Don't Close Your Heart

1313 Words
Ketika Selly hendak pulang. Dia mendapati telepon dari pihak rumah sakit yang ingin mengabarkan jika dirinya harus menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan kontrak kerja jika ingin mendapatkan bayaran. Tidak lama, hanya sampai tiga bulan. Karena itu syarat minimal pengajar di rumah sakit. Katanya.., kepala rumah sakit gak mau anak-anak yang sudah berjuang dengan penyakitnya juga harus kecewa dengan sistem gonta-ganti pengajar. Lagipula, mencari yang sesuai kualifikasi juga tidak mudah. Pengajar gak cuma bertugas mengajari hal dasar. Tetapi juga diminta memahami kondisi psikis para pasien, terutama perbedaan usia setiap anak juga mesti dipikirkan. Hanya orang dengan basic psikologi yang Ibas cari. Itu pun, karena Ibas teringat dengan Selly.Yah.., salah satu alasan dia membuat rumah singgah adalah karena rasa rindunya pada gadis itu. Sayangnya, kesibukkan membuat dia melupakan tujuan utama. Namun seperti yang sering diucapkan. Setiap niatan baik selalu kembali kepada pemiliknya. Jalan yang dia buka kini menarik Selly untuk masuk kembali kedalam hidupnya. Selly sendiri terjerembab dalam ketidak pastian. Dia sudah melamar ke beberapa sekolah sebagai pengajar tetap, sayangnya nasib baik belum berpihak padanya. Selly hanya beberapa kali bekerja sebagai tenaga honorer malah relawan yang pastinya menjadikan dirinya harus memutar otak demi mencukupi biaya harian. Meminta kepada keluarganya, rasanya juga sangat malu. Usia 25 tahun baginya adalah saat dimana dia bisa bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Berdiri tegak dengan kakinya walau badai kadang menerjang. Setelah menerima telepon. Selly bergerutu. "Ibas. Kamu tuh! Iiihh...!!" Dia jadi kesal dan menyalahkan Ibas. Lumrah,sih. Kan cowok itu cucu pemilik rumah sakit. Meski Selly tidak tahu.., kalau Ibas saat ini bukan cuma cucu saja. Tapi dia juga berkontribusi sebagai penggerak utama rumah sakit besar itu. "Kamu tahu, gak. Aku kayak gini juga karena kamu!" lanjutnya lagi sembari menunjuk udara seolah Ibas lah yang di depannya. "Gara-gara kamu aku jadi gak bisa fokus kerja, gara-gara kamu juga dandanin aku. Aku jadi kebiasaan." Selly marah. Karena Ibas yang dinilainya menyukai gadis cantik saja. Gimanapun susah hidupnya, Selly selalu menyempatkan merawat wajah. Agar, ketika bertemu Ibas sewaktu-waktu dia gak perlu lagi tuh merasa malu. Pemikiran apa itu? Disatu sisi dia gak mau ketemu. Tapi malah mempersiapkan dirinya terus menerus apabila ada saat dia dan Ibas berhadapan. Selly merebahkan badannya. Saat ini, cuma pekerjaan ditawarkan rumah sakit Kisah Kasih yang bisa dia ambil. "Apa aku ambil saja,ya. Cuma tiga bulan kok. Lagi kata Manda... Ibas sekarang menetap di Kanada!" lirihnya. Yang gak Selly tahu, kalau cowok itu sudah pulang enam bulan yang lalu karena keadaan neneknya yang semakin parah. Yah, Selly cuma bisa menanyakan keadaan Ibas ke Manda. Itu pun dengan cara memancing otak Manda yang suka error. Karena bertanya langsung juga Selly malu. Dia sudah bilang pada sahabatnya itu kalau dirinya mau melupakan Ibas. *** "Ahk," Ibas menjatuhkan dirinya di kursi. Tadi dia sudah berhasil menenangkan orangtua pasien. Meski tulang pipinya nyut-nyutan terkena pukulan. Dan sekarang hatinya kembali gundah. Ibas tahu, disaat lelah fisik dan fikiran berbenturan dengan harapan yang tak ingin surut membuat seseorang bisa seputus asa itu. Dia jadi teringat dengan temannya Zero. Disaat temannya harus melewati masa-masa kelam di mental healthy centre sampai dia kehilangan kontak karena kesibukkan kuliahnya. "Udah lama,ya kita gak ketemu," ucapnya. Hanya Rian yang sering dia kontek. Selebihnya, Zero dan Dika. Tak lagi dia jumpai. "Kalau misalnya aku adain reunian di Pemuda Bangsa. Apa Dika mau kesana?!". Telah banyak cara Ibas lakukan agar bisa menemui temannya itu. Termasuk bertanya ke Kak Alin yang sekarang dia anggap seperti kakak sendiri. Sayangnya gak ada satu orang pun mau bilang dimana Dika. Dia seakan membatasi dirinya. Ibas pun tidak tahu alasan apa yang membuat Dika seperti itu. Hanya, sampai kapanpun Ibas gak bisa melupakan Dika. Temannya yang sok pintar itu. Eh, pintar beneran deh. Bella masuk bersama beberapa laporan ditangannya. "Ini, Pak!" gadis 22 tahun itu menyerahkan berkas dengan senyum manis. Ibas hanya melirik jengah. "Kamu kenapa, kesambet?" Alis matanya naik sebelah. Ibas juga mengacungkan pulpen ke wajah Bella. "Yah masa kesambet, Pak. Saya lagi jatuh cinta..." jujurnya. Bagaimanapun mereka seumuran. Dan Ibas selalu bersikap friendly jika diluar kerjaan. Ibas menerawang... "Sama pacar kamu yang culun itu?" tanyanya meyakinkan tapi malah bikin kesel Bella. "Candrabima.., nama pacar saya Candrabima. Dan dia itu gak culun. Pekerjaannya saja sebagai asisten Dirut!" Dia menekan nama kekasihnya dan pekerjaanya yang bersinar itu. Namun Ibas gak peduli siapa namanya, gimana orangnya. Dia hanya senang saja menggoda karyawan. Ketika dia sedang memperhatikan isi laporan tiba-tiba saja Bella meng'skak-mat dirinya. "Daripada Bapak, gak pernah pacaran!" Gadis itu bergumam. Tapi masih bisa didengar Ibas. Hm, coba saja Bella bertemu dengan dirinya 4 tahun yang lalu. Apa wanita itu masih bisa bilang kalau dia gak laku?! Untuk mengurai keadaan. Ibas merubah topik pembicaraan. "Oh,ya. Sudah telepon pengajar yang tadi?!" Bella mengangguk semangat. "Sudah Pak. Saya malah minta dia bekerja minimal 3 bulan lamanya. Bukan lagi 3 hari seperti kata Bapak. Saya pinterkan, Pak!" Baginya ini satu keinisiatifan yang membanggakan. Namun, Ibas melotot. "Apa, 3 bulan?!" Langsung dia memijit ujung hidungnya. Kenapa punya karyawan kelewat kreatif. Kalau Bella bukan anak dari teman arisan neneknya. Dia sudah mengganti posisi cewek itu sama yang lebih kompetitif. "Saya gak minta kamu bilang gitu,'kan, Bel?" katanya, geram. Marah. Kesel bin mangkel. "Iyah, tapi saya punya fikiran sendiri, Pak!" Oke.., besok-besok gimana kalau dia yang duduk di kursi kepala rumah sakit. Eh, tapi gak deh. Yang ada salah semua. "Ya sudah. Mana CV-nya?!" lanjut Ibas. Mungkin setelah melihat. Dia bisa menyetujui ucapan Bella. Gimanapun Bella berbicara atas nama rumah sakit. Dan dia gak bisa seenaknya mengingkari perkataan. "Kemarinkan Bapak taruh di tumpukkan majalah lama." Bella dan Ibas sama-sama memperhatikan. Tapi tidak ada. "Mana?" lirih Ibas. Bella baru ingat kejadian sebelum makan siang. "Eem.. kayaknya sudah dibuang sama Jajang, Pak!" Jajang adalah OB rumah sakit. Ibas menarik nafas dalam. Sudahlah. Lagi, dia juga gak butuh, kok. "Tapi katanya dia minta gaji 3 bulannya langsung dibayar di bulan pertama, Pak!" "Apa?!" Ibas mendelik juga menggebrak meja karena kaget. Dia gak pernah dengar ada pekerja yang seberani itu. Sebentar saja dia kembali seperti keadaan semula. "Kalau gitu. Besok disaat orang itu datang, minta untuk bertemu saya dulu!" Ibas gak sangka dijaman ini banyak sekali orang yang membuatnya naik darah. Kalau gini terus, bisa mati muda dia. Sebelumnya .. Ketika ingin mengangkat panggilan kedua dari pihak rumah sakit. Selly punya ide supaya rumah sakit gak menelponnya lagi. Yaitu meminta gaji 3 bulan di depan. Kalau ditolak, dia gak perlu menginjakkan kakinya ke rumah sakit yang punya kenangan khusus baginya. Kalau diterima, berarti memang rejeki. Sesimple itu saja. "Nah.., kalau gini,'kan gak akan lagi aku ketemu Ibas. Kesempatan aku semakin kecil buat berjumpa dengannya!" Alih-alih bahagia, Selly malah merasa hampa dan jadi menyalahkan dirinya sendiri. Ketika yang sama ada chat masuk. Sebuah tawaran untuk kembali bekerja di rumah sakit. "Hah!" Selly sampai mengucek matanya, "Gak salah nih?" *** Untuk itu, pagi ini dia berdandan sangat cantik. Blouse pink dipadukan rok span abu-abu juga rambutnya yang dia kuncir kuda. Buat make up, kini Selly sudah pintar memakainya dan gak lagi tuh ceritanya kemenoran. Namun pastinya cantik. Jidatnya yang jenong sengaja dia expose. Supaya gak ada yang kaget lagi. Selly merasa sudah oke sekali. "Yah, biar gak bakalan ketemu juga. Tapi persiapan boleh dong!" katanya seraya menyematkan lipstik pink nude ke bibirnya. Lantas menutup tempat bedaknya dan kembali berjalan kearah lobby rumah sakit. Dia memindai, seolah-olah mencari keberadaan seseorang. Itu membuat Kiki selaku resepsionis rumah sakit keheranan, "Ada yang perlu dibantu?" "Oh, enggak, kok. Saya cuma mau ke lantai atas!" Akhirnya Selly berniat melanjutkannya dengan naik lift. "Jadi pasien VVIP harus dipindahkan ke rumah sakit yang bisa melakukan rekonstruksi organ!" Dokter Michael menjelaskan kepada Ibas. Ibas terus mengangguk karena serius mendengarkan. Tapi matanya sempat menangkap sosok Selly yang ingin naik lift. "Sebentar!" Dia berlari di lobby. Padahal di sana juga banyak pasien dan calon pasien. Ibas juga tidak tahu mengapa dia harus berlari. Mungkin karena dia sudah kadung rindu. Hingga dia gak bisa berfikir secara matang. "Tunggu...Jangan tutup liftnya!" seru Ibas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD