PART 3

1304 Words
Jam di ruang tengah menunjukkan pukul tujuh pagi. Di luar masih gelap dan aku yakin, ide buruk membiarkan Arzhou pulang di saat kami bahkan belum bicara dengan benar. Setiap tatapan kami berbentur, manik mata milik Arzhou menggelap. Aku bisa menangkap ada aura penyesalan pada tatapannya. * "Minumlah." Kuulurkan secangkir kopi Robusta kearahnya dengan tenang. Arzhou tak bicara, hanya menerima lalu meletakkannya di atas meja yang memisahkan kami. Hening, kutatap beberapa tanda merah yang tertinggal di leher remaja tampan itu. Kontan, ingatanku terlempar pada kegilaan yang baru saja terjadi. "Arzhou, ayo bicara," kataku mendesak matanya yang terus berlarian agar beralih padaku. Ya, aku harus sadar, bagaimanapun dia masih anak kecil. "Tadi malam, aku membawamu dari hotel Horinson. Kupikir akan lebih baik jika kau mengurungkan niatmu itu. Ada tiga rubah---maksudku, tiga wanita usia 40 an yang mengelilingimu, jadi...," "Terima kasih, tapi apa bedanya dirimu dengan mereka Sensei? Kau juga menginginkanku, memperlakukanku seperti sampah." Tenggorokanku langsung kering, tapi apa yang ia katakan tidak salah. Aku sama jalangnya dengan mereka. "Arzhou, kau bukan sampah, maafkan aku karena tidak bisa menahan diri," kataku menghembuskan nafas di sela-sela tatapan tak percayanya. Kembali hening, Arzhou masih memastikan kesungguhanku dengan tatapannya yang sulit kutebak. "Tidak apa-apa, aku hanya syok saat aku terbangun kau sudah ada di atasku tadi," kata Arzhou menyesap sedikit kopinya yang terlihat mulai dingin. Akh, dia tidak menggunakan bahasa formal. Melihatnya tanpa seragam SMA membuat suara dadaku berdegub kencang. "Sensei, ini sangat memalukan, tapi kau harus tahu tadi malam aku dipaksa menelan obat kuat. Seandainya itu tidak terjadi, mungkin sekalipun kau memohon, aku tidak akan merespon." Dahiku mengernyit, Apa dia sedang menghinaku? Jadi tadi karena obat kuat? Bukan karena aku seksi dan semacamnya? "Jangan tersinggung, aku cukup menikmatimu tadi, apa kau mengincarku sejak lama?" kekeh Arzhou tiba-tiba. Sungguh tingkahnya sukses membuat imagenya yang tersimpan di memoryku hancur total. "Berapa hutangmu pada tiga k*****t itu?" tanyaku menusuk. Membuat kepercayaan diri remaja itu memudar, menguap entah kemana. Pengalihan pembicaraan yang sangat tepat di saat ia mulai menyebalkan. Oke, aku bersumpah ini pertama dan terakhir dia menginjak lantai apartemenku. "Apa artinya kau akan membayarku untuk seks?" Kali ini, nada suaranya sungguh berat. Terdengar tersinggung. "Ternyata kau percaya diri sekali ya? Itu sumbangan!" Pertama kali dalam hidupku, setelah melakukan seks yang begitu panas, malah terjadi pertengkaran.Sungguh tidak masuk akal. Bagaimana bisa seorang Ayumu dianggap tidak menarik? Aku bukan seorang jalang yang tidur dengan siapa saja. Aku hanya seorang calon guru yang 'sedikit' nakal. Tidak seharusnya setelah ciuman yang hebat aku malah diremehkan. Apa dia bilang? Kalau tidak terpengaruh obat kuat dia tidak akan merespon gairahku? Yang benar saja! Dasar b******k! "Aku harus pulang, terima kasih sumbangannya, tapi hutangku tidak kecil, simpan saja uangmu Sensei, untuk operasi plastik di bagian tertentu," kata Arzhoe meneguk kopi suguhanku tanpa melepas tatapannya yang penuh kesinisan. Sudah pasti stupid, kau murid beasiswa miskin yang hanya bertampang sedikit keren. Kenapa sok jual mahal pada wanita secantik diriku? Aku menelan salivaku, menahan sabar yang sudah hampir habis. "Berapa hutangmu? Satu juta? Sepuluh? Seratus? Jika aku bisa membayarnya, apa yang akan kudapat darimu? Milikmu yang bahkan hanya sekecil bayi belut?"Aku tergelak, melipat kedua tanganku di depan d**a. Mata Arzhoe melotot---hampir meloncat keluar dari kelopaknya. Apa dia semarah itu? Siapapun, pasti tidak suka diremehkan tentang kemampuan mereka di atas ranjang, apalagi dengan seorang yang baru melakukan one night stand. Meski bukan itu yang kami alami. "Apa sebenarnya yang ingin kau katakan Sensei? Jangan berputar -putar. Apa kau ingin membeliku? Dengan apa? Uang dari penghasilan seorang guru? Bahkan kau masih magang." Ia mengepal tangannya di atas meja dan alisnya menaut keras. Amarah remaja yang tidak menentu, itulah yang kutangkap secara klise lewat tingkahnya. "Itu bukan urusanmu, pikirkan apa yang aku katakan hari ini, aku akan memanggil taksi, kau bisa pulang lalu berangkat sekolah, oh ya... seandainya tadi malam kau tidak kubawa mungkin belutmu yang kecil itu akan kesulitan bergerak sekarang." Aku tidak tahu apa perkataanku itu keterlaluan atau tidak, tapi mengingat dosis obat yang para rubah itu berikan pada Arzhoe, kemungkinan besar mereka ingin menguasainya sepanjang malam. Serius, aku membayangkannya saja sudah menggidik jijik. Kali ini, Arzhou tak membantah. Memilih diam dan membiarkanku menelpon layanan taksi lewat ponsel. Mungkin banyak masalah yang sedang ia pikirankan. Itulah sebabnya mulutnya lebih banyak mengeluarkan duri daripada kalimat yang baik. "Ini nomor ponselku, aku mencatatnya karena aku lihat kau tidak membawa ponsel," kataku menulis sederet angka di sebuah kertas kecil lalu kuulurkan pada Arzhou. Kembali, ia diam, tapi mengambilnya di detik kedua. "Aku bukan jalang yang tidur dengan sembarang pria. Aku melakukannya karena aku memang tertarik padamu. Pulang dan jangan pernah kembali jika mulutmu tidak bisa ditata dengan baik,"ucapku sedikit mengeluarkan wibawaku. Akh, biar si stupid ini bisa mengerti kalau ia lebih baik berakhir di ranjangku daripada bangun dengan keadaan kaku atau bahkan tidak bergerak sama sekali. Hening, keadaan itu berlangsung lama hingga akhirnya Arzhou pergi, masuk ke dalam taksi yang membawanya keluar dari area apartemenku. Akh... Sialan... Aku belum sempat tidur! * Hari ini, aku mengambil libur mengajar. Alasanku sungguh klise, demam dengan panas yang cukup mengkhawatirkan. Persetan dengan masa magang yang hampir habis. Kepalaku terlalu sakit bahkan untuk membuka mata saja susah. Pokoknya, aku tidur seharian, bergelut dengan selimut yang masih ada beraroma Arzhou. Pasti aku akan tidur nyenyak mulai hari ini. Sungguh, hati, tubuh juga pikiranku sangat lega...luar biasa lega. * Setengah sadar, aku mendengar suara bel memenuhi ruang apartemen kecilku. Aku berusaha fokus dan tidak menggubrisnya sama sekali. Ya, mungkin itu hanya halusinasi karena aku terlalu lelah. Satu, dua, tiga hingga keempat kalinya terdengar bunyi bel. Memaksa kesadaranku agar bangun memeriksa. Siapapun dia yang di balik pintu... Aku akan menghajarnya jika tidak punya alasan penting. Setengah melompat, aku membenahi letak gaun tidurku yang masih sama seperti tadi pagi---masalahnya jelas, karena aku belum mandi. Klek... Bodoh, aku tidak memeriksa dulu siapa yang datang dari lubang pengintip. Jika aku melihat si biang berisik yang membunyikan bel, sangat baik kalau aku tidak membukanya dengan mudah. Padahal aku sudah bersumpah tidak akan mengizinkannya masuk lagi ke apartemenku. "Kau baru bangun?" Arzhou menyuara takjub, em--- tidak, tapi sinis. Manik hitamnya menyusuri penampilanku yang amburadul setengah mati. Masa bodoh. "Pergi, aku mau melanjutkan tidurku,"usirku hampir membanting pintu, tapi ia sudah lebih dulu mengganjal celahnya dengan kaki kiri. Itu jelas sakit dan aku tidak heran jika ia memekik, mengeluh kalau aku telah menyakitinya lagi. Lagi? Kapan aku seperti itu? Tak ingin menjadi tontonan tetangga, aku menariknya masuk lalu kami berakhir duduk di sofa tamu tanpa bicara. Aku tidak melakukan apapun selain menopang dagu dan menatapnya serius. Bau cologne murahan, tapi entah bagaimana hidungku menyukainya. Dalam jeda yang panjang itu, aku hampir saja tertidur. t***l rasanya bertamu tapi malah tak bicara sama sekali. "Kudengar kau demam, tapi ternyata baik-baik saja." Arzhou akhirnya bersuara, tepat saat aku hampir terpejam sepenuhnya. "Hu--um, jangan basa-basi, ada apa kau kesini? Bukankah aku memberimu nomor ponselku?" Akhirnya kubalas tatapan pria itu. Maniknya malah terlihat berlarian kikuk, menghindari tatapanku. Shit..apa dia malu? Sial! Itu membuatku b*******h. Pasti ini cuma efek bangun tidur. Aku melempar pandanganku, berusaha untuk tetap tenang meski dalam hatiku sesuatu berloncatan bangun. Menari erotis. "Aku minta maaf karena sudah berbicara kasar padamu, aku kesini untuk menerima tawaranmu," kata Arzhou terdengar ragu. Otakku yang semula menumpul, langsung terasah dengan sendirinya. Apa aku sedang Berhalusinasi? Bukankah tadi pagi ia mengejekku habis-habisan? "Apa?" tanyaku ingin mendengar sekali lagi. "Jika masih berlaku, aku ingin menerima tawaran darimu, sumbangan atau sejenisnya aku tidak peduli, aku butuh uangnya sekarang," Lidahku berdecak tak percaya. Sumbangan dalam bentuk besar? Mana ada yang seperti itu stupid! "Tapi, kau tidak bisa memberiku apapun sebagai gantinya, bagiku hanya sekali aku ingin tidur denganmu, tidak untuk seterusnya." Mendengar ucapanku, manik mata Arzhoe berubah gelap. Kemarahan terjalin satu-satu hingga kulihat kepala tangannya menguat dari balik saku jaket. Ia marah. Tentu saja, aku juga pasti terluka jika diperlakukan seperti itu, tapi aku sengaja ingin melihat reaksinya lebih jauh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD