#1 YUYA DAN CALISTA
Aku pikir, gadis kecil yang akan aku temui ini adalah gadis berwajah sendu dengan paras yang penuh duka, ternyata aku salah mengira, gadis itu justru sangat periang, bahkan teramat ceria untuk ukuran gadis kecil yang baru saja kehilangan kedua orang tuanya dalam sebuah kecelakaan dua bulan yang lalu.
“Hai, kamu pasti Kak Yuya?” sapanya menyambutku di sebuah ruang tengah nan megah bergaya klasik ala bangsawan tempo dulu. Rumah mewah milik keluarga Baskoro, kakek dari sang gadis yang katanya termasuk ke dalam 100 orang terkaya di Indonesia. Baskoro memiliki selera yang unik dalam menata design rumahnya. Dia menghadirkan suasana kastil kuno di tengah sejuknya udara kota Bogor. Tiang-tiang besar tengah ruang berukir relief bunga yang abstrak. Ada perapian yang tak pernah mengeluarkan asap. Lukisan-lukisan besar menggantung memenuhi dinding ruangan. Di langit-langit ruang itu menggantung chandelier berwarna keperakan. Menggantung bak permata super besar di atas kepalaku.
Mataku tertegun menatap seisi rumah sampai terlupa membalas salam dari Calista, nama gadis berumur delapan tahun itu.
“Hello, can you hear me?” Calista membuyarkan lamunanku. Aku tergeregap sendiri, malu akan tingkahku yang mungkin sedikit udik.
“Oh, hai, maaf, aku begitu terpana melihat isi rumahmu,” balasku gugup. Calista tersenyum nyengir menunjukan deretan gigi susunya yang tak lagi lengkap.“Iya, aku Yuya, senang bertemu denganmu, Calista.”
Aku merasakan wajahku memerah Karena malu.
“Ayo, Kak. Aku akan ajak kakak keliling rumah dan menunjukkam di mana kamar kakak.”
Calista meraih lenganku. Dia berjalan menuntunku dengan loncatan riang khas anak seusia itu. Aku mengekor di belakang sambil menggeret koper besar. Ya, satu koper besar. Aku akan tinggal di rumah ini selama kontrak kerja yang sudah aku tanda tangani. Aku akan menjadi guru private Homeschooling untuk Calista, sekaligus menjadi teman main untuk gadis kecil itu agar dia tidak merasakan kesepian.
Seminggu yang lalu, aku melihat lowongan di salah satu website freelancer yang menawarkan pekerjaan sebagai homeschooling teacher dengan tambahan pekerjaan yang tidak begitu memberatkan, yakni menjadi teman penghibur seorang gadis kecil yang sedang berduka. Pekerjaan ini sesuai dengan latar belakang pengalamanku. Gaji yang ditawarkan pun sangat besar untuk ukuran kantongku. Ditambah, aku mendapatkan fasilitas tempat tinggal dan makan. Dan yang paling membuat aku tertarik mengambil pekerjaan ini adalah, aku akan bekerja di rumah keluarga Baskoro yang terkenal sebagai orang terkaya di kotaku.
Crazy Richnya kota Bogor.
Dia membangun rumah megah bak kastil kerajaan eropa di atas perbukitan dengan pemandangan hijau sejauh mata memandang. Semua orang pasti ingin ke sana, namun tentu tempat ini tidak bisa dikunjungi bagi orang umum jika tak ada kepentingan.
Saking besar kawasan rumah ini, aku harus berkendara sekitar 5 menitan dari gerbang masuk utama menuju halaman rumah itu dengan motorku.
Kepala pelayan rumah ini yang mewawancaraiku via telpon. Wawancara dengan wanita bernama Ibu Linda itu berlansung menyenangkan. Katanya aku kandidat terkuat untuk mengisi lowongan itu. Aku pun merasa begitu, mengingat port folioku sebelumnya. Aku sudah menjalani profesi private Teacher setahun belakangan tak lama setelah wisuda pendidikan. Namun semenjak pandemi, aku tak lagi mendapatkan banyak pekerjaan.
Setelah wawancara dan dinyatakan diterima, aku menandatangi kontrak 6 bulan pertama dan lansung cabut dari kamar kost yang sudah 2 bulan aku menunggak membayarnya.
**
Perjalanan menuju ke kamar terasa berjalan di selasar museum kuno. Calista menunjuk setiap patung, lukisan, artefak dan hiasan dinding lainnya seperti seorang pemandu wisata. Dia menyebutkan tahun dan sejarah benda-benda itu.
“Cermin ini dibuat pada tahun 1980, nenekku memenangkan lelang di tahun 90an,” terang Calista saat ia berhenti di depan cermin besar seukuran 2x2 m. Cermin itu terpatri kuat pada dinding.
Aku mematut wajahku di cermin yang berbingkai tembaga berwarna emas dengan ukiran mawar dan gelungan akar nan elegan. Cermin itu menampakkan pantulan tubuhku dari kaki hingga kepala. Seorang perempuan dengan jeans lusuh, rambut acak-acakan karena perjalanan bermotor dan sweater kuning kusam. Penampilanku sangat tidak sinkron dengan dekorasi rumah tempatku kini berdiri.
Aku tersenyum getir melihat penampilanku yang begitu miskin.
Calista berdiri dihadapanku, dia juga mematut tubuh mungilnya di depan cermin. Dia tampak cantik dalam merah jambu berbahan satin, selutut. Gaun yang harganya mungkin setara dengan semua pakaian yang ada di dalam koperku.
Calista memandangi cermin itu dengan tersenyum. Aku memandanginya dengan gemas. Tak lama, gadis cantik itu tertawa cekikikan. Aku tak tahu apa yang membuatnya tertawa seperti itu. Entah menertawakan penampilanku yang lusuh atau itu memang kebiasannya jika sedang mematut diri di depan cermin.
Lama kelamaan, aku mulai risih dengan sikap Calista. Aku masih bisa tersenyum meski dengan senyum yang hambar. Calista malah semakin menjadi-jadi. Dia tak hanya cekikikan, tapi mulai tertawa dengan terbahak seolah melihat sesuatu yang sangat lucu menghiburnya di dalam cermin.
Aku masih bersabar menunggui tingkah gadis itu, yang menurutku memang sedikit aneh.
Aku kembali menatap ke dalam cermin dengan saksama. Menatap wajahku yang canggung. Kemudian, ada sesuatu yang menarik perhatianku. Di dalam cermin, aku melihat ada bayangan samar. Meski samar, aku yakin sekali, tidak sedang salah lihat. Aku terus menatap bayangan yang masih buram itu, Lambat laun, bayangan itu semakin nyata dan terlihat jelas.
Sesosok bayangan perempuan dengan baju putih lusuh dan kotor. Kaki dan lengan tangannya berwarna putih pucat dengan bercak-bercak darah yang sudah mengering. Aku menyisir pandangan dari bawah hingga ke atas dengan degup jantung yang tak karuan. Tepat menatap wajahnya, aku mulai diserang panik yang luar biasa. Mataku menangkap soso dengan rambut kusut masai menutupi sebagian wajah yang penuh luka. Mulut perempuan itu menyeringai kepadaku. Ada cairan hitam keluar dari mulutnya.
ARGGHHHH !!!
Aku sontak berteriak sekencang-kencangnya, sambil menutup mata dengan kedua telapak tanganku. Ingin lari, tapi kakiku serasa terpatri pada lantai pualam berwarna hitam ruangan itu. Aku terduduk, sambil terisak dengan tubuh gemetaran. Jantungku terasa mau keluar dan bahkan tubuhku rasanya ingin ambruk seketika itu juga.
Sebuah tangan menggoncang-goncang pundakku. Aku membuka mata dan melihat ke sekeliling dan menatap kembali ke arah cermin. Tidak ada apa-apa. Hanya Calista yang berdiri menatapku heran.
“Dek yuya! Dek yuya … hello. Kamu kenapa?”
Di ruangan itu tidak hanya aku dan Calista saja. Ada Bu Linda dan seorang pelayan yang sedang membawa nampan. Melihat wajah mereka yang keheranan, aku hanya sanggup berbohong tentang keadaanku sebenarnya.
“Tidak ada apa-apa Bu. A-aku baik-baik saja,” jawabku terbata-bata. Sekuat tenaga aku mencoba menyembunyikan rasa syok setelah melihat bayangan menyeramkan tadi.
Aku melihat raut wajah Bu Linda. Dia tampak tidak senang dengan sikapku barusan.
“Dek yuya. Setelah meletakkan barangmu di kamar, kamu silahkan makan dulu. Calista akan menemanimu makan. Ya ‘kan sayang,” ucap Bu linda kepadaku dan juga kepada Calista.
Calista membalas ucapan Bu Linda dengan cengiran yang begitu menggemaskan. Aku mengangguk mengiyakan Bu Linda dengan salah tingkah.
“Be professional, ya dek Yuya. Aku yakin, aku tidak salah dalam menentukan pilihan. You can do the best for us.”
Meski Bu Linda mengucapkan kalimat itu dengan tersenyum. Aku bisa merasakan ucapannya teramat dingin hingga menusuk ke dalam ulu hati.
Bu Linda berlalu meninggalkanku dengan Calista setelah pelayan itu menata hidangan makan siang di meja ujung koridor di dekat balkon.
Calista mengajakku menuju kamar yang akan aku tempati. Aku mengikuti langkah kakinya dengan langkah yang kuyu.
Wajah menyeramkan di dalam cermin itu masih membekas di benakku. Oh! Apakah aku akan bisa bertahan meneruskan kontrak kerja di rumah ini jika teror yang kulihat tadi itu nyata? Entahlah. Aku harus menguatkan hati dan berani, mengingat isi dompetku yang tinggal sepuluh ribu.