MENANGIS BERSAMA

1012 Words
Selepas menyelesaikan serangkaian acara resepsi dan lain-lain, Arabella pun memilih untuk segera pergi ke kamar hotel yang sudah disediakan untuk mempelai pengantin. Mengingat lokasi tempat pernikahannya cukup jauh dari rumah, keluarga Arabella pun sepakat untuk menginap semalam di hotel tersebut. Gadis itu terus melangkah pergi, meninggalkan para kerabat yang ikut kecewa atas perilaku Gilang yang tak bertanggung jawab. Setibanya di kamar hotel, Arabella langsung menangis terisak sambil melepas satu persatu aksesoris yang terpasang di kepala mau pun gaun pengantinnya. "Jahat kamu, Lang! Kalau kamu memang berniat meninggalkanku, kenapa gak dari dulu aja? Kenapa harus pergi di hari pernikahan kita. Seolah-olah, aku bukan pilihan tepat untuk kamu jadikan sebagai istri. Setega itu kamu sama aku, Lang." Gadis itu meraung. Suaranya terdengar keras memenuhi ruang kamar. Siapa yang tidak sedih dan kecewa dikhianati sosok yang pernah berjanji untuk tidak mengecewakannya. Padahal, Arabella sudah sangat percaya bahwa Gilang akan menjadi pelabuhan terakhirnya hingga ajal menjemput. Namun tiba-tiba, lelaki itu malah memberi kejutan yang amat dahsyat kepada Arabella dan keluarganya. Seperti badai yang datang tak terduga, terang saja Arabella pantas merasa hancur setelah apa yang Gilang lakukan kepadanya. Tangisnya pecah tersedu-sedu. Dadanya terasa sesak sehingga membuat bahunya bergetar hebat selagi ia duduk memeluk lutut di sudut ruangan. Riasan wajahnya sudah benar-benar rusak. Air mata pun telah membanjiri setiap inci dari paras cantiknya. "Seharusnya hari itu kamu gak usah melamar aku, kalo memang kamu masih ragu untuk menikah. Aku bahkan gak pernah memaksa atau meminta kamu secepatnya menikahiku, tapi justru kamu sendiri yang ingin kita segera menikah. Kamu bilang, kamu udah gak sabar untuk hidup denganku sebagai sepasang suami istri yang saling cinta. Terus kenapa? Kenapa kamu melakukan ini? Kejam kamu, Lang. Aku benci sama kamu," racau sang gadis dalam keterpurukannya. Walaupun merasa percuma karena tak bisa didengar langsung oleh Gilang, tetapi minimal, Arabella perlu meluapkan rasa sakit yang sudah sejak tadi ditahannya. Tiba-tiba bunyi ketukan pintu terdengar di tengah isak tangis Arabella yang masih memenuhi ruangan. Sejenak, gadis itu pun menoleh ke sumber suara, tetapi bukannya bangkit dan membuka pintu, ia justru malah lanjut menangis hingga pria yang ada di luar kamar sana pun memutuskan untuk membuka pintu yang ternyata tidak dikunci. Untuk sesaat, sosok yang tak lain adalah Brian sempat menyembulkan kepalanya di celah pintu yang terbuka. Sejenak, ia pun mengedarkan pandang ke sekeliling dan cukup terkejut dengan kondisi kamar yang berantakan. Namun, Brian tak perlu berkomentar. Sebab ia tahu, bahkan bisa merasakan mengenai kekecewaan yang sedang dialami Arabella. "Kakak boleh masuk, Dek?" Pria itu bertanya dulu, walau sebenarnya ia bisa langsung menerobos masuk tanpa perlu meminta izin. Dalam keadaan wajah yang dibenamkan di tengah-tengah lutut yang ditekuk, Arabella pun menjawab dengan suara paraunya, "Masuk aja!" Segera setelah mendapat izin, barulah Brian merasa yakin untuk melangkah masuk. Sebelumnya, Brian hanya mampu menghela napas berat. Lalu selanjutnya, ia pun berinisiatif untuk memunguti sejumlah benda yang mungkin sempat dilempar secara sembarang oleh Arabella. "Kakak gak akan larang kamu untuk menangis, Dek. Menangislah jika memang itu bisa membuat hatimu lega! Cuma seharusnya kamu bisa menahan itu di depan suadara-saudara jauh kita yang sudah sengaja datang untuk menyaksikan pernikahanmu. Mereka tadi sedih lho, pas ngelihat kamu pergi begitu aja." "Tau apa Kak Brian soal pernikahan? Aku bahkan gak pernah menyangka kalo aku harus dinikahi sama kakak tiriku sendiri. Ditambah lagi dengan perginya Gilang. Kakak tentu aja gak akan ngerti gimana perasaanku!" Arabella mengusap air mata di kedua pipinya. Menatap Brian dengan tatapan sedikit tajam karena sejujurnya ia tidak suka mendengar nasihat dari pria yang menurutnya tidak akan pernah bisa merasakan rasa sakit yang menusuk hatinya. Namun, beberapa menit kemudian ia pun sadar bahwa sekarang Brian adalah suaminya. Suami yang harus ia dengar segala nasihatnya dan pantang bagi Arabella untuk membangkang karena ia tahu dosa. Arabella pun kembali menundukkan kepala. Memilih untuk tak melihat Brian di tengah rasa tak enaknya. "Maaf ya, Kakak bukan mau bikin kamu tambah sedih, apalagi sampai marah. Kakak cuma gak mau ngelihat kamu sedih seperti ini karena Kakak juga ikut merasa sedih, Dek. Lagi pula bukan cuma kamu, kok. Kakak juga sebenarnya marah dan kecewa sama keadaan ini. Begitu pun papa dan bunda. Kami semua juga gak terima dengan apa yang terjadi sama kamu, tapi sebagai manusia kita bisa apa, Dek? Rencana hanya tinggal rencana. Tuhan lebih tahu mana yang harus dijalani dan Kakak minta, kamu jangan sampai terlalu larut dalam kesedihan ini! Kakak harap, kamu bisa menerima dengan ikhlas apa yang sudah terjadi! Kakak aja bisa, kamu juga pasti bisa, Dek! Kamu tau, kan, Dek? Seharusnya, bulan depan Kakak ngelamar Cecil, tapi semua itu terasa gak berguna lagi karena Kakak udah telanjur bersedia menikahi kamu." Brian menundukkan kepala. Layaknya orang yang juga terpuruk, Brian benar-benar menunjukan hal itu di depan Arabella hingga membuat gadis yang sejak tadi hanya diam mendengarnya bicara pun kembali mengangkat wajah yang sejak tadi hanya tertunduk. Di tengah tatapan kosongnya, gadis itu pun kembali bergumam pelan. "Sebenarnya kita salah apa, sih, sama Tuhan, Kak? Sehingga Tuhan memberi hukuman seberat ini pada hambanya yang bahkan tidak pernah lupa akan kuasa-Nya. Bukan mau menyombongkan diri, tapi seperti itu, kan, adanya? Jujur, aku merasa ini gak adil. Seolah kita udah melakukan dosa paling besar saja sampai Tuhan melimpahi kita hukuman semacam ini." Arabella mengatakan itu dengan suaranya yang agak bergetar. Jadi, Bella mengibaratkan menikah denganku sebagai sebuah hukuman? Brian membatin di sela helaan napas gusarnya. Kemudian, pria itu pun turut menangis meski suara tangisnya tak sampai menggemparkan. Mendengar suara tangisan Brian, gadis itu pun berinisiatif memeluk tubuh kakaknya. Walaupun statusnya sudah menjadi suami, tetapi bagi Arabella tetap saja Brian adalah kakaknya. Gadis itu pun tanpa ragu meletakkan kepalanya di pundak sang pria yang sudah ia peluk dari samping. Mencoba menyalurkan ketenangan pada sang pria di tengah ia yang juga masih terbilang belum bisa merasa tenang. Brian sempat melirik sebentar ke arah Arabella. "Maafin Kakak, Dek. Tangisan ini sebenarnya bukan karena Kakak sedih kehilangan Cecil, tapi sepertinya, apa yang Kakak lakukan ini ternyata malah menghancurkanmu, ya? Maafkan, Kakak, ya, Dek, semoga suatu saat nanti kamu bersedia untuk memaafkan Kakak," batin Brian lirih. Merasa sedikit menyesal atas apa yang sudah ia lakukan kepada adik tirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD