Bab 2 - Amicia Diculik

1868 Words
Aku mengira semua air mataku telah habis setelah melihat mayat ibuku. Ternyata aku salah. Di tengah hujan yang mengguyur Adijaya, air mata menetes di pipiku selagi aku berusaha untuk mencari sahabat terbaikku, Amicia. Pikiranku benar-benar kosong. Aku ingin menyalahkan semua orang, karena mereka tidak menjaga Amicia dengan baik. Namun aku sadar, bahwa aku tidak lebih baik daripada mereka. Apa yang dilakukan oleh Ryan, sehingga tidak bisa membedakan situasi yang terjadi saat ini? Bukankah sebagai orang yang selalu berada di sebelah Amicia, dia tahu bahwa sahabatku masih belum bisa bergerak dengan bebas? Lalu bagaimana bisa dia mengira Amicia sungguh menulis surat aneh itu? Satu-satunya yang ada di pihakku adalah Eol. Elf itu tidak hanya memiliki wajah yang cantik. Dia juga bisa menilai sesuatu di depannya dengan baik. Atau Eol memihakku hanya agar aku merasa tenang. Meskipun tidak berharap banyak, aku yakin bahwa Amicia masih ada di pulau ini. Si penculik tidak akan pergi terlalu jauh dengan cuaca seburuk ini, sehingga para penculik itu tidak akan memilih jalur laut. Untungnya Mamrodou dan Ryan tidak berbalik untuk menyerangku, terutama setelah aku mengarahkan mata pisauku ke leher Ryan. Sang penjaga hutan itu memang memiliki kesabaran yang tinggi. Ryan hanya sekali meninggalkan Amicia, yaitu saat gilirannya melawan para Ogrotso yang datang dari laut. Selain momen itu, Ryan selalu berada di sisi sahabatku. Bahkan di saat aku, Eol, maupun Mamrodou sedang tertidur. Aku menyesali perbuatan bodohku, karena larut dalam emosi. Pulau tempat kota Adijaya berdiri, tidak memiliki luas yang terlalu besar. Pulau ini bisa dikelilingi dalam waktu kurang dari satu hari. Karena itu dengan kami menyebar ke empat arah mata angin, kemungkinan untuk menemukan Amicia akan semakin besar. Hujan yang sangat deras, membuatku tidak menyadari arah yang sedang kutuju. Di depanku terdapat sebuah pelabuhan besar, dengan beberapa kapal kosong yang tertambat. Tak jauh dari pelabuhan ini, aku melihat sebuah bekas hangus yang kukenali. Aku berada di pantai timur Adijaya. Aku mengenali bekas hangus di tatakan kayu yang ada di sepanjang dermaga ini. Bekas-bekas ini berasal dari bola api yang ditembakkan Amicia kepada Iashor, elf pengkhianat klan Daeron yang juga merupakan tangan kanan Tequr. Pertarungan antara aku dan Amicia melawan Iashor, adalah penyebab sahabatku tak sadarkan diri selama hampir tiga hari. Pantai timur ini adalah satu-satunya pelabuhan besar yang ada di Adon. Seingatku, Ratu Sima berencana akan memperbaiki tempat ini secepat mungkin. Hujan tidak bisa menyembunyikan bekas pertarungan sengit antara Amicia dan tangan kanan Tequr, yang anehnya berlangsung terlalu cepat untuk kemenangan Amicia. Aku tidak menyangka jika sahabatku memiliki kekuatan tersembunyi yang begitu besar. "Kau mencari gadis yang tak sadarkan diri itu?" ujar seseorang dari belakangku dengan pelan, namun sangat jelas, meskipun hujan masih sangat deras. Suara ini bukan suara yang kukenali. Hanya dengan warna suaranya, aku menebak bahwa orang di belakangku ini adalah seorang perempuan. Aku mencoba untuk mengambil dua pisau kembarku yang tersimpan rapi di balik punggungku. Namun tanganku tidak bisa bergerak, saat aku sudah menggenggam gagang kedua pisau itu. Bukan hanya tanganku, seluruh tubuhku juga tidak bisa bergerak. Situasi ini mengingatkanku akan Yared, si pemuda pemegang kunci penginapan Alestora. Membobol rumahnya dan memicu anugerah anak itu, adalah salah satu pengalaman paling mengerikan yang pernah terjadi dalam hidupku. Dan saat ini, aku kembali berada dalam situasi mengerikan itu. "Aku tidak berniat untuk bertarung denganmu," kata wanita itu, sambil berjalan ke depanku. Dari penampilannya, aku sudah tahu bahwa wanita ini pasti bukan orang biasa. Dia memakai gaun putih tanpa lengan, dengan ikat pinggang berwarna emas yang terbuat dari kain. Gaya berpakaian wanita ini, memberinya kesan elegan dan mewah. Wanita ini juga tidak memakai alas kaki, namun kedua kakinya tampak baik-baik saja. Aku tidak bisa melihat wajahnya, karena wanita ini memakai topeng bergambar wajah seekor singa, yang sepertinya terbuat dari tanah liat. Di belakang topeng itu, baru menyembul rambut panjang berwarna hitam yang bergelombang. "Vhirlass Udhokh dengarkan semua yang kukatakan kepadamu!" katanya dengan tegas. "Karena jika kau menolak, maka kau akan menyesali keputusan itu." "Memintaku untuk mendengarmu, tapi kau menyihirku hingga tidak bisa menggerakkan tubuhku," sindirku. "Sihirku hanya akan bertahan selama beberapa detik, karena aku memang ti—" Wanita itu tiba-tiba menghilang di depanku. Tepat seperti yang dikatakannya, tubuhku kembali dapat bergerak dengan leluasa. Eol muncul di depanku. "Kau mengenal wanita itu?" tanyanya. Aku mengangkat bahuku. "Dia memintaku untuk mendengarnya," terangku. "Sepertinya dia memang tidak berniat untuk menyerangku, karena dia memiliki terlalu banyak kesempatan untuk melakukannya." Penjelasanku malah dibalas dengan uluran tangan dari Eol. Aku sudah memercayainya, sehingga aku tidak ragu untuk meraih uluran tangannya. Eol membawaku masuk dalam perjalanan bayangan, dan ternyata tujuannya adalah kamar Amicia. Kamar ini adalah kamar paling luas yang ada di rumah singgah yang dipinjamkan Ratu Sima kepada kami. Namun selama tiga hari terakhir, hanya kami berempat yang bergantian masuk ke kamar ini hanya untuk menjenguk Amicia. Malam ini, bukan Amicia yang berada di atas tempat tidur yang empuk, melainkan wanita yang tiba-tiba menyihirku di saat aku lengah. Ternyata, Eol berhasil menangkapnya, dan langsung menyekapnya ke kemar ini. Di dua sisi wanita ini, terdapat Mamrodou dan Ryan yang sama-sama memegang kapak. Dua kurcaci itu tampak menakutkan, meskipun mereka awalnya tidak percaya soal dugaan Amicia diculik. Eol bergegas melepaskan ikatan yang menahan kedua pergelangan tangan wanita itu. "Kau beruntung karena Lass mengatakan bahwa kau tidak berbahaya," desah Eol. "Jika bukan Lass yang menyuruhku, maka aku akan memakai cara yang kejam untuk menyiksamu." Wanita itu mendengus di balik topengnya. "Jadi menahanku dengan tali di dalam rumah asing ini, sudah merupakan kebaikan?" sindirnya. "Kau bisa saja mengajakku berbicara di luar, daripada harus melakukan tindakan seperti ini." "Kau siapa?" selaku tak sabar. "Dan bukankah kau seharusnya sudah melepas topengmu?" Topeng wanita ini menampakkan gambar yang sama, namun aku bisa merasakan kegugupan wanita ini, saat aku memerintahkan untuk membuka topeng yang menutupi wajahnya. "Namaku Hun-Ari," terangnya tanpa memedulikan perintahku untuk melepaa topeng. "Aku dikirim oleh sukuku ke Adijaya untuk melakukan misi rahasia. Dan ternyata, kelompok yang adalah musuh kami malah sudah bergerak lebih dahulu." "Aku tidak bisa membuka topeng, atau mengatakan misiku. Hanya itulah yang bisa aku katakan, karena inilah prinsip utama sukuku. Jadi jika kalian ingin membunuhku, maka lakukanlah sekarang!" desah wanita bernama Hun-Ari itu. "Anparka," gumam Ryan dari sudut ruangan. Satu kata itu langsung membuat Hun-Ari yang awalnya menunduk, langsung mendongak ke arah Ryan. Aku sangat yakin bahwa wanita ini sedang memelototi Ryan dari balik topengnya. Ryan malah melangkah ke dekat si wanita bertopeng. "Pakaian dan topengmu, adalah bukti bahwa kau berasal dari suku Anparka," ucap Ryan sambil menunjuk topeng Hun-Ari. "Jika kau ingin tetap tersembunyi, maka hindarilah berpenampilan terlalu mencolok seperti ini." "Selain itu, aku bisa merasakan jenis sihir yang kau kuasai. Sihir yang bukan berasal dari alam. Kekuatan yang dikembangkan oleh seorang wanita ribuan tahun lalu, dan membuat para Xenia mengangkat wanita itu sebagai Minean pertama. Parkadouni sang pemilik sihir." "Hanya ada dua golongan yang tetap memakai sihir buatan Parkadouni sebagai sumber kekuatan. Suku Anparka, dan Klan Douni. Dengan kau melepaskan Lass, meskipun dia sudah berada di bawah kendalimu, sudah menjadi bukti kuat bahwa kau adalah salah satu warga suku Anparka," sambung Ryan. "Untuk ukuran kurcaci yang diangkat sebagai penjaga hutan, kau memiliki pengetahuan yang baik," balas Hun-Ari dengan nada kesal. "Sekarang saatnya kalian untuk membunuhku." Mendengar desakan Hun-Ari malah membuat Ryan tertawa kecil. "Kau tidak melihat raut wajah kami berempat?" pungkas kurcaci itu. "Kami tidak berniat membunuhmu, karena ada hal yang lebih penting dari itu." "Ryan benar," selaku cepat. Aku merangsek ke depan Hun-Ari. "Kau mengatakan kepadaku soal gadis yang tak sadarkan diri. Aku memang mencari gadis itu. Dia adalah sahabatku, dan kami baru saja kehilangan dia." "Apakah itu adalah misimu yang gagal?" tebak Eol. Kami semua langsung menoleh ke arah elf itu, dan dia malah menaikkan alisnya dengan tenang. "Wanita ini datang menemui Lass, tapi malah menanyakan keberadaan Amicia. Setelah itu dia mengatakan soal misi yang gagal, karena telah didahului oleh kelompok musuh. Bukankah semya itu hanya mengerucut kepada hilangnya Amicia?" papar Eol dengan runtut. "Gadis itu tidak hilang," ucap Hun-Ari lirih. "Dia mungkin masih berada di pulau ini, akibat hujan deras di luar. Namun sihir Klan Douni lebih berbahaya dan liar, sehingga akan lebih sulit untuk menemukannya." "Meskipun misiku dan Klan Douni sama-sama menyangkut Amicia, aku bisa memastikan bahwa sahabatmu tidak akan diperlakukan dengan baik jika Klan Douni yang memilikinya," ujarnya dengan menatapku tajam. Sebelum aku membalas kalimat Hun-Ari, Eol tiba-tiba menggenggam tanganku dan membawaku tepat di depan pintu rumah singgah menggunakan perjalanan bayangan. "Aku merasakan langkah kaki seseorang," bisiknya tanpa melepaskan pandangannya dari pintu rumah tempat kami tinggal selama beberapa hari terakhir. "Kita akan mengendap masuk ke dalam, dan menangkap orang yang berani menguping pembicaraan kita." Keberadaan Eol di sisiku adalah sebuah anugerah. Elf ini bisa mengambil keputusan dengan cepat, tanpa perlu meminta izin orang lain. Penilaian dan nalarnya membuat hampir semua keputusannya selalu berbuah keberhasilan. Dugaan Eol ternyata memang benar. Empat orang dengan jubah biru kehitaman menghambur keluar dari pintu rumah, yang tepat berada di depan kami. Aku bertabrakan dengan orang yang berada di paling depan, yang ternyata sedang membopong seorang gadis dengan topeng di wajahnya. Gadis itu tampak seperti tak sadarkan diri, karena dia hanya memeluk leher orang berjubah itu dengan lemas. Gadis itu sudah pasti adalah Amicia. Orang berjubah itu langsung beranjak berdiri dan segera menaikkan Amicia ke punggungnya, tepat sebelum aku dan Eol bereaksi. Untungnya kami memiliki kemampuan perjalanan bayangan, yang bisa mengejar mereka sejauh apa pun. Eol menghilang lebih dulu, dan aku menyusulnya beberapa detik kemudian, setelah pedang jiwa berada dalam genggamanku. Meskipun tampak berlari biasa, para orang-orang berjubah itu memiliki kecepatan yang hampir setara dengan para elf. Aku membutuhkan dua kali perjalanan bayangan untuk mencapai orang terdekat, dan aku langsung menubruknya hingga dia jatuh terjerembap. Di depanku, Eol juga berhasil melumpuhkan dua orang sekaligus. Sekarang hanya tersisa satu orang yang menggendong Amicia di punggungnya. "Cegat dia dari depan!" seru Eol. Aku mengerti maksudnya. Aku memfokuskan mataku ke depan orang berjubah itu, dan segera melakukan perjalanan bayangan. Strategi Eol berhasil. Aku menghadang orang itu dari depan, dan Eol berhasil menendang betis orang itu dari belakang. Akhirnya gadis yang berada di punggungnya berhasil kami selamatkan. Aku terkejut saat membuka topeng yang menutupi wajah gadis itu. Bukan wajah Amicia yang berada di balik topeng bergambar harimau itu, melainkan wajah gadis lain yang tak kukenali. Bersamaan dengan itu, para orang-orang berjubah yang kami kejar malah berubah menjadi asap yang terbang ke arah pantai Timur. Eol langsung menggenggam tanganku, dan kami sampai di pantai Timur beberapa detik kemudian. Tetap saja, kami masih kalah cepat. Sebuah kapal yang tidak terlalu besar, sudah berada jauh di atas lautan lepas Adijaya. Empat asap itu terus terbang hingga mendarat di atas kapal itu. Hanya butuh waktu beberapa menit bagi kapal itu untuk menghilang dari pandangan kami. Aku dan Eol hanya bisa pasrah melihat kepergian kapal itu. Perjalanan bayangan memiliki sebuah kelemahan, yaitu tidak bisa berpindah ke tempat yang tidak pernah dilihat oleh si pengguna. Kami berdua sama-sama tidak pernah menaiki kapal itu, sehingga perjalanan bayangan tidak bisa menjadi solusi. Mereka berhasil mempermainkanku, dengan menggunakan gadis dengan tubuh dan ciri-ciri yang persis seperti Amicia. Aku hanya kalah beberapa langkah untuk bisa menyelamatkan sahabatku. "Skardolav," gumam Eol dengan napas yang masih tersengal. "Aku melihat panji bergambar serigala putih di atas kapal, dan itu adalah simbol kerajaan Skardolav." "Di mana letak kerajaan itu?" balasku. Eol menarik napas panjang, sebelum akhirnya menjawab, "Laustrowana."

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD