Bab 2

809 Words
Amira duduk termangu di depan cermin, menatap bayangan dirinya yang terlihat menyedihkan. Siapa yang peduli dengan rasa di hatinya. Siapa yang peduli dengan ketidak berdayaannya sebagai wanita. Kemana dia harus mengadukan nasibnya. Kemana dia harus meminta pembelaan. Bukan mereka saja yang menginginkan kehadiran seorang bayi dari pernikahannya dengan Aska. Dirinya pun sangat ingin menjadi seorang ibu. Tapi apa daya, dia hanyalah manusia lemah yang hanya bisa pasrah dengan ketentuan Allah. Kalimat ibu mertuanya yang meminta izin agar merelakan Aska menikah lagi, kembali terngiang di telinga. Kenapa rasanya begitu sakit bahkan hanya membayangkan Aska menatap wajah wanita lain. Dia tidak rela, sungguh tidak rela. Bukan dia ingin menentang syariat, bukan dia ingin mengharamkan apa yang di halal kan Allah. Tapi, dia belum siap berbagi suami dengan wanita lain. "Amira ... Kamu di sini rupanya." Sapa Aska yang muncul dari balik pintu kamar. "Iya, Mas, ada apa?" toleh Amira sambil berdiri. Aska berdiri mematung menatap wajah Amira, sejujurnya dia kasihan pada istrinya itu. Tapi, dia juga tidak bisa menepis begitu saja keinginan orangtuanya. "Kamu sedang apa di sini?" Amira diam tak menjawab, matanya beralih menatap sudut kamar. "Ada yang mengganggu pikiran kamu?" lanjut Aska bertanya. "Memangnya kamu tidak merasa terganggu, Mas, dengan ide mama yang meminta kamu kawin lagi!" Aska menghela napas, matanya menatap Amira lekat. Mata keduanya saling beradu, mencoba menyelami isi hati pasangannya. "Aku tidak tahu harus bagaimana," ujar Aska mengalihkan pandangannya ke sembarang tempat. Ia tidak sanggup menatap mata wanita di depannya. "Kamu setuju dengan ide mama?" "Itu bukan ide mama, Amira! Amanah almarhum Papa dan permintaan keluarga besar Darmawan, yang membuat mama terpaksa mengajukan ide itu." "Dan, kamu setuju dengan ide itu, Mas?" "Aku tidak bilang setuju, Aku hanya ingin membahagiakan mama, wanita yang telah melahirkan dan membesarkan aku," Amira menyipitkan mata menatap Aska. "Tidak usah munafik, Mas! Bilang saja kamu setuju dengan usulan mama!" Napas Amira tersengal menahan emosi. "Kamu jangan marah dulu, Amira. Cobalah kamu mengerti di posisiku. Aku anak tunggal papa dan mama. Cuma aku harapan mereka. Lagi pula, aku juga ingin punya anak dari darah dagingku sendiri." Jantung Amira berdegup kencang mendengar ucapan Aska. Darahnya terasa mndidih. "Mas, aku tidak mandul! Aku bisa hamil dan melahirkan anak. Hanya saja, aku harus Terapy terlebih dulu." "Aku tahu, Amira. Dan aku sangat menghargai usaha Kumu. Tapi seperti yang kamu lihat, sampai saat ini, belum ada hasil yang memuaskan." Amira diam, matanya lekat menatap mata Aska. Hancur harapannya mendengar ucapan Aska. Lalu untuk apa ia berjuang selama ini? "Amira ... Kumohon pengertian kamu. Lagi pula, walau aku menikah lagi, itu tidak akan merubah perasaanku padamu. Aku berjanji tidak akan ada yang berubah. Kita masih bisa hidup bersama seperti ini, di sini, di rumah ini. Aku hanya minta kerelaan kamu membagi hariku dengan yang lain. Selebihnya, tidak akan ada yang berubah." Jemari Aska lembut menyentuh jemari Amira. Menggenggamnya dengan erat. Lalu menciumnya dengan lembut. Tanpa terasa air mata Amira mengalir. Kalimat itu bagai pedang yang menebas sekujur tubuhnya. Kemana lagi dia harus meminta pengertian, kemana lagi dia harus mengadukan sesak di d**a. Haruskah ia bersujud memohon pada suaminya agar tidak menikah lagi? Tidak. Amira bukanlah wanita cengeng yang bisa merengek minta dikasihani. Bukankah dia juga punya keluarga? Dia yakin, keluarganya akan membelanya. Amira menarik napas dalam sambil memejamkan mata, lalu menghembuskan napas perlahan. Ia mencoba menenangkan diri. Mengumpulkan energi agar bisa berpikir jernih. "Begini saja, Mas! Izinkan aku pulang ke rumah orangtuaku untuk beberapa hari." ujar Amira. Lalu beranjak ke lemari dan mengeluarkan koper miliknya. Aska diam. Keningnya berkerut menatap Amira. Sungguh, dia tidak rela membiarkan Amira kembali ke rumah orang tuanya. Dia takut Amira mengambil keputusan sepihak. Dia belum siap kehilangan Amira. Tapi tidak memberi izin dan menahannya di sini, di rumah ini, juga tidak mungkin. Amira bukan wanita biasa yang bisa dibujuk dan ditakut-takuti. Ia hanya bisa diam melihat Amira memasukkan pakaiannya ke dalam koper. "Amira ... Tidak bisakah kamu tetap disini? Kita bisa bahas masalah ini baik-baik," bujuk Aska mencoba menahan Amira. "Tidak ada lagi yang perlu dibahas, Mas. Pilihan kita cuma dua. Kamu menikah lagi atau kita bercerai." Ujar Amira tanpa menatap wajah Aska. Jemarinya lincah menyusun pakaian dan barang pribadinya ke dalam koper. Dia memang sudah terbiasa mengepak pakaian. Selain dirinya yang sering berpergian keluar kota, Aska juga sering tugas luar kota. Sebagai istri, Amira lah yang selalu mengepak dan menyiapkan semua kebutuhan Aska selama di luar kota. "Amira, please! Aku tidak suka mendengar kata perceraian." "Lalu, apa kamu kira aku suka? Sama, Mas! Aku juga tidak suka dengan kata itu. Tapi ini bukan masalah suka atau tidak. Semua karena keadaan. Seperti keadaanku yang belum bisa memberi seorang bayi untukmu." Amira berdiri tepat di depan Aska sembari memegang tangkai kopernya. "Jangan lupa makan. Jangan tidur terlalu malam. Nyalakan alaram sebelum tidur, karena malam ini aku tidak bisa membangunkanmu, Assalammualaikum," Amira meraih tangan Aska lalu menciumnya. Tanpa menunggu jawaban Aska, Amira beranjak pergi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD