Ia datang Melamar

1405 Words
Puas mengungkapkan segala kegalauan hati pada Banyu, Leandra segera mengucapkan terima kasih, dan membiarkan lelaki itu pulang. Mengingat ketiga anaknya di rumah tak ada yang menjaga. Leandra berdiam diri, berusaha tenang sampai ia merasa siap untuk pergi, dengan kembali mengenakan topeng. Topeng sok kuat yang digunakan sebagai tameng akan kerapuhannya. Ia menarik napas dalam, mengembuskannya perlahan. Memastikan tak ada lagi sisa air mata, kemudian beranjak, berjalan kembali menuju balai desa. Ia memeriksa proposal dari warga yang akan mengadakan acara pada tahun baru Islam, sembari menunggu waktu pulang yang tak lama lagi. Leandra meraba tengkuknya yang terasa seperti baru saja ditiup angin. Padahal itu tak mungkin, karena ia mengenakan jilbab. Leandra memeriksa kanan dan kiri. Siapa tahu ada yang sedang mengusilinya. Mengingat para perangkat desa yang sering memperlakukannya seperti gadis kecil, mereka sering menggoda dan usil padanya. Tapi di dalam sini sepi. Tak ada siapapun. Para perangkat semuanya adalah laki - laki kecuali dirinya. Mendekati jam pulang seperti ini, mereka semua lebih sering berada di kantin untuk merembug segala masalah yang harus deselesaikan terlebih dahulu dalam waktu dekat, sembari ngopi. "Kenapa, Le?" tanya salah satu pamong yang baru saja memasuki ruangan ini. Ia melenggang cepat menuju mejanya untuk mengambil tas. Leandra meletakkan proposal pada tempatnya kembali. Sudah tepat jam pulang, sepertinya ia harus segera bersiap - siap seperti apa yang dilakukan pamong itu. Karena perasaannya sangat tak enak. Ditambah kejadian aneh yang baru ia alami. "Kenapa, Le?" tanya pamong itu sekali lagi. Ia semakin terlihat khawatir dengan kelakuan Leandra yang tak seperti biasanya. "N - nggak apa - apa, Pak. Tadi aku ngelamun," bohong Leandra. Kalau ia jujur, ia takut akan menimbulkan desas - desus tak enak nanti. Atau jangan - jangan malah akan ada gosip tak mengenakan tentang dirinya sendiri. Leandra sudah trauma dengan anggapan orang - orang. Bukannya terbawa perasaan atau apa, tapi ia memang sudah terlalu sering berada dalam kondisi tertekan, akibat masalah yang sama. "Oh, bikin khawatir aja kamu! Bapak pikir kamu sakit. Ya sudah, sudah sore, ayo cepat pulang!". "Iya, Pak." *** Selepas sholat ashar, Leandra membantu Ibu menyiapkan makan malam. Leandra begitu piawai meracik bumbu - bumbu setiap masakan yang disajikan. Ia benar - benar sudah memenuhi kualifikasi seorang istri. Bisa dibilang, ia adalah calon istri idaman. Dalam satu hari, entah sudah yang ke berapa, Lendra terbawa perasaan begitu dalam. Ia sudah berikhtiar untuk bisa bertemu dengan jodohnya. Di antaranya mempersiapkan diri dengan belajar memasak sejak lama, meningkatkan taraf keimanan, dan juga menutup auratnya. Usahanya tak cukup sampai di situ, ia dan juga kedua orangtuanya kerap meminta tolong sanak saudara ataupun kerabat untuk dipertemukan dengan seseorang yang mereka kenal. Namun seperti kasus Hanung, semuanya selalu gagal. Beberapa orang mengatakan, mungkin dulu Leandra pernah menolak seorang lelaki. Sehingga lelaki itu merasa sakit hati. Ia tak akan rela Leandra menikah dengan lelaki lain. Akibatnya, ia pergi pada orang pintar untuk memagari Leandra. Dengan tujuan, setiap usaha taaruf yang dilakukannya selalu gagal. Leandra hanya bisa beristighfar tiap kali orang - orang mengatakan itu padanya. Leandra percaya, dengan semakin mendekatkan diri pada Tuhan, hal seperti itu tak mustahil untuk dipatahkan. Jodohnya memang belum datang. Ini sudah takdirnya. Begitu cara Leandra menenangkan sirinya sendiri. Supaya tak lagi lepas kontrol seperti tadi. Selepas menyiapkan makan malam, sembari menunggu Bapak pulang dari sawah, Leandra memutuskan untuk menyapu halaman terlebih dahulu. Suara srek - srek khas sapu korek menjadi irama pendamping. Wanita itu menyapu dengan tenang, sedikit menjadi healing atas segala yang sudah ia lalui seharian ini. Tapi ... Leandra kembali mengalaminya. Seperti ada seseorang yang baru saja meniup tengkuknya. Sapu korek itu terjatuh begitu saja ke tanah dengan malangnya. Karena kini, kedua tangan secara otomatis Leandra sibuk memegangi tengkuknya lagi. Ini aneh sekali. Saat pertama kali tadi, bisa jadi itu hanya perasaan Leandra saja. Tapi ini ... sudah dua kali! Tidak mungkin ini hanya perasaannya saja kan? Leandra segera memungut sapunya. Menyelesaikan menyapu halaman dengan cepat, kemudian berlari masuk ke rumah. *** Tak hanya hari itu. Hari - hari berikutnya, selain sering merasa bulu kuduknya merinding, Leandra juga merasa bahwa ia selalu diawasi. Namun ketika melihat ke sekitar, tak ada siapa pun. Leandra tak mengatakan perihal ini pada siapa pun. Ia hanya takut bahwa semua hanya perasaannya saja. Lagi pula sebelum - sebelumnya ia tak pernah mengalami hal seperti ini. Rasanya aneh saja jika tiba - tiba ia mengalaminya. Ia berusaha mengingat - ingat, apakah ia pernah tak sengaja mengganggu di suatu tempat. Sehingga para penghuninya marah, dan berbalik mengganggunya? Di dunia ini, manusia hidup berdampingan dengan makhluk Tuhan yang lain. Mereka ada di sekitar kita, meskipun kita tak dapat melihat mereka. Mereka sama seperti kita. Menjalani kehidupan sehari - hari, memiliki rumah, memiliki keluarga. Mereka juga memiliki perasaan. Seperti halnya manusia, mereka pasti akan merasa tak senang -- atau justru marah -- jika diganggu. Itu lah perlunya menjaga sikap demi kebaikan kelangsungan hidup berdampingan dengan sesama makhluk Tuhan. Harus saling menghormati satu sama lain. Dan pastinya tidak saling mengganggu. Leandra terus menerus berusaha mengingat. Apakah ada hal yang luput dari perhatiannya, sehingga ia tak sengaja telah mengganggu mereka? Leandra benar - benar lupa. Tak ingat sama sekali. Wanita itu mencoba mengurangi segala hal yang mengganggunya dengan cara memperbanyak dzikir dan berdoa. "Nduk, dicariin sama Banyu, tuh!" seru Ibu dari celah pintu kamar Leandra yang ia buka sedikit. Leandra mengernyit. Untuk apa Banyu ke mari? Tidak. Bukannya tidak boleh. Hanya saja, Banyu sudah sangat jarang main ke mari semenjak menikah. Makanya Leandra merasa aneh. Saat Leandra berjalan menuju ruang tamu, Banyu terlihat cengengesan. Ternyata Banyu tak sendirian. Ia datang bersama anak pertamanya, Langit. Leandra tak mau suudzon, tapi tingkah laku Banyu benar - benar mencurigakan. Leandra hapal betul dengan sikap sahabatnya ini. Tiap kali bertingkah seperti ini, ia pasti ada maunya. "Kenapa, Nyu?" tanya Leandra langsung pada inti. Ibu datang membawa secangkir the hangat untuk Banyu dan Langit. "Terima kasih, Mbah Ti!" ucap Banyu pada Ibu, mewakili kata - kata yang seharusnya diucapkan Langit. Sementara anak itu hanya duduk diam, memperhatikan kata - kata ayahnya dalam diam. Leandra sebenarnya salah fokus pada ingus yang mengering di sekitar hidung anak itu. Ibu tersenyum menanggapi kata - kata Banyu. "Diminum, Nyu, Kakak Langit!" "Iya, Mbah ti!" jawab Banyu lagi. Banyu belum menjawab pertanyaan Leandra, sampai Ibu pergi meninggalkan mereka. "Kenapa, Nyu?" tanya Leandra sekali lagi. "Begini ...." Banyu kembali cengengesan. "Begini ... ehem ... lusa, kan, Kakak Langit ulang tahun. Ayah ngadain pesta kecil - kecilan gitu. Ngundang temen - temen TK - nya Kakak Langit semua." Banyu menjelaskan semuanya dengan kata acuan khas anak - anak. Lagi - lagi ia sedang memposisikan diri sebagai wakil dari anaknya. Banyu menyodorkan sebuah undangan berbentuk persegi dengan motif Pororo, bertuliskan nama Tante Lele di bagian depannya. "Kakak Langit sepatunya udah bolong, Tante Lele. Kasihan!" lanjut Banyu. Leandra mendengkus. Sudah ia duga. Banyu tetap lah Banyu yang selalu penuh dengan modus. Istrinya yang sekarang menjadi tulang punggung keluarga, pasti menyesal karena dulu sudah termakan modus Banyu. Tapi mau dikatakan apa lagi? Mereka sudah ditakdirkan berjodoh. Leandra mengantarkan kepulangan Banyu dan Langit sampai ke halaman depan. Agendanya besok bertambah, mencari sepatu anak - anak sebagai kado untuk Langit. Dan besok lusa, ia akan berpesta bersama dengan anak - anak TK. Leandra tak tahu, ia harus senang, harus sedih, atau justru miris? Setelah suara vespa butut Banyu tak terdengar lagi, Leandra hendak kembali masuk rumah. Namun sebuah sapaan menghentikan langkahnya. Leandra kembali merasa bulu kuduknya berdiri. Ia mencari - cari dari mana gerangan arah suara sapaan tadi. Sampai kedua netra wanita itu menangkap sosok seorang lelaki berperawakan tinggi, yang berdiri di ambang pintu pagar rumah ini, yang terbuka sebagian. Lelaki itu masih sangat asing di mata Leandra. Sepertinya bukan orang sini. Ia memakai kemeja rapi berwarna putih. Rambutnya berwarna hitam legam, disisir dengan baik. "Ada yang bisa saya bantu?" tanya Leandra. "Ada," jawabnya. Leandra sebenarnya sudah sangat ingin masuk rumah. Tapi ia menahan keinginannya sebisa mungkin, demi kemanusiaan. "Apa yang bisa saya bantu, Mas?" Lelaki itu tersenyum. Senyumannya sungguh ... indah. Leandra segera menunduk menyadari kesalahannya. Dalam hati ia mengucap istighfar berkali - kali. Meminta ampun pada Tuhan karena sudah kehilangan kendali. "Perkenalkan, nama saya Romza," katanya. "Saya datang untuk ...." Lelaki itu menjeda cukup lama. "Saya datang untuk ... m - maukah anda menjadi istri saya?" Leandra seketika mengalami sebuah fenomena yang terjadi akibat rasa terkejut yang berlebihan. Freeze ... itu namanya. Membeku untuk beberapa saat lamanya saking terkejut dengan perkataan lawan bicaranya. Apa katanya tadi? Melamar? Leandra tidak salah dengar, kan? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD