Seharian kuhabiskan mendekam dalam kamar. Rasa benci dan marah berkecamuk memenuhi kepala. Tumben sekali aku merasa seemosional ini. Padahal, lama sudah aku tak acuh pada sikap Ibu dan Mbak Mel. Mengganggap keduanya angin lalu. Tak patut untuk digubris. Namun, entah mengapa hari ini terasa berbeda. Niat awal ingin mempermalukan keduanya di hadapan orang baru, malah aku yang kalah telak terlebih dahulu.
Pukul sebelas malam, aku masih saja berada di dalam kamar. Tanpa makan dan minum. Oh, bodohnya aku. Mana sifat cuek dan tegar Ayu yang dulu? Yang diam dan abai saat Ibu atau Mbak Mel melukai perasaan dengan kata-kata bak sembilu? Mengataiku tak laku, tak punya bakat, pengangguran atau patut jadi pembantu. Aku ingin seperti hari kemarin, yang beku dan abai pada kalimat pahit empedu.
Saat aku masih merenung di atas tempat tidur dan mengabaikan ratusan pesan masuk di w******p yang kebanyakan dari grup jual beli dan beberapa pelanggan yang memesan barang, tiba-tiba terdengar sebuah ketukan. Sekali kuabaikan. Dua kali aku mulai penasaran. Tiga kali rasanya tak tahan. Aku bangkit dan mulai mencari tahu siapa yang mengetuk tiga kali di pintu.
“Mas Wisnu?” Aku tercengang saat mengintip dari celah yang kubuka sedikit.
“Ssst!” Dia meletakan jemarinya di depan bibir. Memberi kode agar aku mengecilkan volume.
“Kenapa?” Mataku membelalak. Aku sungguh tidak mau malam-malam begini masalah datang lagi. Sudah cukup. Aku capek.
“Bisa bicara sebentar? Di ruang makan?” Mas Wisnu meminta.
Aku berpikir sejenak. Menimbang risiko dan segala kemungkinan. Hati kecilku mengatakan bukan saatnya untuk berbincang dengan lelaki ini. Tapi satu sisi entah mengapa diri ini begitu ingin sekadar ngobrol untuk mengobati luka hati.
“Lima menit.” Aku menawar. Mas Wisnu langsung mengangguk. Aku langsung mengikuti langkahnya menuju dapur.
Suasana rumah begitu hening. Ibu dan Mbak Mel pasti sudah terlelap dalam mimpi indahnya. Kami duduk saling berhadapan di meja makan. Lampu kuning temaram menyala di tengah-tengah, membuat suasana begitu syahdu. Bunyi jangkrik dan cecak bergantian mengisi kesunyian.
“Minum, Dek.” Mas Wisnu mendorong secangkir coklat panas ke hadapanku. Asapnya mengepul dengan aroma manis yang menggoda. Perasaanku dipenuhi dengan keheranan. Ada apa dengannya? Malam-malam begini bukannya tidur bersama istri? Kok, malah mengajakku ngobrol sambil minum coklat?
“Langsung saja, Mas. Jangan sampai Ibu atau Mbak Mel memergoki kita. Aku malas bertengkar.”
Mas Wisnu terlihat tak enak. Mungkin dia merasa bersalah.
“Aku baru sehari di sini dan sudah bikin masalah. Aku minta maaf, Dek Ayu. Sungguh, nggak ada maksud.”
“Oke. Jadi, kamu sudah tahu kan bagaimana keadaan rumah ini? Lama-lama kamu juga bakalan tahu sifat Mbak Mel.” Aku meraih cangkir dan menghirup isinya perlahan. Nikmat. Manis bercampur pahit bercampur jadi satu.
“Hmm, masalah Mbak Mel-mu, aku sudah paham bagaimana sifat aslinya. Ah, tidak perlu dibahas. Aku harap dia mau berubah.” Mas Wisnu melempar pandangannya jauh ke depan. Seolah sedang menerawang.
Aku memang baru mengenal lelaki ini. Sebelum menikah, dua tahun belakangan dia memang berpacaran dengan Mbak Mel. Lelaki lembut dan penurut ini kudengar sering sekali menjadi sasaran kemarahan Mbak Mel jika sedang ada masalah di kantor. Mereka memang rekan satu pekerjaan. Mbak Mel staf pemasaran, sedang Mas Wisnu adalah kepala divisi riset pasar dan promosi. Mereka bekerja di perusahaan retail ternama.
Berbicara secara intens dengan Mas Wisnu memang belum pernah kulakukan. Kami hanya bertegur sapa biasa saat dia mengapel Mbak Mel atau kebetulan mengantar-jemput istrinya tersebut. Malam ini, adalah kali pertama kami duduk hanya berdua saja dan berbicara layaknya sahabat lama.
“Aku Cuma mau minta maaf atas kejadian tadi pagi. Seharian tadi Melani jadi marah-marah saja kerjaannya. Begitu juga dengan Ibu. Aku jadi serba tidak enak. Jangan-jangan karena kehadiranku semua jadi seperti ini.” Mas Wisnu menunduk.
“Terus? Kenapa harus minta maaf ke aku?”
“Gara-gara tadi pagi kita pergi bersama, masalahnya jadi panjang. Salahku yang memaksa kamu untuk menemani ke sana. Aku minta maaf.”
Aku mengendurkan bahu. Menyesap coklat hingga tandas, lalu mengelap sudut bibir yang tumpahan di tepian gelas.
“Sebenarnya ini bukan hal yang baru. Puluhan tahun kami memang hidup seperti ini. Jauh dari kata rukun. Selalu aku yang jadi sebab uring-uringan mereka. Entah ya, mereka itu selalu benci padaku. Alasannya apa, aku tidak ngerti juga.” Aku hendak bangkit dari duduk, tapi Mas Wisnu mencekatku.
“Maafkan, Melani, Dek. Dia istriku dan mulai sekarang adalah tanggung jawabku untuk membimbingnya.”
“Jadi, Cuma ini kan yang Mas mau sampaikan?” Aku ingin segera menyudahi percakapan basa-basi tak berfaedah ini, sebelum dua singa betina bangun dari peraduannya.
“Hmm, sebenarnya aku mau cerita banyak. Tapi, sudahlah. Kapan-kapan saja.”
Aku membalik badan dan pergi meninggalkan Mas Wisnu. Saat itu, aku langsung geleng-geleng kepala. Mas Wisnu itu sebenarnya kenapa sih? Repot-repot sekali dia meminta maaf padaku atas perilaku istri dan mertuanya? Sampai harus menyogok dengan coklat segala. Padahal, aku ini sudah kebal diinjak-injak oleh Ibu dan Mbak Mel sejak dulu. Bahkan, almarhum Bapak pun tak pernah sampai minta maaf atau membujukku segala. Diam adalah sikapnya saat mereka menyakitiku.
***
Pagi-pagi sekali aku bangun untuk melakukan rutinitas harian di rumah. Mulai dari menyapu, menyiram tanaman, sampai memasak. Kerjaan ini adalah tugas utamaku di rumah. Kalau Mbak Mel? Jangankan memegang sapu, meliriknya saja dia tak peduli.
Jadi, sebenarnya apa yang membuatku terus bertahan di rumah ini? Bukankah aku bisa saja lari jauh dan mengontrak rumah? Toh, walaupun tak banyak, penghasilanku dari berdagang lumayan juga.
Jika lari, itu artinya Ibu dan Mbak Mel akan merasa puas. Semua aset Bapak jatuh ke tangan mereka. Tidak, semua ini bukan masalah harta. Ini masalah wasiat yang harus ditunaikan. Meski Bapak terlihat tak begitu sayang padaku, tapi dia telah berpesan bahwa tanah ini adalah milikku. Sedang Mbak Mel mendapat bagian lima hektar sawah yang penghasilannya dimakan sendiri olehnya bersama Ibu. Aku tidak Sudi untuk lari lalu menyerahkan rumah ini pada Ibu dan Mbak Mel. Jika memang harus pergi, mereka berdua lah yang harusnya angkat kaki. Namun, aku bukanlah iblis yang tega melakukan hal demikian. Aku masih punya hati dan mempersilakan Ibu tinggal di sini bahkan sampai beliau tutup usia.
Saat tengah asyik merawat tanaman mawar di halaman depan, aku terkaget-kaget melihat Mas Wisnu datang sembari membawa sapu dan pengki. Mau apa dia?
“Ngapain Mas?” Mataku membelalak melihatnya yang cekatan membersihkan dedaunan di tanah.
“Nyuci piring. Hehe.” Dia malah terkekeh. Cowok aneh.
“Mas masuk aja. Nanti istrimu marah.”
“Masa aku tinggal di sini nggak boleh ngapa-ngapain? Nanti aku obesitas karena nggak bergerak.” Senyumannya terulas dengan lebar. Membuat jantungku tiba-tiba berdebar.
“Hei, Dek Ayu, kok diam?”
“Hah?” Betapa malunya aku. Ternyata beberapa detik tadi aku terpana memperhatikan sosok di hadapanku ini.
“Nggak apa-apa. Lupakan.” Aku langsung kembali menyibukkan diri. Sementara Mas Wisnu terus menyapu sambil bersiul riang.
“Kalian nggak bulan madu? Masa penganten baru di rumah aja?” Aku mulai membuka percakapan. Berusaha agar kami tak lagi canggung.
“Rencananya pas tahun baru aja. Lusa sudah mulai masuk kerja. Ada projek besar di kantor yang nggak bisa ditinggal.”
Aku mengangguk pelan. Pura-pura mengerti dengan ucapan Mas Wisnu. Padahal pikiranku terbang ke sana ke mari entah ke mana. Sekilas aku membayangkan jika memiliki suami sebaik Mas Wisnu. Indahnya jika setiap pagi pekerjaan rumah selalu dibantu berdua begini.
“Mas Wisnu?!” Sebuah teriakan lantang terdengar dari arah belakang.
Aku kaget setengah mati. Begitu pula Mas Wisnu.
“Kamu ngapain?!” Mbak Mel terlihat gusar. Matanya menyala. Si tempramental itu sepertinya lagi-lagi tersulut amarah.
“Aku lagi bersih-bersih halaman, Sayang. Maaf aku nggak bangunin kamu tadi. Soalnya kamu kelihatan capek.” Mas Wisnu segera menghampiri Mbak Mel, sampai-sampai sapu dan pengki yang dipegangnya tadi dibuang sembarang.Dasar bucin, pikirku. Seperti itu saja sudah kaya kucing kesiram air panas.
“Mas, kamu harusnya kalau mau ngapa-ngapain itu bilang ke aku. Lagian, ngapain nyapu segala? Kalau tetangga ngeliatin gimana? Mereka bakal ngomong yang enggak-enggak.” Mbak Mel terus nyerocos seperti radio dengan frekuensi tidak tepat, berisik dan bikin sakit telinga.
“Ya sudah, suamimu simpan di lemari aja, Mbak. Jadikan hiasan, supaya nggak ngapa-ngapain.” Mulutku akhirnya gatal untuk tidak ikut campur. Mengganggu acara bersih-bersihku saja.
“Heh, Dek Ayu, kamu itu kok nyampurin urusan rumah tangga orang, sih? Makanya nikah, biar ada yang diurusin!” Mbak Mel makin sewot. Mulutnya mecucu seperti habis dicium tronton.
Aku hanya tersenyum, lalu sibuk dengan aktifitasku. Karepmu, Mbak. Ngomong sampai muntah paku juga aku nggak peduli.
“Mas, ingat ya, aku nggak suka kamu nyapu-nyapu gini, apalagi kalau Cuma berduaan sama Dek Ayu. Awas kalau terulang lagi!” Mbak Mel menghentakkan kakinya, lalu pergi meninggalkan aku dan Mas Wisnu.
Dengan wajah putus asa, Mas Wisnu mengemasi daun-daun yang telah terkumpul dalam pengki untuk dibuang ke tong sampah besar di dekat pohon mangga.
“Semua selalu aja salah di mata Melani. Aku bingung kalau begini terus.” Mas Wisnu mengeluh sembari berjalan menenteng perkakas bersih-bersihnya.
Tanpa membalas omongannya, aku membiarkan Mas Wisnu berlalu. Saat dia telah jauh, kuperhatikan punggung bidangnya. Laki-laki itu, entah mengapa aku jadi merasa kasihan padanya. Sebuah rasa tiba-tiba muncul dalam benakku. Cepat, aku menggeleng kepala. Menepis hal aneh barusan. Tidak, aku bukan seorang wanita yang gampang untuk memiliki rasa, apalagi terhadap ipar sendiri.