Chapter 2

1432 Words
Aroma kopi macchiato yang mengalir dari mesin kopi ke dalam gelas mulai menguar di seluruh sisi sebuah apartemen di kawasan elit kota Jakarta. Seorang pria shirtless dan hanya memakai celana pendek lalu datang dan mengambil kopi tersebut tepat setelah tetes terakhir masuk ke dalam gelas. Berjalan menuju balkon apartemennya, menyanggah sebelah tangannya di atas pagar pembatas, kemudian meminum kopi tersebut seraya memandangi jalanan kota Jakarta yang masih sepi pagi ini. Ia lalu menghirup udara segar pagi hari yang sangat sejuk tanpa polusi. Danish Arsakha Vinendra. Pria berusia tiga puluh dua tahun yang berprofesi sebagai dosen di sebuah kampus swasta di Jakarta. Pria tampan nan berkarisma tinggi hingga mampu membuat hati para wanita meleleh hanya dengan melihat wajah tampannya. Meski ia dingin dan cuek, tapi tak sedikit wanita yang pantang menyerah untuk mendapatkan hatinya yang beku. Seusai menikmati kopi paginya, Danish masuk kembali, meletakkan gelas kosongnya ke dalam dishwasher dan membiarkan alat itu bekerja secara otomatis. Setelahnya, Danish beranjak dari sana untuk bersiap-siap pergi ke kampus karena ia memiliki kelas pagi hari ini. Setengah jam kemudian, Danish telah rapi dengan kemeja dan celana hitam, pantofel hitam, serta tas kerja yang berada di tangan kanannya dan kunci mobil di tangan kirinya. Bip!                                Alarm mobil Danish berbunyi ketika pria itu menekan tombol pada kunci mobilnya untuk membuka mobil tersebut. Setelah terbuka, Danish masuk ke dalam lalu melajukan mobilnya menuju kampus yang menjadi tempatnya bekerja. Universitas Jakarta. -------                            “Selamat pagi, Pak Danish” “Selamat pagi, Mr. Danish” “Selamat pagi, Pak” “Good Morning, Sir” “Good Morning, Mr.” “Pagi, Pak”                  “Selamat pagi, Sir” Itulah sapaan-sapaan yang Danish terima dari beberapa dosen wanita dan mahasiswi yang berpapasan dengannya pagi ini. Sementara respon Danish hanya tersenyum tipis seraya menganggukkan pelan kepalanya. Meski begitu, respon Danish yang terkesan cuek itu sukses membuat para dosen dan mahasiswi tersebut kegirangan. Menutup pintu ruangannya, meletakkan tas di atas meja, duduk di kursinya, mengambil beberapa kertas yang menumpuk di atas meja, dan mulai memeriksanya satu per satu. Itulah yang pertama kali Danish lakukan ketika sampai di ruangannya. Kelasnya akan dimulai setengah jam lagi, jadi ia memutuskan untuk memeriksa lembar ujian dari para mahasiswa lebih dulu untuk menghabiskan waktunya. Tok... Tok... Tok... “Silakan masuk” Pinta Danish. Tak lama kemudian, pintu ruangan Danish terbuka dan seorang wanita cantik masuk ke dalam dengan sebuah paperbag di tangan kanannya. “Pak Danish” Sapa wanita tersebut dengan senyuman lebar. “Iya? Ada yang bisa saya bantu, Bu Siska?” Tanya Danish. “Mmm... Ini, Pak” Ucap wanita bernama Siska tersebut sembari meletakkan paperbag yang tadi ia bawa di atas meja Danish. “Sarapan untuk, Bapak. Saya sendiri yang buat” Lanjutnya seraya menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. “Terima kasih. Saya terima niat baik, Ibu. Tapi, maaf. Saya sudah sarapan” Tolak Danish. “Kalau begitu untuk makan siang saja, Pak” Ucap Siska. “Tempat bekalnya boleh dikembalikan kapan-kapan ‘kok, Pak. Saya permisi dulu” Pamitnya kemudian keluar dari ruangan Danish. Sepeninggal Siska, Danish menatap paperbag yang dibawa oleh Siska kemudian menghela nafas. Siska memang kerap kali membawakannya sarapan pagi yang selalu ia tolak dengan alasan yang sama. Ia menolak karena ia memang sudah sarapan sebelum berangkat ke kampus. Dan lagi, ia juga tidak memakan makanan yang dimasakkan oleh orang lain. Ia tipikal pria yang harus mengetahui asal-usul makanan tersebut agar bisa tercerna dengan baik di perutnya. Dan jika sudah seperti ini, Danish hanya bisa menambah dosa. Karena pada akhirnya, makanan tersebut hanya akan berakhir di tempat sampah tanpa ia sentuh sama sekali. Seperti sebelum-sebelumnya. -------                          Akhirnya, setelah memberikan materi kepada mahasiswa selama dua jam, kelas Danish pun selesai. Meski terdapat beberapa perdebatan di dalam kelasnya. Tapi itu hal yang wajar antara mahasiswa ke mahasiswa lain mau pun ke dosen, ‘kan? “Pak Danish!” Panggilan itu sukses menghentikan langkah Danish yang baru saja keluar dari kelas. “Pak Danish” Panggil orang itu lagi ketika berada di samping Danish. “Ada apa, Pak Jaya?” Tanya Danish. “Malam ini Bu Indri mengadakan pesta untuk merayakan kehamilan pertamanya. Apa Pak Danish akan datang?” Tanya pria bernama Jaya tersebut, seorang dosen kimia. “Maaf, Pak. Saya tidak bisa. Masih ada hal lain yang harus saya kerjakan malam ini” Tolak Danish berbohong. “Urusan apa, Pak? Kalau boleh ditunda, tunda saja dulu. Bapak ‘kan tidak pernah datang setiap ada pesta atau acara seperti ini. Sekali-sekali luangkanlah waktu untuk datang” Ucap Pak Jaya. “Maaf, Pak. Tapi saya benar-benar tidak bisa datang” Tolak Danish membuat Jaya menghela nafas. “Kenapa susah sekali mengajak Bapak untuk datang? Padahal pestanya pasti akan lebih ramai kalau Bapak hadir” Ujar Jaya. “Baiklah, kalau Pak Danish tidak bisa. Saya juga tidak bisa memaksa” Lanjutnya. Jaya lalu beranjak dari sana setelah pamit pada Danish yang masih terdiam di tempatnya memikirkan sesuatu. Berselang beberapa menit, Danish juga beranjak dari sana. Naasnya, baru saja ia melangkah, seseorang menabraknya dari belakang hingga buku-buku yang orang itu bawa berjatuhan di lantai. Sementara Danish hampir terjatuh dengan posisi tengkurap jika ia tidak menjaga keseimbangan tubuhnya. “Aduh, maaf Pak, maaf. Saya tidak sengaja” Ucap gadis tersebut kemudian mulai mengumpulkan buku-buku yang masih berserakan di lantai. Dan gadis itu adalah Savannah. Danish yang melihat Savannah kesusahan pun akhirnya berjongkok, lalu mulai membantu Savannah mengumpulkan buku-buku gadis itu yang jatuh. “Tidak perlu, Pak. Saya bisa sendiri” Cegah Savannah, melarang Danish untuk membantunya. Karena ia pikir, menabrak Danish adalah kesalahannya. Terlebih, Danish adalah seorang dosen. Namun, bukannya menuruti ucapan Savannah, Danish terus mengumpulkan buku tersebut hingga semuanya menumpuk menjadi satu tumpukan buku yang lumayan tinggi. “Terima kasih, Pak” Ucap Savannah tulus seraya berdiri dengan setumpuk buku di kedua tangannya hingga menghalangi pandangannya. Dan itulah yang membuat Savannah bisa menabrak Danish. “Lain kali, jangan bawa buku sebanyak ini sendirian. Minta tolonglah pada temanmu” Ucap Danish kemudian beranjak dari sana membuat gadis tadi terdiam. “Baik. Sekali lagi terima kasih, Pak” Balas Savannah. Meski Danish telah beranjak dari sana, tapi ia yakin kalau pria itu masih bisa mendengar ucapannya. -------                          Sesampainya Danish di ruangannya, ia langsung duduk di kursinya dan mulai membereskan kertas-kertas yang berserakan di atas mejanya. Sesekali melihat jam tangannya yang kini telah menunjukkan pukul dua belas. Itu artinya, sekarang adalah waktunya makan siang. Selesai membereskan mejanya, Danish kembali berdiri dan keluar dari ruangannya menuju parkiran. Masuk ke dalam mobil, lalu mulai melajukannya ke sebuah restoran untuk makan siang. Semuanya ia lakukan dengan tergesa-gesa. Makan pun ia lakukan dengan cepat hingga terlihat seperti ia tak menikmati makan siangnya. Seusai makan siang, Danish kembali melajukan mobilnya membelah jalanan kota Jakarta yang saat ini mulai sepi karena jam makan siang telah selesai. Beberapa saat kemudian, Danish akhirnya sampai di sebuah tempat yang sangat sepi. Saat Danish masuk ke kawasan tempat tersebut, beberapa orang keluar dari sana. Menghiraukan orang-orang tersebut, Danish terus melanjutkan langkahnya hingga ia tiba di sebuah makam. Ya, tempat yang Danish datangi saat ini adalah tempat peristirahatan bagi orang-orang yang lebih dulu meninggalkan dunia. Danish memandang makam yang kini berada di hadapannya sebelum duduk di sisi makam tersebut. Itulah yang biasa Danish lakukan jika ia tak memiliki jadwal mengajar setelah jam makan siang. Ia akan datang ke makam tersebut dan mulai membicarakan hal-hal sepele di depan makam itu. “Aku datang” Ucap Danish dengan senyuman di wajahnya. “Bagaimana keadaanmu hari ini? Apa kamu baik-baik saja di sana? Kamu sudah makan siang?” Tanya Danish dengan pertanyaan beruntun. “Aku? Tentu saja aku sudah makan. Aku tidak ingin membuatmu mengomel lagi hari ini” Ucap Danish kemudian terkekeh. “Apa? Bagaimana hariku hari ini?” Tanya Danish. “Sama seperti biasa. Tidak ada yang spesial sejak kamu pergi. Semuanya sama” Lanjutnya. “Oh, iya. Aku baru ingat” Seru Danish. “Hari ini, ada seorang mahasiswi yang menabrakku dari belakang. Aku hampir saja terjatuh ke depan jika aku tidak menjaga keseimbangan tubuhku” Lanjutnya. “Dan kamu tahu kenapa dia bisa menabrakku? Itu karena dia membawa tumpukan buku yang lumayan banyak sampai menghalangi pandangannya. Persis seperti kamu saat kita pertama kali bertemu, ‘kan?” Sambung Danish kemudian terkekeh. Beberapa saat setelahnya, Danish terdiam. Menyentuh makam tersebut, menatapnya dengan tatapan sendu. “Aku merindukanmu” Gumam Danish menunduk dengan mata yang berkaca-kaca. “Harusnya aku tidak boleh menangis, ‘kan?” Tanya Danish. “Tapi aku harus bagaimana? Aku terlalu merindukanmu” Ucapnya lagi bersamaan dengan air mata yang mengalir di wajahnya. Begitulah akhir dari perbincangan Danish siang ini. Perbincangan satu arah yang selalu berakhir sama dengan Danish yang menangis di sisi makam tersebut. -------                          Love you guys~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD