0.02

1942 Words
Maka dari itu tidak heran jika Shiden memiliki beban besar dalam menjaga kemurnian darah dokter yang mengalir ditubuhnya, tidak mungkin gara-gara dirinya kemurnian itu rusak, mau tidak mau dia harus melawan keinginnanya sendiri demi keluarganya. Semenjak kecil ia dipaksa oleh keadaan untuk mengubur keinginannya menjadi seorang ahli IT dan bekerja di Badan Intelijen Negara demi menjadi seorang dokter, sekali lagi umtuk menjaga kemurnian darah dokter keluarganya. Shiden adalah sosok laki-laki yang sangat baik menurutku. Selain baik Shiden memiliki wajah yang tampan yang memikat, tidak lupa karena kehidupannya yang berkecukupan membuat seorag Shiden Savalas Rahabian menjadi sangat stylish dan trendi, dia tahu apa yang tepat dan cocok untuk dirinya, tapi terkadang hal itu sangat menjengkelkan karena dia memiliki sifat yang super narsis, dan dia tidak malu menunjukkannya, bahkan aku pernah bertanya kepadanya dan kalian tau apa jawabannya “Ya karena aku tahu aku ganteng mangkanya aku seperti ini.” Menjengkelkan bukan? *** Aku mengelus jantungku karena tindakan Shiden yang tiba-tiba, karena tidak mendapatkan respom dariku Shiden kembali menjailiku dengan cara menyentil hidungku dengan kedua jarinya “Lah kenapa bengong?” aku meringis kesakitan karena sentilan dirinya, membangkitkan setan-setan yang sudah menghuni lama di tubuhku “Shinden, sakit, tadi kamu manggil aku apa , kamu pikir aku kutil, nama aku Tylisia, T-Y-L-I-S-I-A. Dasar Sinden Jawa.” Setelah mengatakan itu, aku segera mengambil ancang-ancang untuk lari karena aku tahu bahwa Sidhen akan segera mengetok kepalaku, karena biasanya Shiden akan sangat marah jika dipanggil dengan nama Sinden “Yaya, jangan lari kamu yaaa!!!”. Sambil berlari menjauh, aku membalas ucapannya “Lemah, Shinden nggak bisa ngejar cewe.” “Awas kamu ya!!!” teriak Shiden dari kejauhan yang masih terdengar, karena kalimat itu aku makin mempercepat lariku, melewati beberapa ruang kelas, dan karena suara Shiden yang cukup keras itu membuat semua mata tertuju kepada aku dan Shiden, bahkan sempat aku mendengar bisikan-bisikan mereka. “Cantik banget kak Tylisia…” “Kak Iden ganteng bangett…” “Duh mereka pacaran ya..” “Serasi banget mereka…..” Dan banyak bisikan-bisikan lain yang kudengar…. *** Aku menghentikan langkah kakiku saat sampai di kelas dimana aku akan belajar, aku melihat kea rah belakangku ternyata Shiden tidak mengejarku lagi “Mungkin dia sudah masuk ke kelasnya” pikirku. Untuk pertama kalinya aku dan Shiden tidak satu kelas, biasanya kami selalu satu kelas dan menjadi teman sebangku semenjak sekolah dasar. Pasti aku akan merasa canggung dengan suasana kelas yang baru tanpa kehadiran Shiden, tapi aku pasti bisa. “Semangat Tylisia…” aku menyemangati diriku sendiri. Aku sedikit mengintip ke pintu kelas yang terbuka, ternyata meja guru masih kosong, menandakan bahwa belum ada guru yang masuk ke dalam kelas, mungkin karena hari pertama sekolah banyak dari guru membiarkan muridnya untuk mengobrol satu sama lain, menceritakan pengalaman liburan mereka, dengan tujuan yang tidak lain dan tidak bukan hanya untuk pamer. Dengan langkah panjang, aku memasuki pintu kelas yang bertuliskan XI Int.Science 1. Dari namanya saja sudah berbeda dari sekolah menengah atas biasa lainnya. Aku langsung menjelajahi seluruh sudut kelas mencari tempat duduk yang kosong, yah inilah akibat dari terlambat pada hari pertama, selalu kebagian kursi sisa-sisa. Kursi anak-anak ambis, dan itu sangat tidak cocok denganku. Tapi terpaksa aku harus menempati kursi sisa itu, yang ternyata tepat di depan meja guru, biasanya walaupun aku terlambat Shiden sudah mengambil tempat duduk yang sangat strategis, tapi sekarang tidak ada Shiden dan aku harus biasa untuk tidak bergantung kepadanya. Saat sedang berjalan ke arah mejaku, tiba-tiba ada yang menyapaku. “Hai, Good Morning” sapa beberapa teman sekelasku, yang tertuju kepadaku. sebenarnya aku sedikit malas untuk membalas sapaannya karena aku sangat tahu apa kelanjutan dari sapaannya itu. “Aduh panjang lagi ini urusan” batinku dalam hati. Tapi aku mencoba untuk bersikap biasa saja agar tak kelihatan bahwasanya aku tak nyaman dengan sapaan mereka, aku tidak ingin helaan nafasku terdengar oleh mereka. “Hallo, pagi juga !" balasku dengan berpura pura ramah, bukannya aku tak suka disapa tetapi aku sangat malas disapa oleh geng mereka, karena menurutku geng mereka amatlah sangat toxic, mereka hanya berteman dengan orang yang menurut mereka sangat menguntungkan bagi diri mereka, bahkan apa yang mereka lakukan semata mata hanya untuk kepopuleran diri mereka. Mereka tampaknya menyadari ketidaknyamanan ku ketika mereka menyapaku tadi, buktinya mereka terus menatapku dengan tatapan yang entah apa artinya tapi mampu membuatku mengumpat di dalam hati. Setelah itu aku langsung duduk dikursi, dan meletakkan tas di gantungan tas yang telah disediakan di meja masing masing. Aku mencoba untuk tidak mempedulikan mereka, aku berusaha menyibukkan diri dengan kegiatan ku sendiri. Saat aku sedang fokus dengan kegiatan menggantungkan tas, ada celetukan dari arah depanku, yang tak lain dan tak bukan dari gadis yang tadi menyapaku. Aku menghela nafas berat. “Baru pagi loh ini !" batinku sendiri, aku sudah bisa memprediksi apa yang akan terjadi selanjutnya. “Lah gue baru malam tadi liat website Louis Vuitton, dan gue lagi ngincer Tas limited edition ini, eh lo udah make aja ya Tyl.” Perkataannya sukses mengalihkan fokusku, dengan tergagap aku menjawab dengan seadanya. “Bukan punya gue.” ujarku cepat Aku paling tidak suka ditanya hal-hal mengenai barang-barang yang aku pakai, karena aku tahu dan sangat tahu bahwa dibalik pertanyaan itu ada rasa iri terhadap diriku, dan jika aku menjawab pun, dan bagaimana pun jawabanku pasti mereka akan mengartikan secara negatif seperti menganggap aku yang hanya ingin pamer atau aku yang menyombongkan kekayaan keluargaku dan sebagainya, karena begitulah sifat dasar manusia, tidak ada yang bisa merubah itu selain diri mereka, tetapi mereka enggan untuk merubahnya. “Alah lu ngerendah ih, bilang aja kalau itu punya lu.” Ucap teman yang lain yang tiba-tiba ikut menyela percakapan kami. Nah kan sudah kubilang barusan bagaimanapun jawabanku pasti ada aja yang salah dimata mereka, kalau aku mengatakan itu punyaku dibilang aku sombong, lah giliran saat aku mengatakan kalau itu bukan punyaku mereka malah mengatakan aku terlalu merendah, duh dunia. Dan kata terakhir yang aku ucapkan karena menyerah berdebat dengan mereka walaupun niat ku tidak ada niatan untuk berdebat “Iya bukan punya gue, tapi punya mama.” Dan aku segera beranjak dari tempat dudukku menuju ke toilet, untuk menghindari cecaran mereka. *** Mengapa aku sangat terbiasa dengan tatapan penuh iri, kebencian dari orang lain, karena aku dari kecil hingga sekarang selalu ada diposisi dimana semua mata tertuju kepadaku, apa yang ada ddiriku, apa yang aku pakai dan apa yang aku lakukan pasti menarik perhatian mereka. Mengapa tidak, aku adalah putri tunggal dari keluarga Darleen, salah satu dari orang terkaya di Indonesia. Darleen Darwin adalah papaku, seorang direktur utama disebuah perusahaan yang bergerak dibidang minyak bumi dan gas, perusahaan ini dikenal dengan nama Oil Venue Company. Oil Venue Company ini bukan sekedar perusahaan skala nasional tapi sudah merambat ke perusahaan skala internasional bahkan menjadi perusahaan minyak dan gas terbesar di Asia, benar-benar perusahaan adikuasa di Asia. Bahkan laba perusahaan ini bisa mencapai 8 milliar dalam satu bulan. Hitung saja berapa jumlah bulan dalam satu tahun, dua belas bulan dikali 8 milliar, hampir menyentuh angka 100 milliar. Tak heran dengan laba sebegitu besarnya nama papaku sering ada di televisi sehingga membuat siapapun tahu bagaimana kayanya keluargaku. Tapi terkadang aku tak suka jika ada yang mendekatiku hanya karena kekayaanku, mereka hanya ingin memanfaatkan apa yang aku punya tanpa adanya rasa benar benar ingin berteman yang tulus dari hati mereka. Bayangkan seberapa kayanya keluargaku ini, tapi aku tahu itu bukan kekayaanku tapi kekayaan orang tuaku karena mereka lah yang berusaha dan bekerja keras, bukan aku. Bahkan setitik keringatku pun tidak pernah ada. Walaupun kekayaan papaku ini untuk memenuhi segala fasilitas anak dan istri yang sangat dia sayangi, tetapi di mataku papaku ini bukanlah orang yang semena-mena kepada orang lain, jika ada yang membutuhkan papaku tidak segan untuk membantunya, aku sangat menyayangi papaku. Kemudian mamaku, kalian ingat nama lengkapku Tylisia Harumi Darleen, Darleen yang diambil dari nama papaku, dan Harumi diambil dari mamaku, mamaku dikenal dengan nama Rumita Anindia, mamaku adalah seorang malaikat tanpa sayap yang selalu menemani aku dan papaku ketika kami sedang membutuhkan sandaran, mamaku bukanlah wanita karir seperti ibu-ibu lainnya, tapi jangan salah mamaku adalah seorang ibu-ibu sosialita papan atas dengan segala macam barang branded, bahkan mamaku memiliki julukan sebagai etalase berjalan khusus barang branded. Tidak hanya menggunakan barang branded, mamaku sangat rajin merawat dirinya, tidak heran mengapa mamaku tidak terlihat tua sama sekali, karena mamaku sangat suka bahkan sudah menjadi hobinya untuk selalu melakukan perawatan setiap minggunya, sekali perawatan mama mampu menghabiskan ratusan juta rupiah angka yang sangat fantastis. Kata mamaku ini beliau lakukan untuk mempercantik dirinya di depan papa, agar saat papa pulang dari rutinitasnya, bisa langsung hilang rasa lelahnya melihat istrinya yang cantik. Ada ada saja ibu-ibu zaman sekarang. *** Disisi lain ibukota, debu dan polusi mewarnai hiruk pikuk perjalanan seseorang, suara bising berbagai kendaraan mulai dari metromini, angkot, mesin motor bahkan suara mesin bajaj menjadi hal yang sangat biasa menemani langkah kaki seorang pemuda berseragam putih abu-abu lengkap dengan dasi dan topi yang melindungi dirinya dari teriknya sinar mentari di pagi hari, dengan tas yang terlihat sangat biasa tersampir di bahunya, disalah satu lengan baju seragamnya terdapat lambang bendera merah putih dan logo sebuah SMA, jika dilihat dari dekat dapat terlihat jelas tulisan SMA Nusa Buana. “Aish,,, kemana bis pagi ini.” Ujarnya dengan setengah kesal sambil berjalan dengan setengah berlari sambil sesekali melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Entah kenapa jam tangan bewarna hitam, tampak menambah ketampanan pemuda itu. Padahal jam itu bukanlah sebuah jam tangan bermerk, tapi tetap saja terlihat mahal ditangannya. Biasanya pemuda itu tak pernah terlambat untuk pergi ke sekolah, tapi pagi ini berbeda ia terlambat bangun karena ia mengerjakan project besar yang harus ia tuntaskan dalam waktu satu bulan. Tenggat waktu satu bulan itu adalah waktu maksimal yang diberikan oleh pimpinannya agar ia segera menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat. Siapa yang menyangka pemuda yang masih duduk di bangku SMA itu adalah seseorang yang amat sangat jenius di dunia pemograman. Saking hebatnya ia tak ada satu pun orang yang tahu bahwa ia adalah orang yang jenius, ia bahkan menyembunyikan kemampuannya dari teman bahkan dari ibu kandungnya sendiri. Kemampuan yang dimilikinya hanya diketahui oleh pimpinan organisasi dan teman teman sesama anggota organisasi. Organisasi yang diikutinya ini pun amatlah berbahaya bagi seorang dengan usia semuda dirinya. Mengikuti organisasi ini sama dengan menyerahkan nyawanya kepada orang lain dengan gratis, tetapi karena kerahasiaan organisasinya yang begitu hebat, tak ada satupun yang mengetahui siapa dirinya, maka dari itu kini hidupnya masih baik baik saja. Pemuda itu kemudian semakin mempercepat lajunya, mungkin bisa dikatakan bahwa dia sedang berlari. Setelah setengah jam melakukan rutinitas yang masih terus dilakukan yaitu berlari, melihat jam, dan sesekali melihat kearah jalan kalau-kalau ada bis yang lewat. Tapi harapan tinggalah harapan setengah jam pertama sudah berlalu tanpa adanya harapan bis yang akan lewat. “Aku baru sadar bahwa sekolahku sangatlah jauh.” Lirihnya dengan pasrah sambil terus berlari. Padahal selama ini pemuda itu tak pernah sekalipun mengeluh tapi di saat seperti ini ia pun akhirnya mengeluh juga. Pemuda itu terus berlari dengan harapan bahwa akan ada bis yang ia temui di perjalanan sekolahnya. Tapi mungkin harapannya tak mungkin terwujud, Matahari yang semakin terik menandakan bahwa pemuda itu semakin terlambat. Setelah satu jam di perjalanan yang melelahkan, akhirnya dirinya sampai di gerbang sekolah bertuliskan SMA Nusa Bangsa. Seperti perkiraannya bahwa gerbang sekolah sudah tertutup. Setelah semakin dekat dengan gerbang ia bisa melihat bahwa banyak teman-temannya yang juga sedang berbaris, menunggu hukuman. “Hei Kamu !!” teriak pak satpam dibalik pagar yang telah tertutup rapat, membuat langkah pemuda itu semakin cepat bahkan sudah berlari kencang, agar sampai di depan pagar lebih cepat. Setelah sampai di depan gerbang, pemuda itu segera mengatur nafasnya yang tersengal-sengal akibat berlari dengan sangat kencang. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD