Bab 2 - Cerita Masa Lalu

2189 Words
7 tahun kemudian ... Tujuh tahun telah berlalu. Kini usia Karin sudah dua puluh tahun dan ia tengah berada di tahun kedua pendidikan kuliahnya. Hingga sampai saat ini, Karin masih memilikinya. Sebuah kemampuan aneh yang masih ia cari tahu apa sebenarnya itu. Namun sayangnya, hingga sampai saat ini, Karin bahkan tidak menemukan satu pun artikel di Google yang membahas atau setidaknya berkaitan dengan kemampuan anehnya. Secara garis besar, kebanyakan ia hanya menemukan teori Lucid Dream dari kata kunci yang ia ketikan di papan pencarian. Hanya itu, yang Karin tahu kalau itu sama sekali tidak berguna karena ia merasa Lucid Dream hanyalah sekadar pembangkit kemampuan anehnya. Seperti saat ini misalnya. Gadis berambut hitam panjang bergelombang itu terus berkutat pada laptopnya untuk browsing di internet mengenai kemampuan anehnya—sambil menyeruput jus alpukat. Meskipun bosan melakukan itu sebagai rutinitasnya selama beberapa tahun terakhir, tapi Karin tetap tidak menyerah dalam menggali informasi walaupun ia tahu akhirnya akan selalu sama. Nihil. Di tengah riuhnya suasana kantin kampus, Karin masih asyik saja membaca artikel demi artikel yang mungkin akan sedikit memberi informasi yang ia butuhkan. Sampai tiba-tiba suara cempreng yang sangat dikenalinya berhasil membuatnya terkejut setengah mati hingga membuatnya tersedak jus alpukat yang sedang diseruputnya. “Lizy!!!” pekiknya marah pada sosok gadis berwajah imut yang kini mengambil posisi duduk di hadapannya tanpa merasa bersalah sedikit pun. “Maaf, sengaja,” jawabnya sambil menyengir kesenangan. “Mangkanya jangan terlalu serius, Karin. Itu tidak baik untuk kecantikan. Nanti kulitmu akan cepat keriput.” “Dasar tidak tahu diri! Kau bahkan tidak merasa bersalah sama sekali, kan?! Sekali lagi kau melakukan hal yang seperti itu kepadaku, akan kuhapus kau dari daftar pertemananku.” “Jahat sekali,” protes Lizy cemberut. “Aku ‘kan sudah meminta maaf padamu. Lagi pula kenapa sih, kau tidak berhenti saja mencari tahu tentang itu? Percuma, kau tidak akan mendapatkan informasi apa pun dari internet. Kemampuan anehmu itu tidak ada yang memilikinya lagi selain dirimu.” “Setidaknya lebih baik berusaha daripada hanya berdiam diri saja, kan?” “Terserah!” jawab Lizy menyerah. Ia kemudian sibuk sendiri menatap ponselnya. Karin tidak lagi memedulikan keberadaan Lizy. Ia kembali berkutat pada bacaannya. Bicara soal Lizy, gadis itu adalah sahabat karibnya dari SMA. Ia tahu segalanya tentang Karin termasuk kemampuan anehnya. Karin bersyukur setelah Lizy tahu itu, bukannya menjauhinya, ia justru malah terlihat antusias pada Karin dan ingin Karin melakukan hal yang sama kepadanya seperti apa yang dilakukannya kepada Rina waktu SMP dulu. Tapi tentu saja Karin tidak ingin itu terjadi karena ia tidak mau Lizy bernasib sama seperti Rina. Selain Lizy, ada seorang lagi yang mengetahui kemampuan aneh Karin. Yaitu Denis. Dia adalah teman satu jurusan Lizy yang dikenalkannya kepada Karin. Tapi, dari pada hanya sekadar teman dekat, Karin lebih melihat mereka seperti pasangan serasi dan saling melengkapi. Denis pintar, Lizy agak bodoh. Denis pemberani, Lizy sangat penakut. Denis tampan dan Lizy juga cantik. Oke, ini terdengar seperti mengintimidasi Lizy. Tapi memang begitulah mereka. Karin merasa mereka saling melengkapi, walaupun semua kelebihan hanya tampak pada Denis. Mengapa Karin berpendapat demikian? Tentu saja jika tidak ada yang memicunya, Karin tidak akan mau membuang waktu untuk menjodoh-jodohkan orang. Yap! Itu karena Karin pernah memergoki Denis sedang memandangi foto Lizy dengan tatapan yang sangat menunjukkan kalau ia menyukai Lizy. Tapi kalau Lizy sendiri, Karin masih belum tahu pasti gadis itu menyukai Denis atau tidak. Karena matanya tidak pernah berpaling dari cowok-cowok yang berpenampilan ala Korea. “Tumben sekali kau tidak bersama Denis. Dimana dia?” tanya Karin pada Lizy di sela-sela kegiatannya membaca artikel. “Tidak tahu,” jawab Lizy sambil mengedikkan bahu. Matanya tidak berpaling dari ponselnya. “Belum datang, mungkin. Ini masih pagi 'kan.” Baru saja dibicarakan, tiba-tiba saja orang yang bersangkutan datang entah dari mana lalu duduk bergabung bersama mereka. Karin sedikit terkejut, bahkan Lizy juga. Bukan karena Denis mengagetkannya seperti yang dilakukan Lizy padanya. Tetapi karena penampilan barunya yang membuat Karin dan terlebih Lizy dibuat melongo. Tetapi berbeda dengan Lizy yang menatapnya terpesona, Karin malah mual dan ingin muntah melihat gaya rambut baru Denis yang berponi seperti artis Boyband Korea. Kini, Karin berasumsi satu hal. Denis memang benar-benar serius menyukai Lizy sampai-sampai ia rela mengubah gaya rambutnya dengan apa yang dibencinya, tapi disukai Lizy. “Kenapa melihatku seperti itu?” tanya Denis sambil menatap Karin dan Lizy bergantian. “Kaget ya, baru melihat artis Korea tiba di kampus kalian?” Karin terkesiap. Seketika ia langsung memasang ekspresi ingin muntah mendengar perkataan Denis. Tetapi, berbeda dengan Karin, respon Lizy justru sangat tak terduga. “Oppa ...,” gumamnya tak sadar. Denis yang semula senang menjadi cemberut seketika. “Lizy, tolong jangan memanggilku dengan sebutan itu! Atau akan kuacak-acak lagi rambutku seperti biasanya.” Lizy tersadar dari lamunannya dan segera menutup mulutnya malu. “Jangan!” bantahnya ketika Denis benar-benar ingin mengacak rambutnya. “Eh ... le-lebih bagus seperti ini.” Samar-samar, wajah Denis memerah karena tersanjung. “Biasa saja, tuh.” Lizy tidak menjawab. Ia malah terus memandang Denis dengan berbinar. Denis sendiri merasa semakin salah tingkah dipandangi seperti itu oleh Lizy. Sementara Karin mulai jengah dan memutuskan untuk mengangkat gelas jus alpukatnya ke depan mata mereka untuk memecah pandangan. “Waktunya menghentikan drama menjijikkan ini,” ucapnya sambil menampilkan ekspresi jijik. Denis dan Lizy langsung salah tingkah ketika menyadari hal yang barusan mereka lakukan. “Ah, ya, eh ...,” ucap Denis gelagapan. Ia berpikir cepat untuk menemukan topik yang bisa digunakan untuk mengalihkan pembicaraan. “Omong-omong, Karin, eh, bagaimana dengan pencarianmu?” Karin memutar bolanya sesaat lalu menghembuskan napas pasrah. “Masih seperti biasa, Nihil.” “Yah ... sayang sekali,” keluh Lizy. Kali ini suasanya sudah kembali normal. Ya, Denis telah sukses mengalihkan pembicaraan. “Kalau begitu kapan kami bisa ikut masuk ke dalam dunia mimpimu itu? Rasa penasaranku sudah memuncak sampai melebihi ketinggian gunung Kerinci, Lho.” “Kau berlebihan,” tukas Karin sebal. “Karin,” ucap Denis tiba-tiba. Nadanya terdengar begitu serius saat ini. “Kalau boleh berpendapat, mungkin saja jawaban atas pertanyaanmu mengenai kemampuan anehmu itu, sebenarnya ada di dunia itu sendiri. Dan untuk menemukannya, kau membutuhkan orang cerdas sepertiku dan teman seperti Lizy untuk menjadi penyemangatmu disana. Jadi tunggu apa lagi? Kau harus membawa kami kesana.” Karin menutup laptopnya sambil menghela napas panjang. “Haaah ... kenapa sih kalian selalu memaksaku untuk membawa kalian kesana? Kalian tidak akan mengerti kenapa aku tidak mau melakukan itu. Aku tidak mau mengambil resiko.” “Kau selalu menjawab begitu tapi tidak pernah memberi tahu kami apa alasannya,” protes Lizy manyun. “Sudah kubilang kalian tidak akan mengerti. Sulit menjelaskannya.” “Ya, mangkanya beri tahu kami agar kami bisa paham!” balas Lizy mulai kesal. “Kau tinggal bicara saja, kok.  Tidak sulit, kan?!” “Lizy benar, Karin,” timpal Denis lebih bijak. “Kau anggap apa kami disini kalau kau tidak mau membagi masalahmu dengan kami? Aku dan Lizy ini sahabatmu, satu-satunya keluarga yang kau punya di Jakarta selain Nenekmu. Kau mau menceritakan ini ke siapa lagi kalau bukan kepada  kami? Orang tuamu sudah tidak ada. Nenekmu? Dia sudah tua. Aku yakin kau cukup cerdas untuk memilih tidak berkata apa pun kepadanya.” “Sok tahu! Aku masih punya—.” “Apa?” potong Lizy. “Si cowok temanmu di dunia mimpi itu? Begitu berartinya kah dia untukmu sampai kau bisa cerita apa pun padanya, tapi tidak pada kami?” “Bukan begitu, Lizy sayang ...,” jawab Karin dengan memelas. “Aku hanya takut membahayakan kalian, kok. Itu saja.” “Tidak akan ada yang terancam bahaya karena kau bukan orang yang berbahaya, Karin,” tukas Denis. “Pokoknya kau harus ceritakan pada kami!” seru Lizy sambil membuang muka dan menopang tangan di d**a. Karin menghela napas pasrah. “Oke.” “Jadi ....” Karin mulai bercerita mengenai peristiwa tujuh tahun lalu. Tatapannya memandang kosong entah kemana. Matanya memancarkan kesedihan yang begitu dalam. ••• “Karin, Traumwelt begitu indah!” pekik Rina sambil berbaring di atas rumput yang di kelilingi berbagai macam jenis bunga. “Kau beruntung bisa menjadi bagian dari Negeri ini hingga kau mati nanti. Mungkin saja jika waktumu tiba, kau akan menjadi warga tetap disini. Ini sangat indah seperti surga. Rasanya aku tidak mau terbangun dari tidurku.” Karin tersenyum. “Kurasa bukan cuma aku saja yang akan menjadi warga tetap Traumwelt. Kau juga, Rina. Buktinya sudah seminggu berlalu sejak pertama kali kau berada disini, tapi  kau terus memimpikan hal yang sama bukan?” Rina terduduk dengan wajah sumringah. “Ah, benar juga! Ya, Tuhan ... aku tidak menyangka impianku benar-benar menjadi nyata!” “Aku juga senang kamu ada disini bersamaku mengenal Kakek Mou, Nenek Mia dan Koi. Mereka adalah petinggi Traumwelt. Beruntung ya, kita bisa mengenal mereka.” “Ya, sangat beruntung. Apalagi Koi sangat tampan dengan mata abu-abunya itu,” ucap Rina berbinar. “Ah, seandainya saja aku juga bisa menghabiskan seluruh waktuku untuk Koi, berjalan bersama mengelilingi Traumwelt, pasti aku akan sangat bahagia.” “Aku juga berpendapat begitu. Tapi Rina, tentu saja kita tidak boleh mengesampingkan kehidupan normal kita di dunia nyata. Bagaimanapun Traumwelt hanyalah dunia mimpi yang hanya akan kita lihat di malam hari.” Rina tampak sedih. Saat itu, Karin tidak tahu kalau Rina begitu berambisi untuk tinggal di Traumwelt selama hidupnya. Ia bahkan akan rela mengorbankan apa pun untuk bisa hidup di Traumwelt seutuhnya. Ia rela kehilangan orang tua dan keluarganya, kehilangan sekolah dan teman-temannya, bahkan Rina rela kehilangan nyawanya asalkan ia bisa menetap selamanya di Traumwelt. “Karin ....” “Ya?” jawab Karin sambil memandangi burung-burung terbang yang ditumpangi oleh beberapa penduduk Traumwelt. “Apa menurutmu kalau kita mati di dunia nyata, ruh kita akan menetap disini?” tanya Rina tiba-tiba yang langsung membuat Karin menoleh heran. Tapi sesaat berikutnya Karin tersenyum. “Mungkin saja. Sepertinya diri kita yang berada disini saat ini adalah ruh. Sementara raga kita sedang tertidur lelap disana. Mungkin saja ini akan menjadi surga bagi kita ketika kita mati nanti.” “Begitu, ya?” “Ya. Memangnya kenapa?” Rina tersenyum. “Tidak apa-apa.” ••• Karin menghentikan ceritanya tiba-tiba. Matanya mulai berkaca-kaca membayangkan kejadian berikutnya. Hal itu membuat Denis dan Lizy saling bertatapan bingung. “Kenapa berhenti?” tanya Denis tidak sabar. “Apa yang terjadi berikutnya?” Karin hanya diam sambil kembali menenangkan dirinya agar kembali stabil. Ia menghapus air matanya. Lagi-lagi, Denis dan Lizy dibuat bingung karena baru menyadari kalau Karin menangis. “Karin ...,” gumam Lizy iba. “Apa kami terlalu mendesakmu? Maaf ....” Karin tersenyum sambil menggeleng pelan. “Tidak apa. Kejadian itu hanya terlalu menyakitkan bagiku untuk diingat lagi. Mangkanya aku menangis. Tapi karena sudah kepalang tanggung, aku akan tetap menceritakan semuanya pada kalian.” Denis dan Lizy mengangguk. Sebenarnya mereka sedikit merasa bersalah, tapi mereka juga penasaran. Mereka pun mengungu Karin dengan sabar hingga gadis itu siap untuk melanjutkan ceritanya lagi. Karin menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia pun kembali bercerita. “Setelah pertanyaan Rina waktu itu, hari demi hari berjalan dengan normal, sampai liburan pun tiba. Saat itu aku tidak tahu kalau Rina pamit kepada orang tuanya untuk menginap di rumahku selama seminggu. Mereka mengizinkan karena itu sudah biasa. Lalu setelah seminggu kemudian, orang tua mereka datang menemuiku dan bilang ingin menjemput Rina. Aku kebingungan. Terakhir Rina menginap itu waktu akhir pekan sebelum liburan. Orang tua Rina panik dan khawatir. Lalu aku teringat kalau hari terakhir Rina berada di Traumwelt juga seminggu yang lalu sebelum orang tuanya datang menjemput. Saat itu aku benar-benar panik dan meminta dengan paksa untuk mengunjungi rumah Rina.” Karin berhenti sejenak untuk menetralkan suaranya yang mulai parau. “Lalu saat tiba disana, aku melihat kamar Rina terkunci. Ketika kutanya mengapa kamar Rina terkunci, mereka menjawab, Rina paling tidak suka kamarnya dikunjungi orang lain kalau dia sedang tidak ada di kamar. Jadi dia selalu menguncinya.” “Samar-samar, aku mencium bau aneh dari arah kamar Rina. Tapi mereka bilang mereka tidak mencium bau apa pun. Akhirnya karena aku memaksa mereka untuk membuka kamar Rina, mereka menuruti keinginanku. Dan kalian tahu apa pemandangan yang ada di dalamnya?” Lizy dan Denis saling tatap, lalu menggeleng pelan. “Di depan sana, aku melihat darah kering bertebaran di sekeliling tubuh Rina yang sudah mulai membusuk. Dia membunuh dirinya sendiri dengan menyayat pergelangan tangannya dengan pisau yang pada saat itu juga tergeletak di dekat jasadnya. Orang tua mereka histeris begitu juga aku. Dan yang bisa kulakukan pada saat itu hanyalah berlari pulang karena tidak berani berkata yang sebenarnya kalau alasan Rina bunuh diri adalah demi bisa hidup selamanya di Traumwelt. Namun naas, raganya mati di dunia nyata, maka ruh-nya pun ikut menghilang dari Traumwelt. Sejak hari itu, aku memutuskan untuk menutup diri. Aku tidak mau kejadian itu terulang lagi. Kadang, aku sering merenung sendirian, kalau saja saat itu aku tidak berkata begitu pada Rina, mungkin sampai sekarang Rina masih ada.” “Oh, my ...,” gumam Lizy tertahan. Karin menghela napas lega karena akhirnya ia telah membagi cerita kelam itu pada orang lain setelah menyimpannya rapat-rapat selama tujuh tahun berturut. Ia lalu tersenyum tipis. “Sekarang kalian tahu, kan alasan kenapa aku tidak mau mengajak kalian kesana? Aku masih sangat trauma dengan kejadian itu. Aku juga takut kehilangan kalian.” Untuk beberapa saat suasana hening. Lalu kemudian Denis menanggapi. “Aku turut berduka atas kematian temanmu. Tapi Karin, sepertinya kau salah kalau beranggapan kami akan bunuh diri gara-gara melihat Traumwelt. Kau tahu, kan, kalau di antara aku dan Lizy, tidak ada satu pun dari kami yang berminat dengan hal berbau fantasi. Alasan kami ingin masuk ke Traumwelt adalah untuk membantumu mencari tahu apa sebenarnya kemampuan anehmu itu. Bisa jadi, kau bukan cuma sekedar perantara antara dunia mimpi dan dunia nyata, Karin. Bisa jadi kemampuanmu ternyata lebih dari sekedar itu.” “Maksudmu?” Karin menatap Denis bingung sekaligus was-was karena takut mendapat jawaban yang tidak ingin di dengarnya. “Itu hanya asumsiku saja, jangan panik. Bisa saja itu benar tapi bisa juga salah. Kita tidak akan pernah tahu kalau tidak segera mencari buktinya.” “Ya,” timpal Lizy menanggapi. “Dan kau membutuhkan kami untuk itu, Karin. Apa pun yang kita lihat disana, aku yakin kalau aku dan Denis tidak akan melakukan hal bodoh seperti yang dilakukan Rina.” Karin hanya menghela napas mendengar itu, entah sudah yang ke berapa kalinya untuk hari ini. Ya, teman-temannya ini masih tetap saja memaksanya untuk ikut ke Traumwelt. Karin jadi semakin bingung, apa tidak apa kalau ia mengajak mereka kesana? Entahlah, ia benar-benar masih sangat trauma dengan peristiwa tujuh tahun lalu. •••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD