|2|

2504 Words
Chapter 2 (Meet Rebel) ●●● (Arey) "Bertemu Rebel, bagaimana?" tanya Corey saat kami sudah duduk di dalam mobilnya menuju ke tempat yang bahkan kami tidak tahu ke mana. "Boleh. Aku juga merindukan kak Rebel." balasku sambil bermain game di ponselku. Setelah perjalanan sekitar 30 menit, kami sampai di depan kafe tempat Rebel bekerja. "Kak Rebel!" panggilku ketika melihat Rebel sedang melayani pembeli lain di kasir. Rebel menoleh ke arah ku dan Corey. Senyumku luntur saat melihat wajah Rebel. Wajahnya sangat pucat dengan lingkar hitam di bawahnya. Kalau diperhatikan lebih lanjut, Rebel seperti mengurus. Drastis. Rebel terlihat mengurus sesuatu kepada temannya lalu kemudian melepas seragam bekerjannya dan menghampiri kami. "Halo adikku yang cantik." Aku tersenyum sebagai balasan. "Apakah kakak sakit? Kita bisa ke rumah sakit sekarang." Rebel tersenyum, tangannya terangkat mengelus rambutku. "Tidak apa adik, aku baik-baik saja. Hari ini aku sengaja pulang cepat untuk menghabiskan waktu bersama kalian." Aku berseri mendengarnya, sudah lama sekali tidak berpergian bersama Rebel, aku sungguh merindukannya. "Sayang, bagaimana kalau kita ke taman di pusat kota? Aku dengar-dengar di sana baru dibangun taman kota, banyak penjual makanan juga di sana," Corey menyudahi kegiatannya bermain ponsel dan tangan kirinya menggenggam tangan Rebel. Rebel terlihat meminta persetujuanku, setelah aku mengangguk, Rebel pun mengangguk. Sebenarnya aku khawatir dengan Rebel, ada apa dengan penampilannya? Kenapa dia terlihat seperti sedang sakit? Huh, baiklah, aku akan menjadi nyamuk hari ini, menemani dua pasang manusia bermabuk cinta. Setelah perjalanan dari cafe tadi, akhirnya kami sampai di taman pusat kota. Benar kata Corey, taman kota ini terlihat menyegarkan mata, dengan udara yang sejuk, dan rerumputan hijau yang segar. Ugh, sangat menyenangkan. "Kau, jangan mengganggu kami, ini untukmu. Okey?" Corey berjalan sambil menyerahkan tiga lembar duit yang membuat semangatku naik. Tanganku membentuk hormat, sambil tersenyum lebar tentunya. "Terimakasih kakakku yang tampan, selamat bersenang-senang." Setelah Corey dan Rebel pergi dari hadapanku, aku berjalan sambil bersenandung mengelilingi taman pusat kota ini. Taman pusat kota ini sebenarnya baru saja dibuka sebulan yang lalu, tetapi sepertinya sudah cepat menyebar ke banyak orang, seperti sekarang, ramai dengan banyak pasangan kekasih, keluarga, dan orang-orang sendiri sepertiku. Kakiku terus berjalan menyusuri taman kota, ah, andaikan taman ini sepi, aku tidak perlu berdempetan dengan banyak orang seperti sekarang ini. "Awsss," Dan terjadilah. Aku jatuh tersungkur dengan lutut yang bergesekan dengan aspal, meringis kesakitan setelah melihat lututku kini terdapat luka goresan yang cukup besar dan memar, lihat, bahkan tanganku ikut tergores dan memerah. Sial, kenapa aku tidak jatuh di atas rumput saja. Aku terlalu banyak mengumpat hari ini. Kakiku berusaha menapak dan bangkit untuk mencari tempat duduk, tetapi saat aku mencoba bangun, jusru aku kembali duduk di aspal. Sakit sekali rasanya. Lagipula, kemana Corey? Disaat aku membutuhkannya dia bahkan tidak terlihat di pandanganku. Ya, aku terlihat seperti orang bodoh sekarang. Duduk dipinggir jalanan aspal sambil meringis kesakitan. "Kau sepertinya membutuhkan bantuanku?" Aku terbelalak melihat sosok menjulang di hadapanku, dengan kaos hitam dan celana pendek olahraga, mataku menyipit melihatnya. "Kau sepertinya selalu mengikutiku?" aku memutar kedua bola mataku. Walaupun sejujurnya aku membutuhkan bantuan saat ini, tetapi jika yang datang sosoknya, ugh, aku tidak mau. Pria itu berlutut di hadapanku, kemudian mengulurkan tangannya. Aku mengangkat alisku, menatapnya aneh. "Apa?" Dia masih mengulurkan tangannya. "Kau membutuhkan bantuan kan?" Aku mendengus, mengarahkan pandanganku ke arah lain. Sampai aku memekik kaget karena tubuhku melayang di udara. Oh tidak, sekarang jantungku berdetak kencang, wajahku memanas. Lelaki ini! "Jangan sungkan denganku nona, aku selalu ada untukmu." Wajahku yang memerah ku sembunyikan di d**a bidang lelaki itu setelah aku tahu banyak orang menatapku sinis. Ugh, dasar lelaki sialan. Liat saja kau Deon! ••• Aku memandang langit-langit kamar dengan tatapan kosong, berfikir lagi-lagi tentang kejadian tadi yang sangat membuatku malu. Setelah Deon mengantarkanku pulang ke rumah, dia pergi begitu saja tanpa berkata-kata, bahkan aku belum sempat berterimakasih kepadanya. Seketika pandanganku teralih melihat ponselku sudah tergeletak di bawah, dekat kolong kasur. Sejak kapan ponselku tergeletak di sana? Saat ingin mengambil ponselku, saat mataku tidak sengaja melihat sebuah kotak kecil di bawah kursi. Dahiku mengernyit, lalu mengubah posisi tidur menjadi duduk, sambil memegang kotak kecil ini. Tanganku dingin ketika aku memutuskan untuk membuka kotak tersebut. Bagaimana kalau dalamnya adalah sebuah bom, atau yang lebih parah adalah jebakan obat-obatan terlarang. Tetapi mataku terperangah, dan mulutku tiba-tiba menganga. Sial, ini lebih dari indah. Sejak kapan kotak ini berada di bawah kasurku, dan sejak kapan aku tidak tahu mengenai itu. Tanganku mengangkat sebuah kalung berliontin indah. Aku tidak tahu harus berkata apalagi mengenai kalung itu. Dengan cepat aku mengaitkan kalung itu menuju leherku. Bibirku mengulaskan senyum puas saat melihat indahnya kalung ini melingkar di leherku, kaca memang tidak bisa berbohong. "Kalung itu terlihat cocok dipakai olehmu." Suara dingin itu begitu dekat. Muncul dengan tiba-tiba dibelakangku. Refleks, aku membalikan tubuh dan menendang tulang kering Deon. Dan satu lagi, izinkan aku melakukan kekerasan lebih kepada Deon ketika melihat dia yang sama sekali tidak kesakitan akibat tendangan barusan. Kali ini penampilannya berbeda kembali, dia memakai kemeja hitam yang kancing atasnya tidak dikancingi, celana hitam, serta jangan lupakan masker yang sudah tidak ada di wajahnya. Sudah ku katakan, Deon sangat tampan. "Sejak kapan kamu di sini?" Aku bertanya dengan terbata-bata, karena tiba-tiba dia menyunggingkan senyum manisnya. Aku jadi ingat kejadian tadi pagi. Ah, aku baru menyadari, kalau ternyata Deon memiliki lesung pipi kecil di pipi sebelah kanannya. Oh Tuhan, apa aku boleh berteriak, kalau wajah Deon benar-benar sempurna. "Sejak kau memandangi dirimu sendiri di depan kaca." Sontak, pipiku memanas, dan aku menjadi salah tingkah. "Kenapa kau datang lagi?" Deon berjalan mendekat, dan otomatis, kaki ini bergerak mundur. Deon melakukan gerakan itu beberapa kali, disertai dengan langkah mundurku. Sampai akhirnya, aku tidak bisa mudur, karena tembok sudah berada di belakangku. Aku mendadak takut, tanganku gemetar dan keringat dingin. Tatapan tajam Deon seakan siap membunuhku, membuat aku benar-benar tidak bisa berkutik lagi. Aku memejamkan mata saat terpaan nafas Deon semakin dekat dengan wajahku. Mendadak aku menjadi sesak nafas. "Karena, sekarang batu itu sudah ada di depan mataku, tanpa aku memaksanya lagi." ••• Rebel menghela nafasnya dengan berat. Sejak satu jam yang lalu, Corey, kekasihnya, mengantarnya kembali pulang ke rumah yang sebenarnya bukan rumah miliknya. Hhh, dia terlalu baik untukku. Rebel memejamkan mata sambil tertawa miris. Sebenarnya, sudah sekitar 2 bulan ini Rebel tidak lagi tinggal dirumahnya yang dulu. Rebel memutuskan untuk mencari kontrakan dengan harga murah terjangkau semenjak dia hadir. Ya, hadir masuk ke dalam hidupnya, dan memporak-porandakannya. "Huft, apakah tidak ada kendaraan umum di sekitar sini?" kaki jenjang Rebel melangkah menapaki jalan raya yang sudah terlihat sepi, hanya ada beberapa pedagang kali lima yang membuka usahanya sampai tengah malam. Tangan kiri Rebel bergerak melepas sepatu pantofel hitam yang melekat pas di kakinya, sampai membuat kakinya lecet dan memar. Sungguh, Rebel benar-benar mengutuk hidupnya. Kenapa hanya kesialan yang datang? Argh! Mata abu-abu Rebel melirik penjual bakso malam yang masih terlihat ramai, lalu bergerak mengecek duit didalam dompetnya. Masih ada lembar duit merah. Setengah untuk keperluan mendesak, sisanya, "Ah, aku tidak perduli, yang penting perutku terisi dengan baik." sambil tersenyum lebar dan menenteng sepatu pantofel kekecilannya, Rebel melangkah masuk ke dalam tenda penjual. "Boleh saya pesan 1 porsi mas? Sambal yang banyak, tidak pakai micin, sayuran yang banyak, tidak pakai saus, dan tidak pakai bakso urat." Rebel menyerahkan selembar merahnya sambil tersenyum lebar. Sangkin lebarnya, mas penjual bakso tersebut ikut tersenyum lebar pula. "Adek kenapa malam-malam sendiri? Bahaya lho, banyak kejadian berbahaya akhir ini di daerah sini." mas tukang bakso berbincang sambil menyiapkan pesanan Rebel. "Ah, rumah saya dekat sini mas, sedikit lagi sampai." Rebel tersenyum canggung. Sebenarnya Rebel sudah tahu tentang berita yang sedang marak itu. Rata-rata korban berkisar usia remaja seperti anak sekolah dan anak kuliahan. Dan dirinya? Haha. Usianya memang sudah tergolong tidak muda lagi, bahkan dia dan Corey berbeda 3 tahun dengan usia Rebel diatas Corey. Huft, Rebel jadi ingat Corey lagi. "Ini dek baksonya, selagi hangat." "Terimakasih mas." Rebel segera menyantap bakso yang terlihat sangat lezat itu. Ugh, perutnya semakin bergemuruh. Sambil menelan makanan pandangan Rebel terarah ke luar tenda, lalu berhenti ke sebuah titik. Mata Rebel menyipit, berusaha memperjelas pandangan. Sontak, jantung Rebel berpacu lebih cepat dari biasanya, wajahnya terlihat pucat dan tangannya sedikit bergetar. Mendadak bakso lezat didepannya ini tidak Rebel hiraukan. Rebel jujur, lebih takut berkali-kali lipat dengan sosok di titik pandangannya itu daripada para penjahat malam yang sedang berkeliaran. Dia-dia lebih dari sekedar penjahat. "Dek? Adek kenapa?" Panggilan yang berasal dari mas penjual bakso menyadarkan Rebel. Rebel refleks membanting sendok dari genggamannya, menatap penjual bakso itu dengan menyesal karena berlaku bar-bar di tempat usahanya. "Ma-maaf, baksonya bisa saya bungkus saja? Kebetulan saya ada urusan mendadak." Setelah selesai urusan dengan sang penjual bakso, Rebel menenteng plastik berisi bungkusan baksonya dan sepatu pantofelnya menuju rumahnya. Tadi saat Rebel bilang rumahnya berada di sekitar sini, sebenarnya Rebel berbohong. Jarak dari tempat bakso tadi sampai ke rumahnya sekitar 1.4 km lagi. Jadi Rebel harus berjalan dengan tidak memakai sepatu sepanjang 1.4 km. Rebel tahu konsekuensinya, pasti besok kaki Rebel akan memar dan lecet karena nekat berjalan dengan kaki telanjang. Mau bagainana lagi, daripada tidak bisa berjalan karena menggunakan sepatu kekecilan. Ingatkan Rebel untuk nekat menyisihkan duit upahnya untuk membeli sepatu yang lebih layak. Setelah hampir 1 jam Rebel berjalan kaki, akhirnya penampakan rumah kecil di pelosokan terlihat di pandangannya. Rebel sedikit lega. "Akhirnya," tangan kiri Rebel yang tidak memegang bawaan bergerak menghapus peluh di dahi dan lehernya, kemudian bergerak mengambil kunci rumah dari dalam tas. Rebel duduk selonjoran di lantai. Masih dengan pakaian kerjanya yang sudah lepek dan bau karena berkeringat saat berjalan tadi. "Oke, kita lanjutin makan bakso ya perut." Saat Rebel beranjak menuju dapur kecilnya di ujung rumah, tubuhnya kembali dikagetkan dengan pelukan hangat yang melingkar di belakang tubuhnya. "Miss you badly." ••• (Arey) Aku masih memejamkan mataku, sambil menahan degub jantung yang masih bergemuruh. Wangi maskulin khas lelaki begitu tercium olehku, membuat aku sedikit nyaman akan wangi ini. Tunggu, aku membuka mataku sedikit ketika mendengar suara kekehan yang berasal dari depanku. Dan, oh Tuhan, ini sungguh indah. Di depanku, Deon sedang terkekeh dengan senyuman manisnya. Lesung pipi di pipi kanannya benar-benar tercetak jelas. Rasanya, aku sudah akan menerjang lelaki tampan dihadapanku ini, kalau saja aku tidak ingat lelaki tampan di depanku ini adalah seorang pemimpin pasukan yang sedang mengejarku. Dan yang hanya bisa aku lakukan adalah terbengong melihat dia yang masih saja tertawa di depan mataku. Tidak bisakah dia tertawa di kamar mandi, atau membalikan tubuhnya sejenak. Karena, tawa itu benar-benar membuat hatiku gemetar. "Sebenarnya, apa yang sedang kamu tertawakan?" Deon sepertinya sudah mampu mengendalikan dirinya, buktinya dia sudah berdiri sambil berkacak pinggang ke arahku. "Apa sikapmu seperti itu, kepada semua lelaki?" Aku ternganga kembali. "Hey, kamu fikir aku ini perempuan seperti apa!" Lelaki ini benar-benar. Keterpesonaanku luntur mendengar ucapan menyebalkannya. "Sudah cukup. Aku tidak ingin berhura-hura denganmu. Cepat serahkan batu itu, sekarang." Lagi. Deon kembali ke sifat aslinya. Rasanya aku ingin berteriak di depan wajahnya kalau aku benar-benar binggung dengan semua ini. Kenapa dia tidak mengerti juga? Dan yang bisa aku lakukan hanya memejamkan mataku, lalu menarik nafas dalam-dalam. Saat aku membuka mata, yang aku lihat adalah mata Deon yang bersinar penuh harap. Tidak, aku tidak sama sekali terpukau dengan warna matanya yang sejernih--ah. Aku tidak perduli. Ingat Arey, dia itu menyebalkan. Titik. "Aku tidak mengerti apapun tentang batu itu. Sudah aku katakan sebelumnya." aku cukup lelah dengan semua drama ini. Kenapa Deon tidak bisa mengerti apa yang kuucapkan? Deon masih diam, dan setia menatapku. Tiba-tiba sesuatu berbunyi, seperti tanda alarm yang tidak ku kenal. Sentak, Deon langsung menarik tanganku untuk berdiri di belakang tubuh tingginya. Baru saja aku ingin protes kepadanya, tetapi seseorang yang tiba-tiba melompat ke balkon kamarku membuat aku mengurungkan niatku. Jelas, orang itu lebih aneh dari Deon. Lebih menyeramkan dan menakutkan. Apalagi pandangannya terus terarah ke arahku. Tuhan, ada apalagi ini. Belum cukup Deon dan pasukannya menyerangku, sekarang, muncul orang lain yang bahkan tidak pernah aku liat juga sebelumnya. "Terus berdiri dibelakangku, kalau kau masih mau hidup sekarang." Kata-kata Deon benar-benar membuatku diam membeku, tangan kiri Deon menggenggam erat pergelangan tanganku. Genggamannya terlalu erat sampai darah di pergelangan tanganku tidak mengalir dan sepertinya akan menimbulkan memar setelah ini. "Deon, rupanya kau disini. Sepertinya niatmu adalah merebut milikku lagi." Lelaki itu masih berdiri diam di depan balkon, tetapi perlahan berjalan mendekat. Lelaki itu terlihat mirip seperti pasukan Deon, memakai jubah serba hitam dan masker hitam kebanggaan mereka. Apakah mereka satu kaum? Seiring mendekatnya langkah lelaki aneh itu masuk kedalam kamarku, genggaman tangan Deon semakin kencang. Pasti bukan memar, tapi remuk! Apakah Deon tidak sadar bahwa kekuatannya dan kekuatanku berbeda? "Deon, sakit..." Aku meringis menahan sakit dan tangis, bermaksud menyuruh Deon untuk melonggarkan genggamannya. Benar, setelah mendengar ringisanku Deon melonggarkan genggamannya, kemudian jempol tangannya bergerak mengelus bekas kekerasannya. "Rupanya, kau juga berupaya memikat hati perempuan itu. Benar begitu, Deon?" Senyum smirk muncul di wajah lelaki itu, langkahnya semakin dekat dari tempat aku dan Deon berdiri. "Jangan mendekat, atau aku akan menghancurkan perempuan serta kunci yang kau cari." Kata-kata Deon membuat aku mundur menjauhi tubuhnya, sentak aku menepis genggaman Deon yang longgar. Deon terlihat marah akan tindakanku, tetapi aku lebih takut akan ucapannya. Lelaki itu terkekeh, seakan meremehkan Deon. "Lihatlah, perempuan itu takut denganmu. Lebih baik, kau ikut denganku nona, maka akan ku jadikan kau ratu di tahtaku." Tangan lelaki itu terulur kearahku, disertai senyuman menggodanya. Aku terkejut setengah mati, setelah kata-katanya yang ambigu, lelaki itu malah terlempar ke arah dinding, membuat dinding dikamarku retak. Lelaki itu meringis pelan, bahkan dia masih sanggup berdiri dengan hidungnya yang masih mimisan. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kalau aku berada di posisinya. Mungkin, tubuhku sudah remuk sekarang. Atau bahkan aku sudah tidak hidup lagi? Oh tidak. Mengerikan. Reflek aku melangkah menjauh. Menjauhi Deon dan lelaki misterius itu. Takut Deon akan melakukan hal yang sama kepadaku seperti yang dia lakukan kepada lekaki itu. Tidak ada yang tahu bukan? Deon mungkin pura-pura baik saja kepadaku, padahal nyatanya, Deon ingin membunuhku begitu dia mendapatkan batu itu. Deon melangkah mendekati lelaki itu, sambil mencengkram kerah bajunya. "Kalau sampai kau berani menyentuhnya, kau akan mati ditanganku." Mata Deon masih memancarkan kegelapan. Lelaki didepannya hanya terkekeh, padahal kondisinya tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Tubuhku bergetar melihat Deon memukuli lelaki itu, sampai lelaki itu berhasil menghilang melarikan diri. Air mataku merembes begitu saja. Tubuhku meluruh dan bergetar hebat. Sekarang aku benar-benar takut. Deon membalikan tubuhnya, kemudian melangkah ke arahku dengan langkah yang lebar-lebar. Aku menutup wajahku dengan tangan saat Deon sudah berhenti di depanku lalu berjongkok. Pasti, pasti dia akan membunuhku lalu membiarkan tubuhku membusuk begitu saja. Atau dia akan memakanku? Tetapi, hal yang tidak aku duga sama sekali terjadi. Deon menarikku dan merengkuh tubuhku. Air mataku tumpah saat aku sudah berada dipelukannya. Deon memelukku erat sambil mengelus lembut punggungku. Pelukan Deon benar-benar menenangkan, membuat aku yang tiba-tiba tersenyum karena lega. Aku bahkan tidak mengerti dengan respon tubuhku. Kenapa bisa aku merasa lega saat Deon memeluk tubuhku dengan hangat, kenapa aku tidak takut dan berlari dari hadapannya. Padahal Deon kan mau-mau mem-- "Jangan pernah berfikiran aku akan membunuhmu, tetapi berlindunglah kepadaku. Karena aku dengan senang hati akan melindungimu." •••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD