Chapter 3

1471 Words
“Hei” Panggil seorang gadis hingga membuat Savannah yang hendak ke kantin menghentikan langkahnya dan berbalik. “Savannah, ‘kan?” Tanya gadis tersebut. “Iya” Jawab Savannah seraya menganggukkan kepalanya. “Kita satu kelas. Namaku Tia Ariski Wijaya. Tadi aku tidak sempat menyapamu karena Bu Lena langsung menyuruhmu ke ruangannya” Ucap gadis bernama Tia tersebut. “Ah~ Salam kenal” Ujar Savannah tersenyum. “Kau mau ke kantin, ‘kan?” Tanya Tia yang diangguki oleh Savannah. “Sama. Kalau begitu, ayo” Ajaknya. “Iya” Ucap Savannah. Keduanya lalu beranjak dari sana menuju kantin. “Oh, iya. Karena tadi kau bilang kalau kau dipanggil Arletta, jadi aku akan memanggilmu Arletta. Ok?” Ujar Tia. “Ok” Jawab Savannah. “Sebenarnya terserah kau saja mau memanggilku apa. Tapi teman-temanku dulu lebih sering memanggilku Arletta” Lanjutnya. “Berarti selera mereka bagus karena Arletta sangat cocok untukmu” Ucap Tia membuat Savannah terkekeh. “Lalu, kenapa kau bisa pindah ke sini?” Tanyanya. “Ayahku dipindahtugaskan ke sini” Jawab Savannah. “Nasib kita sama. Sebelum kuliah di sini, aku tinggal di Bali. Tapi saat SMA, Ayahku dipindahtugaskan ke sini” Ucap Tia yang hanya dibalas anggukan oleh Savannah. “Kuliah kita selanjutnya masih dua jam lagi, kau ingin jalan-jalan setelah makan siang?” Tawar Tia. “Boleh” Jawab Savannah dengan senyuman lebarnya. Kebetulan, ia juga sangat ingin melihat seluas apa kampus yang ia tempati sekarang. Awalnya ia ragu untuk berkeliling sendiri karena takut nyasar dan tidak tahu jalan kembali. Tapi, untunglah Tia menawarkan hal itu padanya yang tentu saja akan ia terima dengan senang hati. Sesampainya di kantin, Savannah dan Tia langsung duduk di bagian tengah kantin yang masih kosong setelah Tia memesan makanan. Tak lama kemudian, pesanan Tia pun datang. “Kenapa kau tidak makan di kelas saja kalau bawa bekal?” Tanya Tia kemudian menyuapkan sepotong bakso ke dalam mulutnya. “Aku merasa tidak enak dengan teman-teman lain yang berada di kelas. Bagaimana bisa kau makan seorang diri, tapi mereka tidak?” Jawab Savannah. “Wah~ Kau sampai memerhatikan itu. Betapa mulianya hatimu” Ucap Tia. “Akan kuanggap itu sebagai pujian” Ujar Savannah membuat Tia terkekeh. “Kalau kau butuh sesuatu atau ada yang ingin kau tanyakan, kau bisa bertanya padaku. Aku akan dengan senang hati membantumu” Ucap Tia. “Baiklah” Ujar Savannah. “Kalau begitu, apa aku boleh menanyakan pertanyaan pertama?” Tanya Savannah. “Silakan” Pinta Tia. “Siapa dosen terbaik di kampus ini? Ah, tidak. Cukup di jurusan kita saja” Tanya Savannah. “Dosen terbaik?” Tanya Tia memastikan yang dijawab anggukan oleh Savannah. “Hanya ada satu dosen terbaik di jurusan kita. Dan dia adalah Bu Lena” Lanjutnya. “Bu Lena? Tapi dia terlihat galak” Ujar Savannah. “Wajahnya memang terlihat galak dan kejam. Sikapnya juga sangat tegas, melebihi ketegasan tentara Indonesia. Tapi hatinya sangat lembut bagai kapas wajah. Dan yang paling penting adalah, dia tidak pelit dalam memberikan nilai” Ungkap Tia. “Jadi ini yang dikatakan, jangan nilai seseorang dari wajahnya saja” Gumam Savannah. “Exactly” Seru Tia. “Lalu, siapa dosen yang paling galak di sini?” Tanya Savannah. “Untuk predikat dosen tergalak sebenarnya hampir tidak ada. Karena tingkat kegalakan semua dosen hampir sama. Kebanyakan dari mereka hanya memiliki tingkat ketegasan yang lebih tinggi dari Bu Lena” Jawab Tia. “Syukurlah. Tadinya, kupikir aku akan berhadapan dengan dosen galak seperti di kampusku sebelumnya” Gumam Savannah. “Ah! Tapi ada satu dosen yang menurutku sangat unik” Seru Tia. “Unik? Baru kali ini aku mendengar ada yang memberikan predikat unik pada seorang dosen” Ujar Savannah. “Dengarkan dulu baru tentukan, apa dia unik atau tidak” Ucap Tia. “Baiklah-baiklah” Ujar Savannah. “Menurutku, dosen ini adalah dosen yang lain dari pada yang lain. Bukan hanya menurutku, tapi menurut semua mahasiswa yang ada di sini. Semua mahasiswa dan dosen bahkan mengenalnya, tidak ada yang tidak tahu dengan dosen ini. Dan julukannya adalah ‘Dosen 99’” Ucap Tia. “Dosen 99?” Tanya Savannah yang dibalas anggukan oleh Tia. “Dia dijuluki dosen 99 karena dia tidak pernah memberikan nilai sempurna pada mahasiswa manapun. Nilai tertinggi yang pernah dia berikan adalah 99. Walaupun semua jawabanmu benar, dia tetap tidak pernah memberikan nilai 100 padamu. Maka dari itu, tidak ada yang pernah mendapat nilai A pada mata kuliahnya” Tambah Tia. “Kenapa begitu? Walaupun tidak mendapat nilai sempurna, bukankah nilai 99 saja sudah cukup untuk mendapat nilai A?” Tanya Savannah. “Maka dari itu, dosen ini sangat unik dan dijuluki ‘Dosen 99’. Dan sampai sekarang, tidak ada satu pun yang mengetahui alasan kenapa dosen ini tidak pernah memberikan nilai sempurna. Tapi, aku yakin para dosen yang lain tahu alasannya. Hanya saja, mereka menutupi alasannya rapat-rapat agar tidak menjadi bahan gosip di kampus” Jawab Tia. “Oh, ya. Kudengar, terakhir kali dia memberikan nilai sempurna adalah tiga tahun lalu. Setelah itu, dia tidak pernah melakukannya lagi” Tambah Tia. “Sangat aneh” Gumam Savannah. “Aku juga berpikir seperti itu” Sahut Tia. “Tapi, ya. Karena fokus kita hanya untuk belajar, jadi lebih baik kita menghindari permainan detektif-detektifan” Ucap Tia. “Detektif?” Tanya Savannah. “Ingin mencari tahu alasannya misalnya” Ucap Tia. “Kau tenang saja, aku sama sekali tidak tertarik dengan alasannya” Ujar Savannah. “Baguslah” Ucap Tia. “Aku hanya merasa tertantang untuk mendapatkan nilai sempurna itu” Ujar Savannah. “Jangan berjuang untuk sesuatu yang akan berakhir dengan sia-sia” Ucap Tia. “Who knows?” Ujar Savannah seraya mengendikkan pundaknya. “Apa dosen 99 itu juga mengajar di kelas kita?” Tanyanya. “Tentu saja. Dia mengajar pelajaran wajib dan utama untuk fakultas kita. The one and only, Sastra Inggris” Jawab Tia. “Sastra Inggris?” Tanya Savannah yang diangguki oleh Tia. “Siapa dia? Pria atau wanita?” Tanyanya lagi. “Pria. Kalau melihatnya, kau pasti akan langsung jatuh cinta padanya” Ucap Tia. “Kau tahu julukanku sejak SMP?” Tanya Savannah. “Apa?” Tanya Tia balik. “Anti pria tampan” Jawab Savannah. “Sampai saat ini, tidak ada satu pria pun yang bisa membuatku jatuh cinta. Bahkan siswa most wanted sekaligus” Lanjutnya bangga. “Kau ingin membanggakan diri sendiri?” Sindir Tia. “Bukankah itu memang patut dibanggakan?” Tanya Savannah. “Tapi, aku yakin. Saat melihat dosen ini, kau pasti akan langsung menyukainya. Dia sangat-sangat tampan dan berkarisma. Walau dia tergolong pendiam, tapi penggemarnya sama sekali tidak berkurang dan malah bertambah setiap tahunnya” Jelas Tia. “Baiklah. Kita lihat saja nanti” Ucap Savannah. “Kalau kau benar-benar jatuh dalam pesonanya, bagaimana?” Tanya Tia. “Tidak mungkin. Karena tujuanku saat ini adalah mendapatkan nilai sempurna darinya” Ujar Savannah percaya diri. “Selain narsis, ternyata kau juga sangat keras kepala” Gumam Tia seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Sementara itu, di meja pojok kantin terdapat seorang pria yang sejak tadi memandangi Savannah sejak gadis itu masuk ke area kantin. Tatapannya pun tak pernah lepas dari gadis itu. Seperti yang ia lakukan saat di kelas tadi. Senyumnya terukir saat melihat Savannah tersenyum. Keningnya mengerut saat gadis itu sedang berbicara sesuatu yang terlihat serius. Ia juga ikut terkekeh saat melihat gadis itu tertawa. ------- “Mau sampai kapan kamu seperti ini, Danish? Sudah tiga tahun setelah peristiwa itu, tapi kamu masih tetap seperti ini” Ucap Lidia, Ibu Danish. “Usiamu sudah tidak muda lagi. Mama juga ingin segera menimang cucu” Lanjutnya. “Kalau Mama ingin menimang cucu, Mama bisa menikahkan Vivi lebih dulu” Ujar Danish acuh. “Usia Vivi masih muda, dia baru saja lulus kuliah, bagaimana bisa dia langsung menikah?” Tanya Lidia. “Lupakan dia dan carilah wanita baru. Dia sudah berada di alam sana. Dia pasti juga tidak akan tenang jika melihatmu seperti ini. Apa kamu lupa pesan terakhirnya padamu?” Lanjutnya. “Bagaimana bisa Mama berkata seperti itu di saat aku yang tidak bisa becus untuk menjaganya?” Sarkas Danish, menatap tak suka pada sang Ibu. “Kenapa kamu selalu menyalahkan dirimu atas peristiwa itu? Bukan salahmu kalau dia meninggal karena....” “Cukup!” Pinta Danish. “Aku sedang tidak ingin berdebat dengan Mama hari ini” Lanjutnya kemudian berdiri dari duduknya. “Aku lelah dan ingin istirahat. Mama boleh pergi kalau bosan di sini” Ucap Danish lalu beranjak dari sana. “Danish” Panggil Lidia yang dihiraukan oleh Danish hingga pria itu masuk ke dalam kamarnya. Danish yang kini telah berada di kamarnya pun melangkah menuju balkon yang menyuguhi pemandangan laut luas yang terbentang. “Maaf. Aku masih belum siap untuk melakukannya” Gumam Danish. “Tolong beri aku waktu sebentar lagi” Lanjutnya. -------      Love you guys~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD