bc

khittah nu

book_age16+
1
FOLLOW
1K
READ
scary
spiritual
like
intro-logo
Blurb

Menjaga Netralitas dan Khittah NU 1926 DALAM kaitannya dengan wawasan kebangsaan, pemikiran politik NU selalu memadukan antara nilai kebangsaan dengan nilai keagamaan (Islam). Perpaduan antara keduanya didasarkan pada landasan hukum Islam yang memberikan pedoman bahwa Islam tidak mengenal pemisahan agama dari politik. Menurut Gus Dur, hubungan antara agama dan negara harus terjalin secara proporsional. Hal ini dimaksudkan agar proses berfikir kaum muslimin tidak mengganggu perkembangan negara yang sedang merintis dan membangun tatanan negara yang mantap dan berfungsi untuk jangka panjang. Sikap politik tersebut merupakan perwujudan dan perpaduan antara wawasan keagamaan dengan wawasan kebangsaan. Berdasarkan sikap politik kemasyarakatan tersebut dan sesuai dengan budaya politik Indonesia, pemikiran politik NU selalu terbingkai pada sikap selektif, akomodatif, dan integratif dengan tetap memegang teguh nilai dan prinsip dasar yang telah ditetapkan. Sikap demikian diterapkan oleh NU dalam menjawab setiap permasalahan baru yang muncul dan mencarikan pemecahannya tanpa menimbulkan gejolak. Inilah yang menjadikan NU bersikap netral dalam berpolitik dengan senantiasa kembali ke Khittah NU 1926. Politik, baik secara praktik maupun teori tidak asing bagi para ulama, khususnya di kalangan pesantren. Sebab dalam khazanah keilmuan Islam, politik dipelajari dalam kitab-kitab fiqih siyasah. Namun, politik yang dijalankan oleh para ulama dan kiai selama ini ialah praktik politik untuk memperkuat kebangsaan dan kerakyatan. Bahkan KH MA Sahal Mahfudh (Rais 'Aam PBNU 1999-2014) menambahkan konsep etika politik.

Dalam konsep yang dicetuskan oleh Kiai Sahal Mahfudh, ketiga entitas tersebut ialah bagian dari politik tingkat tinggi NU atau siyasah ‘aliyah samiyah. Praktik politik ini digulirkan demi menjaga Khittah NU 1926 yang telah menjadi kesepakatan bersama dalam Munas NU 1983 di Situbondo, Jawa Timur.

Menurut Kiai Sahal Mahfudh, politik kekuasaan yang lazim disebut politik tingkat rendah (siayasah safilah) adalah porsi  partai politik bagi warga negara, termasuk warga NU secara perseorangan. Sedangkan NU sebagai lembaga atau organisasi, harus steril dari politik semacam itu. Kepedulian NU terhadap politik diwujudkan dalam peran politik tingkat tinggi, yakni politik kebangsaan, politik kerakyatan, dan etika berpolitik.

Sejarah mencatat, NU memang pernah memutuskan menjadi partai politik pada 1952. Kemudian tahun 1955 merupakan pemilu pertama yang diikuti oleh NU sebagai partai. Berjalannya waktu, keputusan NU menjadi partai politik pada tahun 1952 turut mendegradasi peran dan perjuangan luhur organsasi karena lebih banyak berfokus ke percaturan politik praktis sehingga pengabdian kepada umat seolah terlupakan.

Berangkat dari kegelisahan tersebut, para kiai mengusulkan agar NU secara organisasi harus segera kembali Khittah 1926. Usulan tersebut sempat terhenti. Namun, seruan kembali ke Khittah 1926 muncul kembali pada tahun 1971. Kala itu Ketua Umum PBNU KH Muhammad Dahlan memandang langkah tersebut sebagai sebuah kemunduran secara historis. Pendapat Kiai Muhammad Dahlan itu coba ditengahi oleh Rais ‘Aam KH Abdul Wahab Chasbullah bahwa kembali ke khittah berarti kembali pada semangat perjuangan 1926, saat awal NU didirikan, bukan kembali secara harfiah.

Setelah seruan kembali ke khittah sempat terhenti kala itu, gema tersebut muncul lagi pada tahun 1979 ketika diselenggarakan Muktamar  ke-26 NU di Semarang, Jawa Tengah. Seperti seruan sebelumnya, usulan untuk kembali menjadi jami’iyah diniyyah ijtima’iyah dalam Muktamar tersebut juga mentah. Apalagi NU sedang giat-giatnya memperjuangkan aspirasi rakyat dari represi Orde Baru lewat PPP. Namun pada praktiknya, kelompok kritis dari kalangan NU mengalami penggusuran sehingga menurunkan kadar perjuangan dari partai tersebut.

Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa peran aktif dalam berbangsa dan bernegara pernah diwujudkan oleh NU dengan menjadi partai politik. Dalam perjalanannya, sedikit demi sedikit NU memulai langkahnya berkiprah dalam dunia politik. Berawal dari MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), NU akhirnya terlibat dalam masalah-masalah politik.

Namun, eksistensi MIAI tidak berlangsung lama, pada Oktober 1943, MIAI akhirnya membubarkan diri dan digantikan oleh Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Pada awalnya, Masyumi merupakan sebuah organisasi nonpolitik. Tetapi, setelah Indonesia merdeka, Masyumi akhirnya ditahbiskan menjadi partai politik, dan memutuskan NU sebagai tulang punggung Masyumi. (Baca Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010)

Pada tahun 1940-1950, Masyumi akhirnya menjadi partai politik terbesar di Indonesia. Masyumi merupakan partai yang heterogen anggotanya, sehingga perbedaan kepentingan politik banyak terjadi di dalamnya. NU dengan jumlah jamaahnya yang besar membuat Masyumi memperoleh dukungan besar. Namun yang terjadi justru NU dipinggirkan sehingga hanya menjadi alat pendulang suara. Hal it

chap-preview
Free preview
khittah NU
Menjaga Netralitas dan Khittah NU 1926 DALAM kaitannya dengan wawasan kebangsaan, pemikiran politik NU selalu memadukan antara nilai kebangsaan dengan nilai keagamaan (Islam). Perpaduan antara keduanya didasarkan pada landasan hukum Islam yang memberikan pedoman bahwa Islam tidak mengenal pemisahan agama dari politik. Menurut Gus Dur, hubungan antara agama dan negara harus terjalin secara proporsional. Hal ini dimaksudkan agar proses berfikir kaum muslimin tidak mengganggu perkembangan negara yang sedang merintis dan membangun tatanan negara yang mantap dan berfungsi untuk jangka panjang. Sikap politik tersebut merupakan perwujudan dan perpaduan antara wawasan keagamaan dengan wawasan kebangsaan. Berdasarkan sikap politik kemasyarakatan tersebut dan sesuai dengan budaya politik Indonesia, pemikiran politik NU selalu terbingkai pada sikap selektif, akomodatif, dan integratif dengan tetap memegang teguh nilai dan prinsip dasar yang telah ditetapkan. Sikap demikian diterapkan oleh NU dalam menjawab setiap permasalahan baru yang muncul dan mencarikan pemecahannya tanpa menimbulkan gejolak. Inilah yang menjadikan NU bersikap netral dalam berpolitik dengan senantiasa kembali ke Khittah NU 1926. Politik, baik secara praktik maupun teori tidak asing bagi para ulama, khususnya di kalangan pesantren. Sebab dalam khazanah keilmuan Islam, politik dipelajari dalam kitab-kitab fiqih siyasah. Namun, politik yang dijalankan oleh para ulama dan kiai selama ini ialah praktik politik untuk memperkuat kebangsaan dan kerakyatan. Bahkan KH MA Sahal Mahfudh (Rais 'Aam PBNU 1999-2014) menambahkan konsep etika politik. Dalam konsep yang dicetuskan oleh Kiai Sahal Mahfudh, ketiga entitas tersebut ialah bagian dari politik tingkat tinggi NU atau siyasah ‘aliyah samiyah. Praktik politik ini digulirkan demi menjaga Khittah NU 1926 yang telah menjadi kesepakatan bersama dalam Munas NU 1983 di Situbondo, Jawa Timur. Menurut Kiai Sahal Mahfudh, politik kekuasaan yang lazim disebut politik tingkat rendah (siayasah safilah) adalah porsi partai politik bagi warga negara, termasuk warga NU secara perseorangan. Sedangkan NU sebagai lembaga atau organisasi, harus steril dari politik semacam itu. Kepedulian NU terhadap politik diwujudkan dalam peran politik tingkat tinggi, yakni politik kebangsaan, politik kerakyatan, dan etika berpolitik. Sejarah mencatat, NU memang pernah memutuskan menjadi partai politik pada 1952. Kemudian tahun 1955 merupakan pemilu pertama yang diikuti oleh NU sebagai partai. Berjalannya waktu, keputusan NU menjadi partai politik pada tahun 1952 turut mendegradasi peran dan perjuangan luhur organsasi karena lebih banyak berfokus ke percaturan politik praktis sehingga pengabdian kepada umat seolah terlupakan. Berangkat dari kegelisahan tersebut, para kiai mengusulkan agar NU secara organisasi harus segera kembali Khittah 1926. Usulan tersebut sempat terhenti. Namun, seruan kembali ke Khittah 1926 muncul kembali pada tahun 1971. Kala itu Ketua Umum PBNU KH Muhammad Dahlan memandang langkah tersebut sebagai sebuah kemunduran secara historis. Pendapat Kiai Muhammad Dahlan itu coba ditengahi oleh Rais ‘Aam KH Abdul Wahab Chasbullah bahwa kembali ke khittah berarti kembali pada semangat perjuangan 1926, saat awal NU didirikan, bukan kembali secara harfiah. Setelah seruan kembali ke khittah sempat terhenti kala itu, gema tersebut muncul lagi pada tahun 1979 ketika diselenggarakan Muktamar ke-26 NU di Semarang, Jawa Tengah. Seperti seruan sebelumnya, usulan untuk kembali menjadi jami’iyah diniyyah ijtima’iyah dalam Muktamar tersebut juga mentah. Apalagi NU sedang giat-giatnya memperjuangkan aspirasi rakyat dari represi Orde Baru lewat PPP. Namun pada praktiknya, kelompok kritis dari kalangan NU mengalami penggusuran sehingga menurunkan kadar perjuangan dari partai tersebut. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa peran aktif dalam berbangsa dan bernegara pernah diwujudkan oleh NU dengan menjadi partai politik. Dalam perjalanannya, sedikit demi sedikit NU memulai langkahnya berkiprah dalam dunia politik. Berawal dari MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), NU akhirnya terlibat dalam masalah-masalah politik. Namun, eksistensi MIAI tidak berlangsung lama, pada Oktober 1943, MIAI akhirnya membubarkan diri dan digantikan oleh Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Pada awalnya, Masyumi merupakan sebuah organisasi nonpolitik. Tetapi, setelah Indonesia merdeka, Masyumi akhirnya ditahbiskan menjadi partai politik, dan memutuskan NU sebagai tulang punggung Masyumi. (Baca Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010) Pada tahun 1940-1950, Masyumi akhirnya menjadi partai politik terbesar di Indonesia. Masyumi merupakan partai yang heterogen anggotanya, sehingga perbedaan kepentingan politik banyak terjadi di dalamnya. NU dengan jumlah jamaahnya yang besar membuat Masyumi memperoleh dukungan besar. Namun yang terjadi justru NU dipinggirkan sehingga hanya menjadi alat pendulang suara. Hal itu menyebabkan NU keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik tersendiri. Setelah menjadi partai politik, NU mengukir sejarah yang monumental, NU berhasil mendapatkan suara yang cukup besar dan berhasil memperoleh 45 kursi di parlemen pada pemilu 1955. Perolehan suara NU tidak hanya terjadi pada pemilu 1955, pada pemilu selanjutnya, yaitu pemilu 1971 NU juga berhasil memperoleh suara yang cukup besar. Keberhasilan NU ini dinilai karena kemampuan NU menggalang solidaritas di lingkungan kaum santri, serta adanya dukungan penuh dari basis tradisionalnya. Organisasi partai identik dengan perebutan kekuasaaan. Namun, praktik yang dilakukan kader-kader NU dalam percaturan politik lebih banyak mewujudkan kepentingan yang lebih luas, yairu bangsa dan negara. Terutama ketika NU harus berhadapan dengan ideologi komunis dalam diri PKI. Di sisi lain, NU secara kultural juga harus berhadapan dengan kelompok-kelompok Islam konservatif yang berupaya keras memformulisasikan Islam ke dalam sistem negara. Dalam praktiknya, meskipun banyak berjasa dalam membangun pondasi kokoh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, aktivitas NU dalam berpolitik sedikit banyak mengaburkan misi jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah (organisasi keagamaan berbasis sosial-kemasyarakatan). Meskipun secara resmi telah menanggalkan diri sebagai partai politik pada 1984, peran-peran NU dalam praktik siyasah berusaha diwujudkan melalui konsep politik tingkat tinggi yang digagas KH Sahal Mahfudh. Tidak Terjebak Orientasi khittah 1926 menjadi janji politik yang harus dipenuhi KH Yahya Cholil Staquf sebagai Ketua Umum PBNU terpilih di mana kepemimpinannya akan diarahkan untuk menjaga netralitas dan independensi Nadhlatul Ulama (NU). Namun demikian, PBNU tetap memiliki tanggung jawab modal untuk menjaga arah politik dan demokrasi Indonesia, dengan memainkan peran strategis dalam konteks politik kebangsaan. NU tidak boleh terjebak dalam politik praktis. Salah satu yang perlu dijadikan prioritas dalam politik kebangsaan adalah terus menjaga tegaknya Islam wasathiyah (toleran dan moderat) dalam ruang demokrasi Indonesia. Namun ada baiknya sedikit menengok ke belakang tepat saat NU dilahirkan.Pertemuan 31 Jamuari 1926 di Surabaya saat membentuk sebuah jam’iyyah sebagi wadah persatuan para ulama dalam tugasnya memimpin umat menuju terciptanya izzul Islam wal muslimin (kejayaan Islam dan kaum muslimin). Jamiyyah itu diberi Nahdlatoel Oelama (NO) atau Nahdlatul Ulama (dalam Ejaan Yang Disempurnakan). Secara singkat jamiyah ini bertujuan untuk membina terwujudnya masyarakat Islam berdasarkan akidah Ahlusunnah wal Jamaah. (LP Maarif, 9). Di samping itu, pertemuan di Surabaya itu juga didorong faktor lain. Pertama, berkait erat dengan langkah politik Hindia Belanda yang membatasi umat Islam Indonesia yang berniat melakukan ibadah haji. Kedua, prinsip para ulama yang berpegang pada kaidah “al-muhafadzah ala qadim al-salih wa al-akhdzu bil jadid al-aslah" (menjaga kesinambungan tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). (LP Maarif, 10). Hal itu didasarkan pada pengalaman dakwah Walisongo yang secara “cerdas” dan “kreatif” dapat mengislamkan Nusantara secara cepat tanpa menimbulkan keguncangan dan gejolak bagi masyarakat Indonesia, suatu hal yang membedakan NU dengan gerakan Islam modernis yang terkesan “keras” dan “tidak-kompromi” terhadap tradisi dalam dakwahnya. Pada awal berdirinya NU belum menetapkan anggaran dasarnya. Baru pada muktamar tahun 1928, NU menetapkan anggaran dasarnya untuk mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah Belanda. NU kemudian menetapkan tujuannya untuk mempromosikan anutan terhadap empat mazhab (Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) dan mewujudkan kemaslahatn umat. Untuk mencapai tujuan itu diadakan usaha-usaha sebagai berikut: -Mengadakan hubungan di antara ulama-ulama yang bermazhab. -Mengkaji kitab-kitab klasik untuk diketahui apakah termasuk kitab dari Ahlus Sunah Wal Jamaah atau Ahli Bid’ah yang untuk selanjutnya menjadi bahan pengajaran agama. -Menyiarkan agama Islam yang didasarkan kepada empat mazhab. -Memperbanyak pendirian madrasah-madrasah. -Memperhatikan urusan yang terakit dengan masjid, langgar, dan pondok pesantren, begitu juga hal ihwal fakir miskin dan anak yatim. -Mendirikan badan-badan untuk urusan pertanian, perniagaan dan perusahaan, yang tidak bertentangan dengan syara`. (Feillard, 12-13) Jadi, NU menetapkan dirinya sebagai pengawal kesinambungan tradisi dan ajaran empat mazhab dan akidah Ahlusunnah Wal Jamaah, meski kenyataannya hanya mazhab Syafi’i yang dianut oleh kebanyakan umat Islam Indonesia atau Asy’ariyah dalam teologinya. Ini berarti NU ingin mempertahankan otoritas ulama dalam menafsirkan ayat atau hadis dari “kecerobohan” penafsiran kaum muda yang ingin mempertanyakan ajaran-ajaran Islam yang telah dipandang mapan sebagaimana telah ditafsirkan oleh para ulama salaf saleh (salafus shalih). Meski demikian bukan berarti NU alergi terhadap pembaruan atau modernisme. Beberapa pemikiran Islam modernis juga diserap NU, khususnya berkaitan dengan sistem pendidikan dan kurikulum. Secara perlahan-lahan, madrasah-madrasah NU juga mengajarkan ilmu-ilmu umum, seperti sekolah-sekolah kaum Islam modernis, di samping pelajaran agama. Hampir satu abad lamanya Nahdlatul Ulama eksis di bumi Indonesia. Faktor utama yang memperkuat basis legitimasi NU di tengah masyarakat adalah komitmennya pada nilai-nilai luhur, konsisten mengusung agenda perubahan dan keberpihakannya terhadap kelompok-kelompok yang terpinggirkan. Agenda-agenda besar NU tentunya menyentuh seluruh level masyarakat sehingga keberadaannya mampu mewakili kepentingan sebagian besar masyarakat Islam Indonesia. Para ulama pesantren pendiri NU mempunyai visi dan misi serta strategi gerakan kultural: menjaga, melestarikan dan mengembangkan Islam Ahlussunnah Waljamaah di tengah-tengah kondisi dan dinamika kehidupan. Prinsip dasar, kaidah, tradisi dan metode keilmuan Islam Ahlussunnah Waljamaah ini telah memperteguh kaum Nahdliyin dalam berpikir, bersikap dan bertindak, baik dalam relasi manusia dengan Allah, manusia dengan manusia maupun manusia dengan alam semesta. Hubungan tersebut dibangun dalam suatu sistem kehidupan yang menjamin tegaknya moralitas keagamaan dan martabat kemanusiaan serta tegaknya jiwa dan semangat amar ma’ruf nahi munkar. NU berpindirian bahwa Islam diturunkan sebagai rahmatan lil ‘alamin, memiliki makna dan fungsi universal, suci, fitri, hanif serta dapat diterima dan diamalkan oleh seluruh umat manusia. Ragam ras, budaya, agama, aliran dan lainnya dipahami Islam sebagai sunnatullah. Pluralitas adalah rahmatullah bahkan amanah ilahiyah dan kemanusiaan yang harus dimaknai dan disikapi dengan saling mengenal, memahami, membuka diri, merangkul dan mendialogkan secara kreatif untuk menjalin kebersamaan dan kerjasama atas dasar saling menghormati. NU berpendirian bahwa realitas kehidupan harus dilihat secara substantif, fungsional, terbuka, dan bersahabat. NU memandang bahwa klaim dan monopoli atas kebenaran merupakan sikap yang tidak etis. Sikap itu merupakan potensi konflik yang dapat memecah belah masyarakat. Karena itu NU berpendirian bahwa setiap orang atau kelompok hendaknya menerima kebenaran dan kebaikan pihak lain yang berbeda dengan tetap mengacu kepada nilai intelektual, moral keagamaan, dan kemanusiaan. Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, NU telah bertekad untuk terikat dengan kesepakatan-kesepakatan nasional yang mengatur kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara, serta mewujudkannya dalam realitas. Meskipun demikian NU berpandangan bahwa prinsip berbangsa dan bernegara harus tetap menghargai dan menghormati keyakinan dan keberagamaan masyarakat. Kiprah dan dinamika NU adalah keislaman, keindonesiaan, kemanusiaan dan rahmatan lil ‘alamin. Karena itu NU meneguhkan kultur, struktur, sistem dan mekanisme lembaganya sebagai organisasi agama dan sosial yang bercirikan Ahlussunnah Waljamaah. NU bukanlah organisasi politik dan secara organisatoris tidak terikat dengan partai politik dan organisasi kemasyarakatan manapun. NU adalah organisasi sosial keagamaan yang independen dan mempunyai kebebasan dalam menentukan sikap dan langkahnya. NU menjunjung tinggi demokrasi, konstitusi, dan hukum. NU juga menghargai keterbukaan, kooperatif, dialogis dan moderat. Karena itu NU menentang segala bentuk diskriminasi, radikalisme, anarkisme, dan terorisme. Spesifikasi NU yang membedakan dengan organisasi lainnya adalah agenda mengusung Ahlussunnah Waljamaah. Dalam tataran aplikatif, faham Ahlussunnah Waljamaah dijabarkan dalam naskah Khittah NU yang merupakan landasan berpikir, bersikap, dan bertindak sesuai acuan Ahlussunnah Waljamaah. Dengan sadar mengambil posisi aktif, menyatukan diri di dalam perjuangan nasional bangsa Indonesia.Menjadi warga negara RI yang menjunjung tinggi Pancasila/UUD 1945.Memegang teguh ukhuwah dan tasamuh.Mendidik untuk menjadi warga negara yang sadar akan hak/kewajibannya.Tidak terikat secara organisatoris dengan organisasi politik atau organisasi kemasyarakatan manapun.Warga NU adalah warga negara yang mempunyai hak-hak politik. Warga NU menggunakan hak politiknya secara bertanggung jawab, menumbuhkan sikap demokratis, konstitusional, taat hukum dan mengembangkan mekanisme musyawarah. Khittah NU merupakan landasan dan patokan-patokan dasar.Dengan seizin Allah keberhasilan perwujudan Khittah ini tergantung kepada kegiatan para pemimpin dan warga NU.Jamiyah NU akan mencapai cita-citanya dengan melaksanakan Khittah ini. Hal inilah yang menyebabkan NU menjadi representasi umat Islam dunia. NU telah dilihat sebagai warna lain Islam di belahan dunia, di samping Universitas Al-Azhar Mesir, Rabithah Alam Islami, dan Muktamar Alam Islami. Tidak berlebihan jika NU memiliki dinamika dan orientasi yang senantiasa berusaha membangun keteladanan dalam bersikap dan berperilaku, baik di tingkat masyarakat, bangsa, dan negara. Menurut Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), H Rumadi Ahmad mengatakan, untuk memaknai Nahldatul Ulama kembali ke khittah tidak hanya dari satu,, akan tetapi juga mencangkup aspek lain, termasuk aspek politik. Seringkali ditemukan pemahaman, bahwa berkhittah artinya tidak boleh berpolitik dan menjaga jarak antara NU dan partai politik. Sedangkan Mustasyar PBNU KH Ma'ruf Amin menjelaskan, khittah itu sesuatu yang permanen. Khittah NU adalah melakukan perbaikan-perbaikan. Hadastussyekh KH Hasyim Asy'ari, kata Kiai Ma'ruf, pernah mengatakan NU adalah jam’atus islah yaitu organisasi perbaikan, baik dalam segi keagamaan maupun kemasyarakatan. Menurutnya tidak ada kaitannya untuk memperoleh kekuasaan. "NU itu ya Khatwah Islahiyah yaitu langkah-langkah melakukan perbaikan, bukan langkah mendapat kekuasaan, karena kekuasaan itu hanya Allah yang memberikan," tegasnya. Menurut Kiai Ma’ruf, ketika menghadapi umat, NU melakukan langkah-langkah seperti dakwah, dalam hal pendidikan, kegamaan, sosial dan lainya. Sedangkan ketika menghadapi hal kenegaraan, untuk memberi mashlahat di dalamnya maka NU perlu berperan dalam dunia perpolitikan. Karena saat ini politik di Indonesia jauh dari nilai-nilai kegamaan, sehingga NU perlu memberikan perbaikan bagi dunia perpolitikan. "Hadratussyekh pernah mengucapkan keluhan, telah melemah jiwa kegamaan di dalam perpolitikan Indonesia, bahkan hampir mati akhir-akhir ini. Di sinilah tugas NU memberikan perbaikan di dalamnya," jelas Kiai Ma’ruf. Ia menambahkan bahwa NU pernah berada di masa hanya fokus kepada politik saja, sehingga pendidikan dan dakwah terbengkalai. Oleh sebab itu, saat ini NU perlu melakukan Khatwah Islahiyah dengan melakukan perbaikan, agar semua aspek dapat dijalankan dengan seimbang.(***) Aji Setiawan

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

KUBUAT KAU MENGEMIS CINTAKU

read
60.3K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.5K
bc

TETANGGA SOK KAYA

read
51.7K
bc

Anak Rahasia Suamiku

read
3.4K
bc

Perceraian Membawa Berkah

read
17.5K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.0K
bc

Single Man vs Single Mom

read
102.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook