PART 4

1120 Words
"Tapi, aku tidak pernah bilang tidak akan membantumu kan? Berapa nominalnya? Kau bisa mengambilnya besok jika jumlahnya terlalu besar." "Lima juta yen, aku harus melunasinya dalam waktu 24 jam," Mimik muka Arzhou sedikit melembek saat tahu aku berniat membantu. Aku berusaha tidak kaget mendengar nominalnya. Uang sebesar itu tidak ada dalam tabunganku malam ini. "Apa kau tidak punya? Bukankah tadi pagi kau bilang sanggup membayar hingga seratus juta untukku?" Sungguh tidak sopan. Huft... Baiklah tadi pagi bualanku sudah kelewatan dan aku menyesal. "Aku tidak punya uang sebanyak itu sekarang, kau bisa mengambilnya besok," ucapku tenang. Kulihat ada keraguan dari caranya memandangku,"Aku membutuhkannya sekarang Sensei." "Aku hanya bisa menjanjikannya besok, kenapa? Apa itu sangat mendesak?" tanyaku bingung. Bisa saja aku pulang ke rumah kakek untuk mengambil uang itu dalam brankas kamarku, tapi ini bukan waktu yang tepat untuk pulang. Aku tidak mau bertemu dengan orang rumah sebelum menuntaskan masa magang. "Jika kau tidak memberiku uang itu sekarang, ayahku bisa dibunuh." Remaja itu menatapku penuh harap, pupilnya sedikit menggelap, menggambarkan ke putus asaan. Ya, baiklah anggap saja dia bukan tipe pembohong, tapi aku tetap tidak bisa pulang sekarang. Itu sama dengan bunuh diri. Mengingat janjiku pada kakek adalah mutlak dan tidak bisa diganggu gugat. "Apa kalian pinjam uang dari rentenir?"tebakku lugas. Di Jepang, tidak ada organisasi resmi yang menebar ancaman pembunuhan dalam sebuah perjanjian pinjaman. Orang yang tidak memiliki jaminan akan memberikan nyawanya untuk sejumlah uang pada Yakuza atau organisasi gelap lainnya. Ya, setelah mereka benar-benar tidak bisa membayar, hanya ada satu jalan keluar. Jadi pengantar barang terlarang juga selundupan secara sukarela kemudian mati sia-sia di tangan polisi atau membusuk di penjara. "Yakuza. Dua tahun lalu kami membutuhkannya untuk biaya operasi ibu," jawab Arzhou getir. Tangannya mengusapi wajahnya dengan kacau. Sedikit frustasi. Aku terdiam bimbang, memikirkan sesuatu tanpa melepaskan pandanganku dari Arzhou. Apa ini saatnya aku meminta satu permohonan pada Kakek? Tapi dia bukan siapapun. Arzhoe bukan siapapun bagiku. "Aku bisa membantumu, tapi tidak dengan uang." Aku melihat wajah Arzhou yang begitu bingung dengan ucapanku. Seharusnya aku tidak terlibat lebih jauh dengan anak ini. Persetan! Meski masih bingung dengan apa yang akan kulakukan, tapi Arzhou tak bicara. Jemari panjangnya bergerak, meremas ujung rambutnya gelisah. Aku menatapnya dari sudut mata, mengambil ponselku lalu menghubungi kakek dengan hembusan napas yang luar biasa berat. Perlu dua menit agar kakek mau sukarela berbicara denganku. Ohara-sama, pelayan pribadinya terus menerus membuat alasan tak masuk akal hingga amarahku tidak lagi bisa ditahan. Aku berteriak, memaki, mengumpat bahkan mengancam tidak akan pernah pulang. Arzhou pasti terkejut setelah mendengar gaya bicaraku yang mirip preman. "Apa kau sehat cucuku?" Suara kakek terdengar juga. Walaupun terkesan ramah, bagiku yang sangat mengenal watak kerasnya, aku hanya bergumam masam tentang kejadian terakhir di sekolah. "Baiklah apa yang kau butuhkan Ayumu-chan? Jika hanya uang, kau bisa mengirim pesan pada Ohara, kau mengganggu acara minum tehku,"ujarnya menusuk. Celaka, kakek paling tidak suka diganggu saat minum teh. Terakhir saat aku mengganggunya, pria tua itu tak mau bicara sebulan padaku. "Kakek, jangan marah, kalau kakek menginginkanku menjadi guru yang baik, tolong kabulkan permintaanku," kataku gugup dan tanpa kusadari, aku ketakutan setengah mati. "Katakan, waktumu semenit." Terdengar kakek berdehem kecil, menungguku. "Kakek, apakah kakek masih memberikan pinjaman dengan bunga yang tidak masuk akal?" tanyaku hati-hati, melirik ke arah ArZhou yang mulai penasaran. Hening. Kubiarkan ArZhou menatapku saat aku terus bicara. Dagunya terangkat, agar bisa mendengar dengan jelas. "Lalu? Apa urusannya denganmu?" Ketus, sarat getaran kemarahan. Mungkin aku harus to the point. Tak ada kamus kesabaran dalam hidup seorang Yoshio Uno. Tetua Yakuza di Prefektur Akita hingga Osaka. Dia kakekku, si keras kepala yang ditakuti seluruh orang. Bertato hingga hampir sekujur badan. "Aku ingin Kakek menghapus hutang juga akar bunga milik ayah dari muridku, Hideaki Arzhou." Akhirnya, kalimat itu meluncur bebas dari bibirku. Kembali hening. Otot di tanganku mendadak lemas karena menunggu jawaban yang menegangkan. "Baiklah, ada lagi? Jangan pernah menghubungiku selama sebulan ke depan. Aku menyayangiku." "Aku juga menyayangimu." Tut. Sambungan terputus sebelum aku selesai dengan ucapan terakhirku. Basa-basi yang indah. Sudahlah, setidaknya ia mau mengabulkan keinginanku. "Masalahmu sudah beres, pergilah... aku masih mengantuk." Kulempar ponselku ke atas sofa. Sungguh, berbicara dengan kakek saja mampu menguras energiku. Arzhou berdiri dari duduknya lalu berjalan ke arahku, entah apa arti tatapannya kali ini. Aku tidak peduli. Semua sudah selesai dan aku tidak mau melibatkannya lebih jauh dalam hidupku. "Kau cucu Yoshio? Yakuza tua dari Ghinza? Bagaimana mungkin?"tanyanya menuntut jawaban. "Apa itu penting? Sejujurnya, aku risih dengan pembicaraan kita! Bagaimana jika kau cepat pergi, lupakan apapun yang pernah kita lakukan," Aku pengecut. Dia harus pergi dari sini. Harus. "Baiklah Sensei, entah apa yang bisa aku perbuat untuk membalas kebaikanmu. Aku hanya ingin minta maaf, setelah apa yang terjadi pada kita, aku berkata tidak pantas." Mata legam Arzhou melembut kemudian membungkuk begitu dalam dihadapanku. Sebenarnya aku sudah terbiasa melihat orang lemah diinjak-injak oleh kakek. Diludahi bahkan ditelanjangi. Tapi Arzhou yang merendahkan harga dirinya di depanku berbeda. Aku tidak mau ia merusak hidupnya dengan hal-hal bodoh di masa depan. "Kau harus berjanji padaku, jangan menjual harga dirimu demi uang. Apa yang kulakukan padamu, itu karena aku memang menyukaimu,"ucapku sedatar yang aku bisa, tapi yang ada, suaraku terdengar menekannya. Arzhou menegakkan tubuhnya yang menjulang, beralih pada mataku,"Baiklah." Brengsek, aku kembali b*******h. Melihatnya dengan kaos tipis itu, aku kembali ingin menyentuhnya, apa aku belum puas? Bagaimana jika aku memintanya untuk tetap tinggal? Mungkin ia menganggapku murahan. Ayolah, dia sangat menggoda. Dengan ragu, aku menyeret kakiku kearahnya. Arzhou diam, menungguku yang tengah menahan jemariku agar tidak terangkat menuju wajahnya. "Sensei? Apa kau menginginkanku ?"tanya Arzhou tepat sasaran. Aku tak lagi fokus karena melihat bibir remaja itu bergerak, menggigit bagian bawah bibirnya. "Tidak, tadi ada sesuatu di rambutmu, kenapa aku harus menginginkanmu? Aku sudah bilang kan?" Kebohongan meluncur sangat telak. Terlalu meragukan. "Sensei, kau bohong, matamu bicara sebaliknya." Shit. Apa aku jujur saja? Arzhou menyeringai, menahan senyuman di sudut mulut. Akh, sialan dia menertawai hasratku yang menggebu. Aku berbalik, menghembuskan nafas membelakanginya. "Pulanglah, mulai sekarang tidak ada alasan untuk bekerja di bar atau membolos." Di detik kedua aku mengatakannya, Arzhou tiba-tiba saja memelukku dari belakang. Nafasnya berhembus, melewati tengkuk lalu turun ke leherku. Begitu aku berbalik, aku mendapati bibirku bertemu langsung dengan bibirnya. Lumatan lidahnya membuatku tanpa sadar mendesah, merasakan gairah yang sengaja dibakar. "Aku hanya bisa membayarmu dengan hal seperti ini. Itupun jika kau mau," bisiknya mengusapi rona merah yang menyemut di pipiku. Wajahnya terlihat menegang, berharap aku memberi jawaban yang ia inginkan. "Angkat aku keatas tempat tidur." Ini gila. Melihat seorang anak remaja mengangkat tubuhku lalu menghempaskannya lembut di atas tempat tidur, membuat banyak desiran mengaliri sendiku. Tatapan Arzhou meredup dan sapuan nafas yang meniupi hidungku bagai euphoria paling erotis. Ia melumat bibirku, menyesap dan menyelimuti rongga mulutku dengan sapuan lidahnya. Kami melakukannya bersama-sama. Ya, benar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD