Bab 3 - Musim Dingin Paling Dingin

1503 Words
Suara derap langkah ramai memenuhi seisi gedung pabrik terbengkalai setelah penemuan seorang gadis kecil merangkak sambil menangis dengan kondisi tubuhnya yang lemas serta pakaiannya yang tampak mengenaskan. Ditambah dengan penemuan lain yaitu seonggok mayat dengan luka tembak di kepala, para polisi semakin gencar menjajah setiap inci area pabrik terbengkalai. “Amankan lokasi beserta barang bukti! Hubungi ambulans juga tim bantuan untuk menyisir kawasan ini!” Salah satu petugas berseru memberi perintah dan dijawab anggukan patuh oleh seluruh anggotanya. Dia adalah petugas yang menemukan gadis kecil itu alias Michelle—ketika baru saja turun dari mobil. Ditatapnya lamat-lamat sekujur tubuh Michelle yang sangat menunjukkan adanya bekas perlakuan tidak senonoh. Tatapannya begitu sayu dan menyayat hati ketika iris mereka bertemu. Terlebih saat Michelle bergumam lirih, “Tolong aku ... tolong selamatkan ayahku ....” Mendengar nada suaranya yang bergetar lantaran ketakutan bercampur kedinginan, dengan gesit petugas itu membuka lapisan luar seragamnya yang terdapat lencana yang menunjukkan bahwa dia adalah seorang inspektur, lantas memakainya kepada Michelle. Papan nama bertuliskan Calvin Imanuel Reagan yang terdapat di bagian d**a sedikit menekuk acak kala seragam berupa mantel itu bertengger di tubuh kecil Michelle. Petugas itu, alias Calvin, kini memegang kedua bahu lemah Michelle bersiap menanyakan beberapa hal. “Baik, Nak, siapa namamu?” Michelle menjawab dengan suara bergetar, “Mi-Michelle.” “Apa pria yang tergeletak di dalam itu ayahmu?” tanya Calvin lagi hati-hati. Satu anggukan lemah diberikan oleh Michelle sebagai jawaban. Matanya terlihat berkaca-kaca antara ingin menangis tetapi terlalu syok untuk sekedar mengeluarkan air mata. “To-tolong ayahku ... kumohon ....” lirihnya. Mendengar itu Calvin segera membawa Michelle ke dalam pelukannya. “Tenanglah. Kami akan menolong ayahmu.” Saat tubuh mereka saling menempel, Calvin dapat merasakan dengan jelas getaran di tubuh Michelle semakin menjadi. Gadis kecil itu juga tidak mau membalas pelukannya, alih-alih dia malah mengepalkan tangannya seperti menahan rasa takut. Kini Calvin sudah dapat menerka-nerka apa yang kiranya telah terjadi di tempat ini. Ya, sebuah kejahatan tidak etis. Tidak diragukan lagi, gadis kecil ini pasti korban utamanya. Sementara mayat pria paruh baya yang ada di dalam kemungkinan ditembak saat melakukan perlawanan untuk menolong putrinya. Dalam situasi seperti ini Calvin tidak mau menambah trauma Michelle dengan menanyainya lebih jauh lagi. Kebetulan ambulans dan tim bantuan juga sudah datang. Maka dari itu Calvin memutuskan untuk mengamankan Michelle terlebih dahulu kepada tim medis. Sementara ia fokus menangani masalah utama. Saat tengah mengecek mayat pria yang merupakan ayah dari gadis naas bernama Michelle tersebut, tiba-tiba saja suara protofon yang tergantung pada ikat pinggang sebelah kanan tubuh Calvin bergemeresik heboh. “Over, over, kami menemukan ada anak lain di sekitar tiga ratus meter dari lokasi kejadian.” Suara seorang petugas di seberang protofon memberikan informasi, membuat Calvin merasa tertarik untuk mendengar lebih jauh lagi. “Jelaskan lebih rinci!” perintah Calvin tegas. “Anak laki-laki, usia sekitar sembilan sampai sepuluh tahun. Tubuhnya kejang hebat seperti gejala epilepsi, suhu tubuhnya juga sangat rendah. Ada kemungkinan dia terserang hipotermia. Kami segera mengamankannya ke tim medis.” “Segera bawa kedua anak itu ke rumah sakit terdekat dan hubungi pihak keluarga. Kirim beberapa petugas untuk mengawal, sisanya kembali sisir area.” Calvin sekali lagi memberikan perintah, setelahnya ia menaruh kembali protofon miliknya dengan rapih supaya ia bisa kembali fokus menginspeksi mayat pria yang belum ia ketahui identitas jelasnya. Kini, ditatapnya lamat-lamat tubuh lemah dengan kepala bersimbah darah di hadapannya. Calvin mulai berpikir keras. Ia memang belum mengetahui betul detail peristiwa naas yang telah menimpa sepasang ayah dan anak ini. Tapi satu hal yang membuatnya kesal sampai tak sadar ia mengepalkan tangan begitu keras, kenapa beberapa tahun belakangan ini kasus pelecehan semakin marak di kota New York? Terlebih anak belia lah yang menjadi korbannya. Siapa sebenarnya manusia-manusia biadab yang menjadi dalang dibalik aksi kejahatan ini? Siapa pun mereka, Calvin bertekad untuk menangkap mereka kali ini. Ia tidak mau ada lagi anak-anak lain yang menjadi korban. Semoga saja kali ini ia menemukan bukti yang cukup untuk meringkus pelaku. Tapi sebelum ke langkah itu, sebaiknya Calvin memikirkan dulu bagaimana cara berbicara dengan pihak keluarga korban mengenai peristiwa naas yang telah terjadi. Sungguh, bagian ini adalah tahapan paling sulit untuk Calvin hadapi meskipun ia telah berkarier di bidang ini selama sepuluh tahun. *** Seorang wanita muda berparas Asia-Amerika yang menawan, berkulit sawo matang serta memiliki tubuh tinggi semampai, tampak berlarian kalut di sepanjang koridor rumah sakit. Rambut pirangnya yang bergelombang indah sedikit kusut akibat terkena percikan air mata yang ia hapus secara brutal dan berulang. Samar-samar jemarinya terlihat bergetar, air mukanya juga menunjukkan panik bukan main bercampur rasa tak percaya tak terkira. Dia adalah Sarah Anindita Brume, alias istri dari Antony James Brume, alias ibu dari Michelle Olivia Brume. Padahal Sarah masih asik berlenggak-lenggok di catwalk setengah jam yang lalu. Menampilkan tubuh serta wajah eloknya yang dibalut pakaian dari brand ternama, lantas mendapat tepukan tangan dari para penikmat busana yang menonton aksinya. Sungguh tidak pernah terbayangkan ia akan mendapat sebuah telepon dari kepolisian di malam saat ia tengah berbahagia ria menjalani profesi yang menjadi cita-citanya sedari kecil, yaitu model internasional. Dalam sepanjang langkahnya Sarah tak hentinya merapalkan doa dalam hati, semoga saja berita yang didapatnya hanyalah berita bohong dari orang iseng, atau salah sambung. Karena ia masih tidak bisa membayangkan akan seberapa hancurnya ia jika berita itu benar. Bahwa suami tercintanya telah tewas tertembak, sedangkan putri semata wayangnya sedang mengalami trauma berat pasca menjadi korban dari peristiwa pelecehan tidak manusiawi dari oknum tak berhati nurani. Namun meskipun sudah beribu kali Sarah mencoba optimis, tetap saja ia tidak bisa menghentikan tangisnya. Terlebih ketika kedatangannya disambut oleh beberapa petugas polisi yang sedang berjaga di depan kamar rawat putrinya. Mendapati fakta tersebut membuat jantungnya seolah berhenti berdetak selama beberapa saat. Tubuhnya refleks mematung sambil irisnya menatap orang-orang berseragam di hadapannya dengan sorot keputusasaan. “Apakah ini ....” Sarah hampir tidak mampu berkata-kata, “... nyata?” Para petugas turut prihatin atas keterpurukan yang melanda Sarah. Mereka tertunduk sendu, sesekali ada yang menggaruk tengkuk lantaran kebingungan harus bagaimana berkomunikasi dengan ibu sekaligus istri dari kedua korban. Walau mereka sudah sering menghadapi hal seperti ini, tetapi mereka masih manusia biasa yang tidak bisa terbiasa menyaksikan peristiwa menyayat hati semacam ini. Untungnya ada Calvin yang segera datang dari arah koridor lain. Ia segera mengisyaratkan para bawahannya untuk sedikit mundur, biar ia yang akan berbicara dengan Sarah. “Ehem! Nyonya Sarah Brume?” Calvin mencoba menyapa. Namun jelas saja Sarah masih tidak mampu berkata-kata. “Aku tahu ini berat bagi Anda. Tapi kuharap Anda bisa segera memastikan bahwa kedua korban memang benar pihak keluarga Anda.” Mendengar penegasan itu, tangis Sarah pecah. Tiada hentinya ia menggelengkan kepala sambil mundur perlahan memasuki kamar rawat Michelle. Ya, benar kata inspektur polisi di hadapannya, walau seberat apa pun tragedi ini ia tetap harus memastikan sendiri kebenaran dari identitas para korban. Bodohnya, Sarah tak hentinya denial dengan menanamkan pikiran dalam kepalanya bahwa yang ada di dalam bukanlah Michelle putrinya. Sayang sekali takdir sudah terlanjur menggariskan kehidupan yang akan mengitarinya jauh dari sebelum ia terlahir ke dunia kejam ini. Termasuk nasib putrinya Michelle yang kini sedang diberi obat penenang oleh dokter lantaran terus teriak ketakutan menghindari semua orang yang hendak menghampirinya. Menyaksikan itu hati Sarah jauh lebih tersayat lagi. Ia pun langsung berlari menghampiri Michelle dan memeluknya erat. “Ya Tuhan putriku ... apa yang telah terjadi padamu? Ini salahku! Ini semua salahku!” racau Sarah seraya mendekap tubuh bergetar Michelle. “Mommy? Tolong aku ... selamatkan aku dari orang-orang jahat ini. Aku takut ... sangat-sangat takut. Mereka ingin menyentuh bagian tubuhku yang kau bilang tidak boleh disentuh oleh orang lain. Aku takut, Mommy. Bawa aku pergi dari tempat ini, kumohon.” Mendengar racauan seperti itu terlontar dari mulut polos putrinya, rasanya Sarah sudah tidak sanggup lagi menampung beban rasa sakit yang menyerangnya. Punggungnya seolah roboh, hatinya membeku bersama musim dingin paling dingin dari yang pernah ia hadapi sepanjang hidupnya. Ia tidak sanggup, ia terlalu lemah untuk menerima segala bencana ini. Calvin yang menyaksikan pemandangan memilukan tersebut, ia sadar bahwa ia harus bergegas membawa Sarah ke ruang jenazah untuk memastikan kebenaran dari identitas jasad yang ditemukan di lokasi kejadian. Tapi ia mana tega? Sarah sudah terlihat begitu terpukul melihat kondisi putrinya yang mengenaskan. Pasti dia akan jauh lebih terpukul lagi jika harus menyaksikan jasad suaminya yang jauh lebih mengenaskan. Tapi bagaimanapun Calvin harus profesional menjalani tugasnya sebagai seorang polisi. Belas kasihan hanya akan menghambat pekerjaannya dalam memecahkan kasus. “Maaf menyela, Nyonya Brume. Tapi kau harus ikut kami sebentar untuk memastikan kebenaran dari identitas jasad yang kami temukan di lokasi kejadian,” ujar Calvin hati-hati. Sarah berhenti sesenggukan sejenak. Ia menoleh sedikit pada Calvin lantas mengusap air matanya dengan kasar. Sebelum ia benar-benar mengikuti langkah Calvin, ditengoknya sekali lagi putri kecilnya. Tubuhnya mulai lemah terkena pengaruh suntikan obat penenang di selang infus. Lalu perlahan demi perlahan dia tertidur cukup lelap. Sarah pun mulai berbalik menjauh seraya memberi anggukan isyarat kepada Calvin untuk segera menemui anggota keluarganya yang satu lagi. Kali ini, Sarah harus lebih siap. Karena yang akan dilihatnya sudah pasti jauh lebih memilukan dari yang sekarang. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD