#2

1795 Words
“Beneran Amaq?!” sahut Rindu ceria. Ia mengambil punggung tangan Nursam dan menciumnya berubi-tubi. “Iyah, tapi ingat. Hanya sampai setahun. Setelah itu Amaq dan Inaq berharap kau kembali secepatnya. Kau tahu kan kami tak bisa kehilanganmu terlalu lama," balas Nursam getir. Ia mencoba menguatkan hatinya demi mengatakan semua ini. Sedang Sulastri hanya menangis tersedu. Hati kecilnya mengatakan akan ada hal yang tak baik yang akan dihadapi Rindu. Meski Nursam terus-terusan mengatakan itu hanya kegelisahan hatinya. Tapi Sulastri tahu, apa yang ia rasakan sebuah firasat seorang ibu kepada anaknya. Perasaan alami yang akan hadir disaat hal tak baik akan menimpa anaknya. “Ya Allah, Jaga Rindu untuk kami. Pertemukan ia dengan orang yang baik di sana. Jauh kan ia dengan orang-orang jahat. Jaga ia, karena KAU sebaik-baiknya penjaga.” -- Hari yang paling berat itu tiba, Sulastri dan Nursam terpaksa ikhlas melepas Rindu pergi sendiri melangkah menuju masa depannya. Mereka sadar tak akan selamanya mereka dapat menggenggam Rindu erat dalam buaian mereka seperti kala Rindu kecil. Sreeggh! Sulastri memberikan Rindu uang simpanannya. Uang yang ia tabung sedikit demi sedikit di tengah kesulitan yang mendera keluarganya. Gulungan uang berisi recehan ribuan itu adalah harapan Sulastri satu-satunya tapi kini beliau memberikannya ke Rindu. Apapun, apapun akan Sulastri lakukan demi membuat Rindu merasa lebih baik di sana. "Inaq..” sergah Rindu, matanya membola tak percaya. Rindu tahu uang itu sudah susah payah ibunya simpan, rencananya akan dipakai jika modal berjualan mereka habis. "Ambil, Nak. Hanya itu yang Inaq punya untuk kau, maafkan Inaq, Nak.” Airmata kembali menetes di pipi Rindu dan Sulastri. Dalam hati Rindu, berjanji tak akan pernah lagi membuat Sulsatri menangis. Ini terakhir kalinya bagi Rindu melihat tetesan air bening yang keluar dari sudut mata ibunya. Ia bertekad akan sukses di ibu kota dan membahagiakan Inaq maupun Amaqnya. Sampai mereka lupa bagaimana caranya untuk sakit hati. "Rindu pamit Inaq, Amaq," ucap Rindu berkali-kali yang tak dilepaskan oleh Sulastri, gadis itu juga mencuim tangan ibunya yang seakan tak ingin melepaskannya. Tapi Rindu tahu, ia harus menarik tangan ibunya itu jika ia ingin memulai semua mimpinya. Ia harus siap jauh dari orangtuanya jika memulai jadi orang sukses, seperti idamannya. Gadis kecil itu pun pergi setelah mendengar suara sirene tanda ia harus segera masuk kedalam bus yang menuju kapal besar. Dengan hanya membawa ransel kecil yang isinya beberapa potong baju serta foto usang kedua orangtuanya, Rindu siap untuk menempuh masa depannya di Jakarta. --- Rindu sampai di Jakarta saat sore hari. Kemarin ia sempat salah tujuan ke Surabaya. Sepertinya Amaq-nya yang tidak pernah sekalipun ke luar kota salah memesan tiket. Beruntung Sulastri sudah membekalkan sedikit uang di kantung Rindu, jadilah ia membeli tiketnya pergi ke kota tujuannya. Butuh satu harian untuk Rindu menaiki kereta ekonomi, melanjutkan perjalanannya. Karena nyatanya kapal laut yang ia tumpangi tadi hanya membawanya ke kota pahlawan itu dan di sana bukanlah tujuan Rindu. Hatinya begitu bahagia tapi sekaligus resah karena simpanan uang yang di tangannya sekarang hanya tersisa 80 ribu rupiah. 'Aku harus irit!' pikir Rindu. Matanya sudah mengedar ke seluruh bangunan kota Jakarta yang terlihat begitu mewah dan megah. Mulutnya menganga tak percaya dengan yang dilihatnya, begitu indah. Sesaat Rindu yakin dengan keputusan yang ia ambil. Ia juga membayangkan menjadi salah satu karyawan di sana. Rindu tiba-tiba saja terbayang wajah Sulastri. Teringat bagaimana cara wanita itu tersenyum suatu hal yang sangat jarang Rindu temui di wajah ibunya yang jauh lebih sering mengerutkan alis demi memikirkan nasib mereka selanjutnya. Dan Rindu ingin senyum itu terus abadi di paras ayu ibunya. Rindu masih menggenggam kertas selembaran dari Nur. Ia sudah banyak di nasehati oleh bu Nartiko untuk jangan sembarang bertanya ke orang lain di Jakarta. Ia harus memilih orang yang terlihat baik. Misalkan saja pedagang asongan yang ibu-ibu. Mata Rindu menangkap seorang wanita paruh baya dengan jaketnya yang sudah kotor, terlihat habis menjajakan onde-onde di lampu merah. Rindu segera menghampiri wanita itu. Ia yakin wanita itu baik, karena wajahnya mengingatkan Rindu akan Sulastri. "Maaf Bu. Ibu tahu di mana tempat ini?." tanya Rindu seraya memberikan selembaran itu. Matanya menerjap ia sudah tak sabar diberi tahu oleh ibu di depannya. Bukan menjawab, ibu itu justru melihat Rindu dari atas kebawah. Seakan memindai gadis itu untuk mengenal lebih jauh. "Kamu pasti bukan asli Jakarta?" tebak wanita tua itu. Rindu semakin bingung ternyata di Jakarta semua orang bisa menebak dengan mudah. Apakah nantinya Rindu juga akan mendapat keahlian seperti itu?. "Kok ibu tahu," pekik Rindu bahagia. Ia lupa untuk bersikap sewajarnya seperti yang disaran kan bu Nartiko padanya. "Soalnya kamu gak tahu, ini kan selembaran palsu. Kamu lihat mana ada kerja cleaning service di cari diselembaran gini. Yang ada baru keluar udah pada rebutan yang masuk, cari kerja di ibu kota ini susah, Nak. Dulu ibu juga pernah bekerja di kantor sebelum ibu tertimpa musibah dan gak bisa kerja lagi," sahut wanita tua itu. Rindu masih tak percaya dengan penuturan wanita itu. Ia berfikir ibu itu hanya tak ingin Rindu bekerja. Karena itu Rindu langsung pamit undur diri. Rindu sudah berjalan cukup jauh, tangannya mengenggam air mineral gelas yang terpaksa ia beli demi mengurangi suara perutnya yang keroncongan. Rindu tak mungkin memakai uang itu lebih banyak, hanya itu harta yang ia miliki. Apalagi ia belum sampai pada tujuannya. Rindu sekali lagi bertanya pada seseorang yang lewat, ia mencoba peruntungannya. Semoga kali ini orang yang Rindu tanyakan dapat membawa Rindu untuk ke maksud dan tujuannya. "Maaf, Pak. Boleh saya tanya. Ini alamatnya di mana, Pak?" sapa Rindu. Ia menunduk tak ingin terbaca lagi jika dirinya bukan asli Jakarta. "Emmm.. Maaf,Dek. Bapak gak tahu. Tapi kayaknya ini palsu. Udah banyak orang yang ketipu dari selembaran kayak gini," ujar laki-laki yang berprofesi sebagai ojek pangkalan. Ia menatap Rindu kasihan, gadis itu sudah terlihat begitu lelah. "Duduk dulu, Dek. Nih makan gorengan Bapak!" Lelaki itu bermaksud tulus karena ia melihat wajah Rindu yang lesu dan tak bertenaga. Tapi Rindu yang takut buru-buru kabur dari sana. Ia tak ingin memakan sesuatu hal dari orang lain. Ia sempat mendengar jika di Jakarta seseorang bisa mengelabui orang lain hanya lewat makanan. Dan Rindu tak ingin itu terjadi menimpa dirinya. *** Sampai larut malam, Rindu masih saja berjalan terseok sambil memegang selembaran itu. Matanya sudah banyak menangis. Ia mulai meruntuki semua sikap keras kepalanya. Ia tadi juga sudah bertanya tiga orang selanjutnya, tapi tak ada satu pun orang yang tahu di mana tempat yang menjadi alamat selembaran itu. Hatinya terus teringat dengan Nursam juga Sulastri jika biasanya malam hari ia akan berada di dipannya yang hangat sembari memikirkan masa depannya hingga mata terpejam mencoba mencari kantuk. Tapi sekarang ia berjalan sendiri tak tahu arah dan tujuannya. Akhirnya Rindu memesan makanannya. Ia tadi melihat abang-abang nasi goreng yang sedang memasak membuat Rindu tak tahan lagi dengan rasa lapar yang mendera tubuhnya dua hari ini. Ia pikir dirinya pun tak boleh sampai pingsan jika ingin lanjut di Jakarta. Rindu sudah terduduk di trotoar jalan sambil menunggu pesananya datang. "Bang yang banyak nasinya," pinta Rindu. Ia tak tahu kapan lagi ia akan makan. Rindu memakan makananya dengan lahap seolah ini adalah nasi goreng terenak yang pernah ia makan. Rasa yang keasian tak Rindu peduli kan. Setidaknya ini adalah makanan pertamanya saat di Jakarta dan ia harus merayakannya dengan gembira. Saat Rindu masih ingin menyuap makananya, ia teringat hari esok. Bagaimana kalau esok ia tak lagi mampu membeli makanannya? Perasaannya tiba-tiba kacau. Ia melihat sekeliling tak ada orang yang jauh menikmati makannya selain dirinya seorang. Piring yang hanya tersisa lima suap itu enggan Rindu habis kan. "Udahan, Neng makannya?" tanya penjual. Ia ingin membenahi piring Rindu. "Ehh jangan Bang. Ini tuh buat makan saya besok pagi!" sahut Rindu kesal. Ia tak suka dengan cara penjual yang tak sopan itu. "Segini buat besok?!" Heran Si penjual. Ia bahkan menggeleng tak percaya. "Iyah.. emang kenapa? Saya tuh kudu irit, Bang. Kan belum tentu saya bisa beli makan lagi," sahut Rindu polos, karena kasihan penjual itu memberikan Rindu satu bungkus lagi. Kebetulan tadi ada seseorang yang tak jadi membeli, padahal sudah dibuatkan. "Makan ini aja, Neng. Yang itu diabisin sekarang aja," saran Si penjual. Rindu sebenarnya heran, tapi ia tak ingin beradu alasan dengan penjual itu, Rindu segera membayar makannya. "Berapa, bang?" tanyanya tangannya merogoh uang yang ia taruh di kantung celananya. "14 ribu, Neng," Sahut penjual santai. Ia bahkan tak menghargai bungkusan yang diberikan untuk Rindu. "Astagfirullah, mahal banget, Bang. Nasi goreng 14 ribu," pekik Rindu. Tapi ia tetap mengeluarkan uangnya meski dengan nada yang bergerutu. Hari semakin larut, tapi Rindu belum juga punya tempat untuk merebahkan tubuhnya. Ia melihat banyak orang yang tidur di jalanan. Hatinya mengatakan hal itu tak baik untuknya yang seorang gadis tapi rasa lelah di tubuhnya ingin menghalal kan semua hal demi bisa beristirahat. Rindu mulai mencari spot tidur yang terbaik untuknya tidur, cukup baik karena disana tak ada pejalan kaki yang lalu lalang. Baru saja matanya terpejam ia sudah berpindah ke alam mimpi dengan kepala yang hanya terganjal tas ransel yang ia punya. Tiba-tiba saja Rindu merasakan tubuhnya digoyangkan oleh seseorang, ia tersentak kaget karena nyatanya bukanlah Sulastri yang membangunkannya kini. "Bangun, Dek. Jangan tidur di sini," ucap seorang satpol PP. Rindu bangkit dari tidurnya, betapa kagetnya ia karena tas ransel yang ia pakai untuk tidur sudah hilang lenyap tak bersisa. Rindu yakin semalaman ia memakai tas itu sebagai bantalan. Tapi kenapa sekarang tak ada sama sekali?. "Hahh.Tas, Pak. Mana tas saya?" pekik Rindu, matanya melotot jantungnya berpacu keras. "Saya enggak tahu, saya lihat kamu sudah meringkuk kearah sana," sahut Satpol PP itu. Ahk, ini pastinya karena Rindu yang tidurnya gocan. Ia pasti semalam berbalik arah dan tak menekan tasnya sehingga dengan mudah diambil orang. "Gak mungkin terus sekarang saya harus gimana, Pak. Hiks Hiks." Rindu tak dapat menahan rasa sedihnya. Ia tak menyangka secepat ini jadi korban pencurian. Pencuri di Jakarta sangat tak berprikemanusian. Padahal tasnya hanya berisikan baju serta makanan semalam yang diberikan penjual. Tapi kenapa juga harus diambil dan satu yang paling rindu sesalkan di dalam tasnya ada foto kedua orangtuanya. Satu-satunya moodboster yang Rindu punya di Jakarta. "Kalau tas kamu hilang lapor aja ke polisi. Lapor apa saja yang hilang, misal kartu-kartu berharga atau uang sejumlah berapa?" Saran satpol PP itu. Rindu semakin diam. Tak mungkin ia mengadu kehilangan tas ransel bututnya apalagi isinya hanya baju-bajunya. "Kamu jadi gak lapor. Kalo iyah, saya anterin." Tawar laki-laki muda itu. Rindu hanya menggeleng lemah. Ia tak mau di bawa kekantor polisi. Rindu takut ia akan di bawa masuk kedalam penjara. Setahu Rindu di dalam kantor polisi itu sangat menakutkan. Rindu pun bangun dari duduknya. Ia tak ingin lama-lama dilihat oleh satpol PP itu meski Rindu masih tak tahu kemana ia harus pergi. Ia mendesah kecewa karena mengingat selembaran sialan itu juga raib bersama tas ranselnya. meskipun kemarin ia kecewa tapi niatnya hari ini ia ingin mencari tempat pekerjaan itu sekali lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD