Bab 4 - Sebuah Kebetulan

1101 Words
Sebuah pemandangan seonggok jasad yang terbaring di atas ranjang dengan seluruh tubuh tertutup kain putih langsung menyambut Sarah begitu pintu ruangan dibuka oleh Calvin. Rasanya seluruh tenaga yang masih bersisa di kaki jenjang Sarah untuk menopang berat tubuhnya seolah langsung terkuras habis begitu iris coklatnya menyaksikan pemandangan tersebut. Padahal Sarah belum mendekatinya, padahal Sarah belum memastikan sendiri apakah benar itu jasad Antony suaminya atau bukan. Tapi begini saja ia sudah merasa tidak sanggup untuk melanjutkan langkah. Ia takut ia tidak akan kuat jika benar ia akan menemukan wajah pria yang begitu dicintainya dibalik kain putih itu. Namun Sarah tidak diizinkan terpaku terlalu lama oleh Calvin. Sang inspektur polisi itu menepuk bahunya dua kali, isyarat supaya ia cepat masuk ke dalam. Sebetulnya Sarah ingin memakai, tetapi ia terlalu lemah untuk melakukan itu saat ini. Bagaimana bisa, berbicara saja ia hampir tidak mampu. Suara dan sekujur tubuhnya bergetar hebat menahan kerapuhan mental yang tinggal sedikit lagi akan pecah belah bahkan hancur lebur. Dengan langkah berat Sarah mulai berjalan masuk ke dalam ruangan. Fokusnya hanya tertuju pada benda besar tak bergerak di atas hospital bed. Di setiap satu kali langkahnya tak luput sebaris doa penuh harapan mengiring. Semoga saja para polisi salah orang saat mengidentifikasi jasad tersebut. Semoga saja itu bukan Antony. Tapi sekali lagi, harapan dan doa setulus apa pun tidak akan berguna di kala takdir sudah mengambil alih. Karena saat tangan bergetar Sarah bergerak membuka kain putih yang menutupi wajah jasad tersebut, benar wajah suaminya lah yang ia temukan di sana, dengan kondisi mengenaskan di mana bekas darah di sekujur tubuhnya masih menempel dan mengering. Bahkan tubuhnya masih mengenakan pakaian yang tadi sore menjadi saksi bisu kala ia memeluk hangat suaminya sambil merasakan aroma parfum teduh khasnya. Kini Sarah roboh. Ia jatuh sejatuh-jatuhnya, tubuhnya lemas tak terkira merasakan hancur yang bersumber dari relung hatinya. Sarah menggeleng histeris diiringi dengan teriakan sangkalan simbol dari ketidak terimaan atas musibah yang menyerang keluarga kecilnya. “Tidak ... Tidak mungkin!!!” Sarah berteriak kalut. “Kenapa ini harus terjadi pada keluargaku? Memangnya kami salah apa pada dunia sampai bencana seperti ini harus datang menimpa kami?!” Sarah terus menangis dan menangis tak terkira. Calvin yang menyaksikannya hanya bisa mematung di tempat tanpa berani ikut campur. Bahkan bergerak untuk menenangkan Sarah pun ia tidak lakukan. Karena itu bukan tugasnya selagi ia masih berperan menjadi polisi yang menangani kasus ini. “Suami Anda ditemukan tewas dengan luka tembak di belakang kepala. Ada beberapa memar di tubuhnya, serta luka bekas pukulan benda tumpul di sekitar kepala bagian kiri dan depan. Kemungkinan dia sempat bertengkar hebat dengan pelaku sebelum akhirnya tertembak.” Alih-alih menenangkan, yang Calvin lontarkan justru informasi yang membuat Sarah semakin histeris. Sebetulnya ia sebagai manusia merasa bersalah harus mengatakan itu kepada Sarah di saat seperti ini. Tapi ini sudah menjadi tugasnya. Ia dituntut untuk menjelaskan sedetail mungkin kepada pihak keluarga korban mengenai dugaan sementara maupun hasil hipotesis akhir. Sekali lagi, rasa belas kasihan harus ia kesampingkan terlebih dahulu selagi ia masih menjalankan peran sebagai seorang polisi. “Ya Tuhan, Antony ... kenapa hal seperti ini harus terjadi padamu? Padahal kau pria yang baik, kau juga ayah yang sangat dibanggakan oleh Michelle putri kita. Aku sungguh menyesal, Antony. Harusnya aku tidak usah pergi ke L.A. Harusnya aku tetap berada di samping kalian malam ini supaya musibah ini tidak terjadi. Ini semua salahku, ini salahku yang terlalu egois mementingkan pekerjaanku dibanding kalian keluargaku sendiri.” Sarah terus menangis dan menangis sambil memandangi wajah pucat Antony yang hanya bisa terbaring kaku di atas ranjang. Kali ini Calvin tergerak untuk sedikit membantu meringankan beban Sarah. Terus-terusan memandangi wajah suaminya pasti akan menoreh luka semakin dalam baginya. Maka dari itu Calvin berinisiatif untuk menutup kembali wajah Antony yang terpampang mengenaskan dengan kain putih yang semula membungkus tubuhnya. “Kami sedang melakukan penyelidikan ekstra untuk mencari dalang dibalik peristiwa ini. Tabahlah, Nyonya Brume. Kami pastikan kami akan menangkap pelaku secepat mungkin supaya dia bisa mendapat ganjaran setimpal atas apa yang telah dia lakukan terhadap suami dan putri Anda.” Mendengar itu, bukannya menenang Sarah justru emosi. Napasnya memburu buas, matanya mengilat marah menatap sang inspektur. Ia lantas berdiri tegak dan berjalan mendekati Calvin, dicengkeramnya kerah seragam pria itu dengan kasar. “Kenapa tidak sekarang saja kalian tangkap manusia biadab itu?” geram Sarah penuh emosi. “Kenapa kalian malah membiarkannya lolos begitu saja sementara suami dan putriku menderita di sini?!” “Mohon tenang, Nyonya Brume. Kami akan melakukan yang terbaik untuk menangkap pelaku. Kuharap Anda bersabar sampai saat itu tiba.” Calvin menanggapinya dengan tenang. “Bersabar katamu?!” sahut Sarah dingin. Ia lantas berteriak, “Mana bisa aku bersabar di saat suamiku tewas tertembak dan putriku menjadi korban pelecehan?! Asal kau tahu, saat ini aku menginginkan sang pelaku mati! Aku menginginkan kematian yang penuh penderitaan menimpanya!” Berkat teriakan itu beberapa petugas lain yang berjaga di luar berlarian masuk ke dalam untuk menarik Sarah dari tubuh Calvin. Namun sang inspektur memberi isyarat kalau ia bisa menangani masalah ini sendiri. Untungnya walaupun Sarah sedang dilanda emosi tak terkira, dia tetap punya adab untuk menghentikan keributan. Dilepasnya cengkeramannya dari kerah seragam Calvin, lantas ia kembali berjongkok lemah sambil menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ya, ia kembali menangis. Tangisan yang begitu pilu dan tak berkesudahan sampai para petugas dibuat bingung harus bagaimana. Di saat seperti ini, lagi-lagi sisi kemanusiaan dalam diri Calvin ingin turut berlakon menjadi sosok penenang bagi Sarah. Walaupun mereka tidak saling mengenal satu sama lain, setidaknya Calvin ingin memberi penegasan padanya bahwa dia tidak sendirian menghadapi bencana ini. Ada Calvin yang siap membantunya semaksimal yang ia bisa. Tapi tentu saja pada akhirnya Calvin tetap bertahan sebagai penonton. Menyaksikan Sarah terus menangis pilu sampai ada seseorang lain datang dengan setengah berlari masuk ke dalam ruangan lantas memeluk Sarah begitu eratnya. “Sarah!” Wanita itu memanggil nama Sarah dengan nada yang terdengar terkejut, sedih sekaligus prihatin. Melihat kerabatnya datang, tangis Sarah bukannya mereda justru semakin menjadi. Dia menangis dalam pelukan wanita itu, membagi segala rasa hancur yang sedari tadi ia pikul seorang diri kepadanya. Sekarang Calvin agak lega. Setidaknya kini Sarah tidak sendirian lagi. Ada orang lain yang mendampinginya supaya ia bisa tetap berdiri tegar menghadapi musibah yang menimpa keluarga kecilnya. Namun ada satu hal mengejutkan yang baru Calvin sadari setelah beberapa menit menyaksikan mereka berpelukan. Wanita kerabat Sarah yang barusan datang itu, sepertinya ia mengenalnya. Calvin pun memastikannya sekali lagi. Dan sepertinya benar, bahwa wanita itu adalah Ellisa Abigail Kim, atau yang beberapa tahun lalu masih menyandang nama Reagen di belakang namanya. Ya, dia adalah sepupunya dari pihak ayah. Dan dia sedekat itu dengan Sarah? Kebetulan macam apa ini? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD