Yang membuatku kaget setengah mati adalah saat merasakan sapuan lidah Arzhou di rongga mulutku, membuatku menggelinjang kaget juga nikmat. Manik hitam pada matanya terbuka, mengerang kecil saat aku memberi hisapan kuat di bagian bawah bibirnya. "Sensei? Apa yang kaulakukan?" tanya Arzhou dengan parau, menahan gairah. "Sssttt...," bisikku menempelkan telunjuk di atas bibirnya. Aku kembali menunduk, menghunjami pria di bawahku itu dengan ciuman yang lebih panas, lama dan dalam. Awalnya, tubuh Arzhou menegang, tapi perlahan kurasakan matanya meredup, lalu tangannya terulur, mengusap pipi lalu tengkuk, kemudian berhenti tepat di depan dadaku. Aku bisa merasakan, ia gemetar saat mengumpulkan keberanian pertamanya untuk menyusup di dalam gaunku, meraih bebas dadaku yang sudah membusung. Sebuah erangan keluar dari mulutku dan kulihat wajah Arzhou begitu terangsang melihat reaksi dari sentuhannya. Semua berlangsung begitu cepat. Nafas kami memburu kencang, bersatu dengan udara pagi. Aku kaget saat ia dengan berani menarikku kebawah. Kami kembali berciuman, mencecap saliva yang saling bertukar. Arzhou menindihku kuat, tak ada keraguan lagi di matanya seperti tadi. Yang tersisa hanya siratan nafsu birahi. Di atas tubuhku yang terlentang, ia membuka pakaiannya satu persatu. Aku takjub menatap tubuh telanjang Arzhou terpampang begitu nyata di depan mata. Besar dan sudah mengeras. "Sensei?" ia mengerang, menjilat lubang telingaku sekilas. Tak lama, kami yang sudah sama-sama telanjang mulai bergumul dengan permainan yang lebih bebas dan liar. Gesekan kulitnya pada kulitku juga sentuhan gila Arzhou sungguh menjadikanku binal. Kupikir, Arzhoe itu lugu, tapi lihatlah, ia bahkan bisa mengimbangi mantan player sepertiku. Ia mampu membuatku mengerang penuh kenikmatan. Dan lagi, ereksinya sungguh mengagumkan. Keras dan lumayan besar. Jauh dari bayanganku yang berpikir kecil dan lembek. Aku jengkel pada diriku yang tidak tahan untuk menghisap miliknya itu dengan lembut. Ia melenguh, menarik belaian di rambutku. Tiba disaat ereksinya sudah siap memasukiku, Arzhou nampak ragu. Padahal aku sudah tidak sabar dan selangkanganku terus berdenyut menahan nafsu yang sudah membuncah. Arzhou terdiam sesaat dengan nafas memburu hingga kemudian, ia mulai menaikiku, membuka kedua kakiku lebar-lebar hingga akhirnya aku merasakan benda hangat memenuhi perut bagian bawahku yang berkedut riang. Karena sudah lama tidak melakukannya, celahku sedikit sempit dan susah untuk dimasuki. Kuremas ujung seprai kuat-kuat, Arzhoe menatapku, menikmati erangan yang berlolosan dari bibir. Arzhou lalu memompaku dengan gerakan yang semakin lama semakin cepat. Sungguh erotis melihat remaja itu memacuku penuh peluh. Desahan, erangan juga suara persatuan kami terdengar memenuhi kamar apartemenku. Menghangatkan udara pagi di musim semi. Kami saling bertatapan dan Arzhou tak lepas memandangi payudaraku yang berayun mengikuti dorongannya pada tubuhku. Ia menyukainya, menghisapnya berulang kali hingga putingku panjang dan membengkak. Sepuluh menit memacuku, Arzhoe menemukan pelepasan pertamanya. Dengan sigap, ia menarik ereksinya keluar, memuntahkan m**i di atas perut rata milikku. Nafas kami memburu kencang, bersatu dengan udara pagi. Di sela pengaturan nafas kami, tiba-tiba suasana b*******h yang sempat tercipta, berakhir canggung luar biasa. Kepalaku mendadak sakit memikirkan sebuah jawaban jika ia bertanya tentang banyak hal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD