BAB 2 - LUNA

1116 Words
LUNA POV. Karena menangis semalaman, gue jadi bangun kesiangan padahal pagi ini ada kelas Pak Byan. Gue bergegas ke kamar mandi, ritual mandi pun gue persingkat waktunya biar gue nggak telat. Sarapan pun gue lewatkan karena gue juga lagi malas makan. Pas gue mau nyalain mesin motor, bisa-bisanya itu motor nggak mau hidup yang ternyata bensin nya udah habis. "Loh, kok habis? Bukannya kemarin masih ada?" Gue menggerutu sendiri. Tidak ingin membuang banyak waktu, gue pun meraih handphone di dalam saku celana kemudian memesan ojek online dan syukur abang nya jemput nggak pakai lama setelah pesanan berhasil dilakukan. Sesampainya di kampus gue udah kayak copet dikejar massa, lari sekencang mungkin. Tinggal beberapa langkah lagi gue sampai di depan pintu, dan gue melihat Pak Byan yang hendak menutup pintu tersebut. "Pak, jangan ditutup du ...." Pintu tertutup kemudian terdengar bunyi klik, pertanda pintu kelas sudah dikunci. Gue hanya berdecak sebal, kaki gue udah capek banget karena lari-larian dan akhirnya juga gak bisa masuk kelas. "Ck, sial banget sih gue." Karena berlarian tadi, tenggorokan gue tiba-tiba terasa kering dan meronta meminta air mineral kesukaannya. Untuk itu gue memutuskan untuk pergi ke kantin. Toh gue juga gak bisa masuk kelas, kan? Gue memposisikan diri di salah satu meja kosong yang ada. Kemudian memutar tutup botol air mineral lalu meneguk air mineral itu dengan sangat nikmat. Tegukan pertama gue merasakan kekesalan itu masih bersarang di dalam hati. Tegukan kedua gue pengin nangis. Dan tegukan ketiga gue nangis bombay. Untung aja kantin masih sepi jadi nggak ada yang menghiraukan gue menangis di pojokan. Hal pertama yang membuat gue menangis adalah soal perjodohan. Gue masih gak bisa terima hal itu. Bagaimanapun juga itu hal paling berat untuk gue yang masih berstatus mahasiswi ini. "Nenek kok tega banget main jodoh-jodohin gue, dikira ini zaman Siti Nurbaya apa. Ibu juga malah mendukung aja." gue bermonolog sendiri dengan air mata berderai dari kedua mata gue. Drrtt... From: Nay Luna, lo di mana? Kelas Pak Byan udah selesai nih. Setelah membaca pesan dari Nay, gue bergegas menuju kelas. Tapi kali ini gue jalan kaki biasa, gak lari-larian lagi soalnya kaki gue pegal banget. --- "Kok selesai? Bukannya kelas Pak Byan berakhir satu jam lagi, ya?" tanya gue keheranan. "Kata Pak Byan, dia ada urusan. Eh tugas lo gimana? Kita udah disuruh ngumpulin tadi," ujar Caca. "Lo kasih aja ke ruangan Pak Byan langsung, Lun." usul Nay. Tanpa berpikir panjang lagi, gue langsung bergegas menuju ruangan Pak Byan. Sepanjang jalan gue merasa gugup karena takut dimarahi. Syukur-syukur kalau tugas gue masih diterima. Kalau tidak? Hancur sudah nilai gue nanti. Sesaat gue tiba di depan ruangan Pak Byan. Gue nggak langsung melayangkan ketukan. Gue perlu memantapkan hati tepat sebelum akhirnya tangan gue melayang untuk mengetuk pintu. 'Tok! Tok! Tok!' "Permisi, Pak," sapa gue sambil ragu untuk melangkah masuk ke dalam. Pak Byan hanya menoleh sekilas lalu kembali memandang layar laptopnya. "Maaf pak, saya mau menyerahkan tugas yang bapak berikan kemarin," ucap gue dengan gugup. Masih tidak ada jawaban, bahkan Pak Byan nggak memandang gue sama sekali. Dan hal itu sukses membuat gue meneguk saliva berulang kali. "Pak ...?" "Letakkan saja di sana." Akhirnya Pak Byan membuka suaranya. Dengan cepat gue langsung menuruti perintahnya untuk meletakkan lembar tugas gue di atas meja. Kemudian pamit undur diri tepat setelah menyerahkan lembar tugas itu. "Luna ...." Panggil Pak Byan. Membuat gue yang saat ini berada di ambang pintu harus menahan langkah. "I..iya Pak?" sahut gue seraya meneguk saliva dengan berat. "Kelas kamu selesai jam berapa?" tanyanya. Pertanyaan macam apa ini? Nanya kelas gue selesai jam berapa. "Jam dua, Pak," sahut gue dengan ragu. "Nanti pulang sama saya, hm?" "H..hah? M..maksudnya Pak?" Ini telinga salah dengar apa gimana? tapi gue yakin telinga gue masih berfungsi dengan normal. "Nanti kamu pulang sama saya, saya antar," ulang pak Byan. "Nggak usah repot-repot Pak, saya bisa pulang sendiri." "Pokoknya saya tunggu nanti di parkiran, kamu tahu 'kan mobil saya yang mana?" "I..iya pak." Elah, bisa-bisanya ini mulut mengatakan iya, sungguh tidak bisa diajak bekerja sama. *** "Nay, gue mau cerita sama lo. Boleh nggak?" tanya gue. Selama ini gue selalu mencurahkan isi hati gue sama Nay, karena dia punya otak paling rasional dibanding Caca. Nay mendekatkan tubuhnya ke gue. "Cerita apaan?" sahutnya. "Tapi lo harus janji, ini cuman antara kita berdua dan jangan kasih tau Caca, oke?" Nay mengangguk, mengiyakan permintaan gue. "Sebenarnya gue mau dijodohin sama cucu sahabat Nenek gue, Nay." Spontan Nay terkejut dengan apa yang keluar dari mulut gue. "Hah? Serius lo?" ujarnya dengan mata melotot yang hampir keluar dan gue hanya membalas dengan anggukan. "Terus? Lo udah ketemu sama orang yang bakal dijodohin sama lo?" "Belum, rencananya lusa pertemuan dua keluarga. Gue nggak mau dijodohin, Nay," ucap gue dengan mata yang berkaca-kaca. Nay memeluk gue, mengusap puncak kepala gue dengan lembut. "Lo yang sabar ya, Luna. Gue tau meskipun ini berat buat lo, tapi Luna yang gue tau adalah cewek yang tegar." "Makasih ya Nay, lo selalu ada saat gue butuh pundak lo." "Kita kan sahabat, Lun." "Wah..wah..wah..pelukan kaga ngajak-ngajak ya kalian berdua," ucap Caca yang entah sejak kapan datangnya. "Lo mau ikut pelukan?" tanya Nay kemudian dibalas anggukan oleh Caca. *** Dua menit lagi kelas Pak Raska berakhir yang artinya tidak ada kelas lagi setelah ini. "Psssttt..Luna." Panggil Caca berbisik. Gue hanya menyahut dengan mengangkat dagu dan alis. "Habis ini ke salon yuk, udah lama kita nggak nyalon." "Gue gak bisa." Gue menjawab dengan volume suara yang sangat pelan. "Kenapa?" tanya Caca lagi. "Gue ada janji sama temen SMA," sahut gue, tentu saja itu bohong. Gila aja kalau gue berkata jujur bahwa gue mau balik diantar Pak Byan, nggak bisa bayangin gue gimana reaksi Caca. Ngeri. --- Gue berjalan sambil melihat ke kiri dan ke kanan tepat sebelum benar-benar masuk ke dalam mobil Pak Byan. Gue takut kalau ada mahasiswa yang melihat gue pulang bareng dosen most wanted ini, bisa-bisa gue diamuk massa karena fans Pak Byan bar-bar semua. "Huh, aman." Gue mengusap daada dengan pelan. "Kenapa kamu?" tanya Pak Byan heran. Gue baru sadar kalau sekarang sudah berada di dalam mobil ini laki. "Bu..bukan apa-apa, Pak." Nih mulut bisa nggak sih jangan tergugu gitu, ketahuan banget gugupnya. Mobil melaju meninggalkan area kampus, suasana di dalam sini sangat canggung. Gue bingung mau ngomong apa dan juga kenapa Dosen di sebelah gue ini nggak ngomong sama sekali. "Luna Emalia Jasmin, jadi Istri saya. Hm?" Deg! Kedua mata gue membulat dengan sempurna. Apa-apaan Pak Byan? Tapi, jantung, kabar lo baik-baik aja kan di sana? Gue nggak tahu lagi dah bunyi jantung gue berdegup kencang kedengaran atau enggak di kupingnya Pak Byan. "Pak, bercandanya nggak lucu," sahut gue malu-malu. Please Luna jangan sampai malu-maluin. "Saya serius, Luna. Saya mau kamu jadi Istri saya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD