Bab 02 Bekas Luka

2536 Words
Banner discount 50% all item yang terpampang di window display salah satu store di sebuah mal terbesar di ibukota itu cukup menarik para penggila belanja untuk mampir sekalipun tidak membeli. Mereka, umumnya para wanita matanya akan berubah hijau setiap kali melihat iming-iming potongan harga untuk apapun barangnya, terlebih pakaian. DoubleD, adalah nama toko sekaligus merek fashion milik salah seorang designer muda berbakat. Tak heran jika setiap harinya butik itu selalu ramai oleh para pembeli yang umumnya dari kalangan mahasiswa dan ibu rumah tangga muda. Mereka memiliki beberapa orang pegawai yang ditugaskan menjadi dua shift. Karena pemiliknya masih berusia 20 tahunan, konsep toko pun menyesuaikan, begitu pun juga dengan para pegawai yang rata-rata usianya 19-25 tahun. Mereka cantik, tinggi, putih, dan langsing. Dengan fisik dan pengalamannya kerja di toko-toko sejenis, Sadin diterima kerja di sana sejak dua tahun terakhir. Seperti itulah kalau toko sedang ramai-ramainya. Sering kali Sadin sampai bingung harus melayani pelanghan yang mana karena biasanya mereka banyak bertanya ini dan itu. "Menurut Mbak ini bagusnya dikasih bawahan apa ya? Saya suka sih, tapi kok bingung ya." Dengan memasang senyum seramah yang bisa dibuatnya dalam suasana hati buruk ditambah tubuhnya lelah, Sadin menjawab dengan penuh perhatian. "Ini diberi celana kulot seperempat bagus kok, Mbak. Sepertinya cocok juga di badan Mbaknya." Sadin menunjukkan model pakaian yang disebutkan. Gadis muda berambut pendek itu tampak berpikir keras. "Ehmm... enggak jadi, deh. Disini enggak ada yang cocok buat saya." Gadis itu meletakkan kembali baju pilihannya di gantungan, lalu berbalik menjauh. Sadin masih memperhatikannya dengan rasa gemas saat gadis itu masih berkeliling toko padahal bilang di sini tidak ada yang cocok dengannya. "Bilang aja emang nggak niat beli." Sadin masih butuh pekerjaan ini, makanya ia hanya menyuarakan itu dalam hati. Selama dua tahun bekerja di sini, sudah tak terhitung lagi berapa kali Sadin menghadapi jenis pembeli seperti itu. Tapi entah mengapa ia tak pernah terbiasa, dan selalu kesal dibuatnya. "Sadin... tolong sini,” panggil salah seorang rekannya yang kerepotan sementara Sadin bengong ditengah keramaian. Mendesah lelah, Sadin pun menghampirinya dan membatu meng-handle pembeli-pembeli menyebalkan lain. Nyatanya strategi potongan harga memang cukup ampuh menarik minat pembeli. Terbukti hanya beberapa jam saja, beberapa model sudah terjual habis sehingga banner pun dicabut. Berkurangnya pembeli, tak lantas membuat Sadin bisa beristirahat karena gantungan-gantungan kosong harus diisi barang baru. disela-sela melayani pembeli, Sadin dan tiga rekannya menata barang. Saat Sadin sedang melipat tumpukan t-shirt, seseorang menepuk punggungnya. "Jam kamu udah habis, sana balik." Seorang rekan berpakaian sama mengingatkan. Sadin melirik jam tanga mungil di perngelangan tangannya sekilas. Benar, sudah jam empat sore. Menghembuskan napas lega, Sadin menegakkan tubuhnya. "Hari ini ramai banget, aku sampai nggak nyadar udah jam empat saja" "Ya sudah, pulang sana. Wajah kamu memang kelihatan capek, sih,” jawab gadis ber-badge name Ayu itu. Ayu bertugas pada shift kedua. Sadin melempar senyum, lalu berjalan ke ruang ganti bersama dengan ketiga temannya yang lain. "Eh, makan dulu yuk..." ajak Laura, si gadis berambut hitam panjang sepinggang. "Yuk, ada cafe lucu baru di depan. Ke sana aja gimana?" Ajakannya langsung disambut Kinan dengan antusias. Maklum saja, mereka adalah anak-anak muda yang tidak tahu berapa harga beras sekilo, cabe keriting, dan tempe. Harga gas LPG, listrik, apalagi sewa rumah. Mereka masih anak kecil yang bahkan terkadang masih minta Ayah mereka uang jajan tambahan. Kinan kemudian menoleh pada Sadin yang sedang memakai jaket. "Sadin pasti nggak mau, deh." Sadin tersenyum tipis. "Bahkan buat ganti baju saja aku nggak ada waktu. Next time ya." jawabnya, lalu merah tas dan pergi dengan meninggalkan basa basi pamit. "Kayaknya dari dulu next time mulu tiap diajak keluar." Kinan melipat tangan didada. "Menurut kamu, Ra. Sadin ngerti arti next time nggak sih? Apa menurut dia arti next time itu enggak mau, ya?” "Ya, namanya juga ibu-ibu." *** "Ihh... ini kan punya aku." "Iya, aku cuma pinjam doang. Icha pelit ih." "Biarin, wekk..." Anak kecil berkuncir dua itu menjulurkan lidah mengejek pada anak kecil lain yang rambut lurusnya dibiarkan tergerai dengan poni dijepit ke samping menggunakan jepitan bentuk strawberry lucu yang dibelikan bundanya saat mereka jalan-jalan minggu lalu. Gadis cilik itu menekuk wajahnya kecewa karena Icha tak mau bermain dan berbagi mainan dengannya. Kata Icha, Icha tidak mau bermain dengannya karena ia tak punya mainan dan hanya selalu pinjam mainan Icha yang bagus dan mahal. Sedangkan satu-satunya mainan yang dimiliki gadis itu hanya lah sebuah boneka Barbie model lama yang beberapa rambutnya sudah rontok dan pakaiannya tak pernah ganti. Kulitnya kecokelatan karena terlalu sering disentuh dan jatuh. Gadis itu lantas mengedarkan pandang, mencari orang lain yang bisa diajaknya bermain selagi menunggu Bunda menjemputnya sepulang dari kerja. Senyum gadis cilik itu mengembang saat melihat seorang anak lelaki asik bermain robot seorang diri. Gadis itu menghampirinya. "Leo, Mika boleh ikut main, nggak?" Leo menatapnya sekilas. "Kamu kan cewek." "Terus kenapa? aku juga suka main robot." Bohong, Padahal bocah itu hanya menyukai boneka yang bisa didandani. Leo menggeleng tegas. "Enggak mau, aku nggak mau main sana anak cewek." Leo menghentakkan kakinya lalu meninggalkan Mika. "Yaa... " Mika bergumam kecewa. Gadis cilik berusia 5 tahun itu mendudukkan tubuhnya lemah. Tak ada yang ingin dilakukannya lagi sekarang, selain berdoa agar bundanya segera pulang kerja dan menjemputnya dari tempat penitipan anak ini. Dalam diamnya, Mika berandai-andai. Jika saja ia punya boneka Barbie keluaran terbaru seperti milik Icha, pasti banyak teman yang mengajaknya bermain dan ia tak akan dijauhi seperti ini. Mika akan minta pada bunda setelah ini. "Mikayla..." Suara salah satu penjaga tempat penitipan anak, membangunkan Mika dari khayalannya. "Bunda kamu sudah jemput di luar." Mika berjalan lemah ke arah pintu keluar di mana Bu Laras berada. Bu Laras membantunya memakai sepatu, jaket, dan tas ransel bergambar Hello Kitty kesukaan di punggungnya. Mika tak seceria saat pagi tadi ia datang. Di ruang tunggu, tampak Sadin dengan masih memakai helm di kepalanya menyambut Mika dengan senyuman dan rentangan tangan. Sekilas saja Sadin sudah tahu putri kecilnya itu sedang bersedih. Sadin berjongkok, dan memeluk tubuh kecil Mika. "Mika pasti capek banget habis main ya? Kok lemes, sih." Mika mengurai pelukannya, "Mika nggak banyak main, Bun. Sejak bangun tidur siang, Mika nggak main sama sekali." "Kenapa begitu, sayang?" "Temen-teman nggak ada yang mau main sama Mika, mereka bilang karena Mika nggak punya boneka Barbie seperti punya mereka. Terus jadinya mereka bilang Mika nggak bisa main sama mereka." "Mika kan sudah punya boneka Barbie." Mika mengangkat bonekanya, lalu menjatuhkannya ke lantai. "Mika," tegur Sadin lantas memungut boneka hasil jerih payahnya. "Bonekanya kenapa dibuang?" "Karena boneka itu jelek sekali, Bunda. Lihat, rambutnya botak, terus bajunya jelek karena Bunda nggak pernah belikan baju. Dan kulit barbienya udah nggak putih lagi. Barbie itu kulitnya putih, Bun. Rambutnya panjang warna kuning. Bajunya banyak, bagus-bagus." Sadin menatap miris boneka itu, benar semua yang dikatakan Mika. Itu sekaligus menyadarkannya, bahwa sebagai seorang ibu ia belum bisa membahagiakan Mika karena untuk hal sesederhana ini saja, Sadin belum bisa memenuhinya. "Ya sudah, nanti kalau Bunda udah gajian, kita beli Barbie baru, ya?" "Beneran?" Sadin mengangguk sambil mengulum senyum lembut. "Janji ya, Bun." Mika mewanti-wanti. Sadin menangguk sekali lagi, lalu Mika berjingkrak senang. "Horee... " Rasanya lapang sekali saat melihat senyuman Mika, seolah seluruh beban hidup sekarang maupun masa lalu, terhapus untuk sesaat. Sadin mengecup pipi Mika sayang. "Ayo kita pulang, Bunda tadi beli ayam goreng tepung buat kamu. Mika suka, kan? "Suka banget, Bunda. Yang sayap, kan?” Sadin tertawa kecil. “Iya, bagian sayap.” *** Motor matic yang dikendarai Sadin memasuki sebuah gang sempit, lalu berhenti di depan sebuah rumah tanpa gerbang. Tampak depan rumah itu sangat kecil, sederhana, dan tak berwarna. Sadin memarkirkan motornya di teras, lalu membantu memegangi Mika untuk turun dari boncengan. "Bunda, ayo buka pintunya. Mika mau makan." "Kamu pasti lapar benget ya? Tapi kita mandi dulu, Sayang.” "Ah, Bunda nggak asyik,” rajuk Mika menggembungkan pipi sementara Sadin sibuk membuka kunci rumah. Keadaan di dalam rumah pun sama sederhananya. Di rumah kontrakan ini lah selama tiga tahun Sadin dan Mika tinggal. Terdiri dari dua kamar tidur, satu kamar mandi, dan satu ruang tamu yang lebih cocok disebut ruang serbaguna karena mereka makan, nonton tv, dan Mika belajar juga di sana. Usai mandi dan ganti baju, Sadin mengeluarkan kotak tempat ayam gorengnya. Saat pulang tadi Sadin mampir ke salah satu outlet jagonya ayam di lantai dasar mal. Mika senang sekali dengan ayam goreng mereka. Entahlah, sepertinya Sadin tak pernah memberi Mika makanan lebih baik dari ini. "Wah... Mika yang sayap ya, Bun." Mika mencomot lebih dulu bagian kesukaannya. Dibandingkan kebanyakan orang yang menyukai bagian paha, Mika lebih memilih sayap. Mirip seperti seorang lelaki yang mewariskan mata kecokelatan itu. Mengingatnya Sadin selalu sedih dan kesakitan dalam waktu bersamaan. Bertahun-tahun lalu lelaki itu telah menggoreskan luka, namun rasa dan bekasnya masih terasa seperti baru kemarin Sadin mengalaminya. "Pakai nasi, Mika." Peringat Sadin. Mika nyengir dan menyuapkan nasi ke mulutnya banyak-banyak. "Bunda nggak makan?" Mika melihat Sadin melamun. Sadin sedang berpikir tentang luka yang ditinggalkan lelaki itu, apakah berada di dalam hatinya berupa segala kenangan yang ada, atau malah Mika. Sadin menarik napas panjang, tak mau memikirkannya lagi. "Bunda makan." Tapi bukannya meraih makanannya, Sadin malah mengambil remot tv cembung berukuran 14 inch milik mereka. TV bekas yang diberikan oleh sang pemilik kontrakan. "Kartun Bun... kartun... " Mika berseru antusias. Sadin tersenyum kecil. "Mana ada kartun di jam segini, Mik. Nonton berita aja, ya." Ya, karena mereka tak memakai jaringan tv kabel, mereka harus puas dengan pilihan chanel yang terbatas. Sadin memilih-milih tontonan diantara 12 chanel tv nasional. Jempol tangannya mendadak kaku disalah satu channel. Saluran itu tak sejernih saluran lainnya. Tapi cukup bagi Sadin memindai untuk mengenali wajah para mengisi acara talkshow itu. Di layar kaca, ada seorang lelaki paruh baya berkepala plontos yang merupakan sang pembawa acara dan lelaki lain yang lebih muda duduk di kursi bintang tamu adalah narasumber. Sadin memfokuskan tatapannya lama pada lelaki muda itu. Tidak, Sadin tidak mungkin salah mengenali wajah orang, apalagi seseorang itu tidak pernah luput dari pikirannya selama enam tahun terakhir. RAHASIA SUKSES ARSITEK MUDA INDONESIA DUTA TARUNA ALEXANDER arsitek Tanpa sadar pandangan Sadin mulai mengabur oleh air mata. Sadin ingin menangis antara lega dan benci. Duta sudah sukses, dia berhasil mewujudkan cita-citanya menjadi arsitek hebat. Enam tahun, adalah waktu yang cukup bagi Duta menjadi lelaki dewasa yang di layar TV buram sekali pun tetap tampak gagah dan berkarisma. Sadin bisa membayangkan kehidupan macam apa yang dijalani Duta sekarang. Bebas, penuh sanjung hormat, dan bergelimang harta. Sementara dirinya? Harus mengubur cita-cita dan ditinggalkan semua orang. Satu-satunya yang dimiliki Sadin hanya Mikayla, anaknya. Layar tiba - tiba berganti tayangan, Sadin tak sadar Mika merebut remot ditangannya dan menggantinya. "Bunda ih bikin mata Mika sakit, gambar burem kok ditonton." Dan loloslah satu air mata itu, buru-buru Sadin menghapusnya agar tak sampai terlihat oleh Mika. Biar lah luka ini dirasakannya seorang diri. Sadin membelai rambut Mika sayang, dan mencium puncak kepalanya lama. Menitipkan berbagai doa untuk dirinya dan Mika. Untuk kehidupan mereka yang lebih baik. Sekaligus untuk meyakinkan diri sendiri bahwa luka itu bukan Mika. Luka itu adalah Duta, di dalam hatinya. Mika adalah anugerah tanpa peduli bagaimana dia ada. Mika bukan kebodohan, bukan juga kesalahan. Mika adalah paket kebahagiaan yang Tuhan kirimkan dengan cara terjal. Seperti halnya menelusuri goa mencari menemukan cahaya. Meniti bebatuan terjal, akan mengantarkan pada lembah duplikat surga. Buktinya, salah satu malaikat ada di sampungnya sekarang. *** Seorang wanita paruh baya berhijab dengan sanggul besar di dalamnya mengecup pipi Duta kanan kiri, berganti dengan seorang lelaki tua berbaju batik lengan panjang menepuk pundak Duta penuh rasa bangga. Malam itu, Duta kembali membuat mereka bangga untuk ke sekian kalinya. Kali ini dengan Duta diundang di salah satu talkshow paling populer di Indonesia yang banyak mendatangkan tokoh-tokoh hebat dan inspiratif dari berbagau kalangan. Kehadiran Duta dan kisah suksesnya mendapat sambutan sangat luar biasa. Prestasi Duta membuatnya dikenal sebagai sosok inspiratif di usianya yang masih terbilang sangat muda. "Ayo kita pulang,” ajak Mama yang masih bergelayut dilengan Duta. "Mama sama Papa pulang duluan saja, aku ada janji sama teman-teman." "Apa janjinya tidak bisa besok saja? Ayolah, sayang. Ini kan—“ "Ma." Sela Duta. Papa meraih tangan Mama dan menggandengnya. "Sudahlah, Ma. Duta juga pasti kangen  teman-temannya.” Mama terpaksa berpisah dengan Duta di sana, padahal Mama masih belum puas melepas rindu dengan sang putra tunggal yang selama 6 tahun terakhir seolah-olah memusuhi negaranya sendiri dengan tidak mau pulang sama sekali. Sehingga terpaksa Mama dan Papa yang mengunjunginya ke Amerika setahun sekali. Dari studio salah satu stasiun TV itu, Duta langsung bergerak menuju sebuah kafe yang sering menjadi tempatnya nongkrong dulu semasa SMA bersama teman-temannya. Kafe itu tidak banyak berubah, nuansanya masih sama seperti dulu. Hanya beberapa ornamen baru yang ditambahkan, juga semakin ramai tentunya. Duta mengedarkan pandang, mencari teman-teman yang katanya sudah menunggu sejak beberapa waktu lalu. Senyumnya mengembang saat melihat segerombolan pemuda yang terdiri dari 4 pria dan 2 perempuan itu melambai padanya. Keenam temannya terlihat berubah, tak lagi bocah ingusan seperti dulu. Ada yang masih bergelut dengan skripsinya, ada yang sudah magang di perusahaan besar, menjadi guru, dan membuka usaha sendiri. Duta senang berteman dengan mereka. Para anak muda yang memiliki ambisi dan cita-cita, sama seperti dirinya. Karena cita-cita itulah yang membuatnya bisa berada di titik ini. Duta berhasil menjadi salah seorang arsitek muda yang memenangkan sebuah kompetisi design araitektur tingkat internasional di saat ia masih duduk di tahun awal perkuliahan. Keberhasilannya itu membuatnya dilirik oleh salah seorang arsitek terkenal di Amerika. Pengalaman yang diperolehnya selama beberapa tahun, membuat Duta percaya diri untuk menerima tawaran membangun sebuah gedung pertunjukan yang banak menuai decak kagum. Menyadari kalau ia harus berbuat untuk bangsa dengan bakat yang dimilikinya, Duta memutuskan kembali ke tanah air. Terlebih Duta merasa sudah cukup lama ia melarikan diri. Ia sudah cukup sukses sekarang, setidaknya ia tak punya alasan untuk menyesal sudah melepaskan Sadin karena ia mendapatkan pencapaian lebih besar. "Maaf, terlambat." Duta menarik satu kursi kosong. "Ngerti kok, yang baru saja syuting." Duta hanya tertawa kecil mendengar teman-temannya sahut menyahut menggoda dirinya  Duta, Andrew, Dion, Ilham, Renata, Vella, dan Sadin adalah satu geng di SMA dulu. Mereka selalu bersama, dan solidaritas mereka teruji. Duta menatap satu per satu temannya, ada satu kursi kosong yang harusnya diisi oleh Sadin.  Sadin tidak datang. Lebih tepatnya, tidak ada yang bisa menghubugi untuk memintanya datang. Menurut teman-temannya, Sadin seperti hilang ditelan bumi, keberadaannya tidak ada yang mengetahui. "Hmm... jadi ingat Sadin ya dimomen kita ngumpul-ngumpul kayak gini." gumam Vella seolah seolah bisa membaca pikiran Duta. "Kamu beneran nggak pernah kontak dia sejak kalian putus, Ta?" tanya Dion pada Duta yang belum apa-apa sudah menghela napas, lalu menggeleng lemah. "Aku heran ke mana perginya anak itu, keluarganya juga sangat tertutup soal dia." Tidak pernah. Sejak hari itu Duta tidak pernah menghubungi Sadin lagi. Seluruh kontak yang dimiliki pun langsung ia hapus. Maksud hati ingin menghapus jejak Sadin. Bisa. Jejak keberadaannya memang terhapus seluruhnya. Tapi bagaimana dengan jejak kenangan? Tidak bisa dihapus ternyata. "Sudahlah, mungkin sekarang Sadin sudah bahagia dengan kehidupannya. Mungkin saja sekarang dia sudah menjadi designer seperti cita-citanya." "Tapi tetap saja aku kangen Sadin, kangen kita bully dia karena suka loading lama." "Semoga takdir mempertemukan kita lagi." Amin, harap Duta bersungguh-sungguh. Duta hanya bisa tersenyum miris selama teman-temannya membicarakan Sadin. Di antara mereka semua, Duta berani bertaruh bahwa rindunya paling besar. Sungguh Duta tersiksa dengan rindu ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD