Bab 2 - Tragedi

1409 Words
Winter mengintip sedikit dari dalam bagasi mobil Billy. Gelap, menyeramkan. Itulah kesan pertama yang Winter rasakan begitu matanya menatap pada bangunan pabrik terbengkalai di hadapannya. Ia bertanya-tanya bingung, kenapa ayahnya pergi ke tempat seperti ini? Apa yang akan dia lakukan bersama rekan kerja yang tadi menghubunginya di telepon? Setelah memastikan ayahnya sudah cukup jauh dari tempat di mana dia memarkirkan mobilnya, perlahan demi perlahan Winter keluar dari persembunyiannya. Udara dingin seketika menusuk sampai ke tulang begitu ia merasakan hembusan angin serta butiran benda putih yang mengguyur sekujur tubuhnya, membuatnya bergemeretak hebat kedinginan. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Winter segera masuk ke dalam gedung pabrik tempat di mana ia melihat ayahnya tadi masuk. Winter berjalan perlahan sambil terus bersembunyi di balik tumpukan benda tak terpakai yang terletak acak di dalam gedung. Ia melihat sekelilingnya, ruangan ini bercahaya redup juga berbau lembab. Ada banyak sarang laba-laba di pojok-pojok ruangan serta langit-langitnya. Hal itu tentu semakin membuat Winter ketakutan. Sepertinya ia sudah tidak tahan lagi mengendap-endap seperti ini. Ia akan langsung menghampiri ayahnya dan meminta maaf padanya. Namun saat baru saja mulut Winter hendak terbuka untuk meneriaki ayahnya, tiba-tiba saja dari ujung ruangan ia mendengar ada suara anak perempuan menangis, diikuti dengan suara tawa orang dewasa. Winter kenal suara itu. Ya, itu suara ayahnya. Dengan rasa takut bercampur penasaran, Winter menghampiri arah suara. Semakin ia mendekat, semakin jelas pula suara-suara itu yang anehnya kini terdengar mengerikan di telinganya. Dan benar saja, ia melihat ada siluet ayahnya yang memakai mantel dan topi koboi hitam, tengah terduduk sambil melakukan sesuatu, entah apa itu. Belum kelihatan. Di sampingnya juga tampak seorang pria paruh baya yang mengenakan pakaian serba hitam. Dan ... sungguh Winter juga mengenal pria itu! Itu adalah Mr. Leigh, ayah dari temannya, Samantha Leigh. Dia adalah rekan kerja ayahnya. Mereka sering meeting bersama di rumah. Winter semakin mendekatkan posisinya dengan posisi mereka. Ia penasaran, sebenarnya apa yang sedang mereka lakukan di tempat ini? Kenapa ada suara gadis kecil? Setelah cukup dekat, Winter pun bersembunyi di balik sebuah tong besi. Ia memberanikan diri untuk mengintip sedikit, dan pemandangan yang menyambutnya di depan sana benar-benar membuatnya syok bukan main. Bahkan Winter sampai jatuh terduduk dengan menutup mulutnya yang hendak menjerit. Ayahnya ... bersama Mr. Leigh, sedang melecehkan seorang gadis kecil yang usianya tampak lebih muda darinya. *** “Sakit ... hentikan ... ini menyakitkan ....” Sebuah rintihan memilukan terlontar dari bibir seorang gadis kecil. Suaranya terdengar lemah dan parau, tangisnya pun sudah hampir tak terdengar lagi. Dia sudah hampir pingsan. Winter yang menyaksikan pemandangan keji itu dengan kedua matanya, tubuhnya kini jadi bergetar hebat. Ia takut, sangat takut. Ia bahkan sudah menangis diam-diam dibalik tong besi. Walau kini ia sudah menutup matanya, tapi tetap saja pemandangan wajah ayahnya yang menyeringai menakutkan ketika melecehi gadis itu terus terngiang dalam ingatannya. Juga ada darah. Memori di kepala Winter terus memutar ulang kejadian ketika ayahnya menyesap darah yang keluar dari kemaluan gadis kecil itu. Sungguh, Winter ingin menjerit, ia juga ingin menolong gadis kecil itu yang tak lain adalah Michelle. Tapi ia terlalu takut. Bagaimana kalau ayahnya akan melakukan hal itu juga terhadap dirinya? Bagi Winter ayahnya kini telah bertransformasi menjadi monster. Dia sudah bukan lagi ayahnya yang selama ini selalu ia kagumi. “Bagaimana menurutmu, Fred? Kita lakukan saja atau tidak?” Billy menatap pada rekannya, Mr. Leigh, alias Fredy Thomas Leigh. Wajahnya tampak menyeringai penuh maksud. “Terserah kau saja. Gadis manis ini milikmu, Billy.” Fredy menjawab dengan tertawa. “Tapi sebaiknya kau berhati-hati. Anak ini pasti akan bernilai sangat mahal.” “Kau benar, hahaha. Baiklah, aku akan melakukannya dengan hati-ha—” “Dasar b******n!!! Apa yang kalian lakukan terhadap putriku?!” Suara teriakan marah tiba-tiba muncul dari arah pintu masuk pabrik. Itu Antony, dia kini tengah berjalan sempoyongan sambil memegangi kepalanya. Wajahnya tampak memerah karena marah. Di matanya samar-samar tergenang air mata pilu akibat dari menyaksikan putri kecilnya yang tergeletak lemas dengan kondisi menyayat hati. “Ya Tuhan ... Michelle putriku ....” Antony meraih Michelle dan menyelimuti tubuh polosnya dengan mantel miliknya. Ia lantas mendudukkannya di posisi yang dirasa aman, kemudian menatap nanar pada Billy dan Fredy. “Dasar manusia-manusia kotor berhati busuk! Betapa kejamnya kalian melakukan ini terhadap seorang anak yang bahkan baru berusia enam tahun?! Di mana hati nurani kalian?!!” Dengan emosi yang meluap-luap, Antony meraih gagang kayu di dekatnya, lalu berjalan mendekat pada kedua orang di hadapannya. Sementara itu Billy dan Fredy saling tatap, kemudian sama-sama mengangguk seolah mengerti isi pikiran satu sama lain. “Bereskan.” Billy memerintah. Tanpa protes, Fredy kini ikut mengambil tongkat kayu dan menerjang Antony dengan brutal. Kondisi Antony yang masih sempoyongan berkat luka di kepalanya menguntungkan Fredy. Antony pun lebih dulu terkena pukulan Fredy sebelum ia berhasil menggapai kepala lelaki itu dengan tongkat kayu di tangannya. Sekali lagi kepala Antony mendapatkan luka pukulan yang tentu jadi semakin melemahkannya. Tapi ketika ia melihat putrinya, ia tidak ingin menyerah. Ia pun berusaha bangkit berdiri walau dengan susah payah. “Daddy ....” Suara Michelle yang menangis membuat Antony menoleh padanya, dan berakibat ia terkena pukulan lagi oleh Fredy. Ia pun jatuh terduduk tepat di hadapan putrinya. “Daddy!!!” Michelle semakin histeris. “Kau berdarah ... bagaimana ini ....” Antony menatap Michelle dengan pandangan sayu. “La ... ri!” serunya pelan. Michelle tentu saja menggeleng tegas. “Aku tidak mau meninggalkanmu. Ayo pergi bersama-sama, Daddy!” Melihat putrinya yang terus menangis walau sedang merasa kesakitan, amarah Antony kini jadi bertambah berkali-kali lipat. Dengan sigap ia bangkit berdiri, mengambil kembali tongkat kayunya, lantas menghantamkannya dengan keras ke arah Fredy. Fredy pun tersungkur jatuh. Tidak berhenti sampai di situ, masih dengan gerakan yang cepat kini Antony menghampiri Billy dan melayangkan tongkatnya padanya. Billy pun tak elak dari serangannya. Pelipisnya berdarah terkena tongkat kayu Antony. Habis merobohkan Billy dan Fredy, Antony buru-buru meraih tubuh Michelle untuk segera kabur dari tempat ini. Ia juga diam-diam mengeluarkan ponsel dari sakunya dan segera menghubungi 911. Melihat Antony kabur bersama benda berharganya, Billy murka dan mengejar Antony. “Tidak akan kubiarkan kalian lolos begitu saja!” Kemudian, Billy mengeluarkan sebuah benda hitam dari sakunya, itu senjata api! Ia mengarahkannya pada kepala Antony, dan ... Dor! Sebuah peluru berhasil mendarat di kepala Antony. Membuatnya seketika ambruk jatuh tak sadarkan diri, darah segar menyiprat sampai ke wajah Michelle yang ada dalam gendongannya. Melihat itu, Michelle terkejut bukan main. “Daddy!!!” Pekikan itu begitu menyayat hati, juga sangat mengejutkan bagi Winter yang menyaksikannya diam-diam. Tubuhnya kini sudah menegang bagai patung, ia benar-benar tidak menyangka akan menyaksikan ayahnya membunuh seseorang tepat di depan matanya. Perlahan, Winter mundur menjauh dari lokasi. Ia berlari sejauh-jauhnya entah kemana. Ia tak peduli walau akan tersesat di tengah badai. Saat ini ia lebih takut menghadapi ayahnya yang telah berubah menjadi monster pembunuh. “Hah ... merepotkan!” Billy merutuk kesal seraya menatap mayat Antony yang bersimbah darah. “Kau bereskan dia, Fred. Aku ingin lanjutkan sedikit lagi permainanku bersama gadis manis kita.” Fredy menuruti perintah Billy dan segera bergegas membersihkan segala sidik jari dan tongkat kayu yang menjadi jejak pergulatan mereka. Sementara itu Billy kembali menghampiri Michelle, matanya menatap nanar pada gadis kecil itu. Michelle yang menyadari seringai Billy, ia mundur takut. “Tolong jangan sakiti aku, Tuan,” mohonnya sambil gemetar ketakutan. “Memangnya siapa yang akan menyakitimu? Aku hanya ingin mengajakmu bermain. Hitung-hitung kau berlatih untuk pekerjaan hebatmu di masa mendatang nanti.” Michelle terus mengesot mundur ketakutan. Sampai akhirnya sebuah dinding membuat tubuhnya tak bisa bergerak kemana-mana lagi. Dan saat tangan Billy hendak meraih tubuhnya, Michelle hanya bisa memejamkan matanya rapat-rapat. Tapi kemudian ... Ninu ... ninu ... ninu ... Suara sirine polisi tiba-tiba saja terdengar dari kejauhan sedang menuju kemari. Billy dan Fredy pun seketika saling tatap panik. “Sial! Dia diam-diam menghubungi polisi rupanya.” Billy merutuk kesal. “Cepat singkirkan jejak kita terlebih dahulu. Itu yang terpenting!” “Lalu mayatnya?” “Tinggalkan saja!” Billy membantu Fredy membereskan segala sesuatu yang perlu dibersihkan, lantas segera kabur dari lokasi. Sementara Michelle, ia menggunakan kesempatan itu untuk kabur keluar dari gedung pabrik dan berlari menghampiri mobil polisi yang tengah melaju kemari. Beberapa kali ia terjatuh karena tubuhnya terasa sangat lemas. Tapi akhirnya seorang polisi turun menghampirinya dan mengamankan tubuhnya yang hanya berbalut mantel ayahnya. Sementara itu Winter, seorang polisi menemukannya tengah tergeletak tak sadarkan diri di tengah jalan, jauh di ujung jalan kawasan bekas pabrik. Tubuhnya tampak kejang-kejang dan bergetar hebat, tidak ada yang tahu apa sebabnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD