|1|

2038 Words
Chapter 1 (My bad day) ●●● Arey menghentikan langkahnya, dengan malas dia berbalik lagi ke arah pintu ruang tamu, dan kembali bertanya seperti yang sudah dia lakukan lima kali sebelumnya, "Sebenarnya, kalian mencari apa? Sudah saya katakan kalau saya tidak memiliki batu yang kalian maksud." Salah satu lelaki, yang sepertinya adalah pemimpin kelompok itu, kembali berbicara seperti yang sudah dia katakan lima kali sebelumnya. "Saya yakin, nona menyimpan batu yang kami maksud. Tolong, berikan batu itu kepada kami sekarang!" Arey memutar bola matanya, merasa jengah. Dia bergerak menutup pintu ruang tamu itu dengan keras dan cepat, tetapi tangan pemimpin kelompok itu juga lebih cepat menahan pintu, membuat Arey benar-benar dilanda emosi. "Apa mau kalian sebenarnya? Aku sudah sabar sejak tadi, aku bisa saja menelfon polisi, kau tahu?!" Arey melayangkan telunjuknya, sambil memincingkan matanya. Tetapi, sepertinya hal tersebut tidak membuat kelompok lelaki berjubah hitam itu takut, pemimpin kelompok itu malah memajukan langkahnya sambil tertawa dengan santai. "Anda tidak akan berani menelfon polisi nona. Karena, kalau kesabaran kami sudah habis, kami bisa saja membakar rumah ini dan seluruh keluargamu akan meninggal setelahnya. Jadi, berikan saja batu itu, lalu kau bisa hidup bebas." ujar pemimpin pasukan itu sambil bersedekap. Sudah. cukup. Kali ini, Arey akan benar-benar menelfon polisi. Pintu rumahnya sengaja dia buka lebar-lebar, lalu Arey masuk ke dalam dengan tergesa-gesa menuju ke telfon rumah yang berada dekat tangga. "Selamat sore, dirumah saya terjadi peneroran oleh sekelompok orang bersenjata tajam, dia mengancam untuk membakar rumah dan membunuh seluruh keluarga saya. Sa--" Sambungan telfon itu terputus karena keterkejutan Arey. Benar-benar membuat bulu kuduk Arey berdiri seketika. Telfon rumah yang jatuh mengenaskan di lantai tidak diperdulikannya. Arey berlari menuju pintu rumahnya, nihil, kelompok lelaki itu sudah tidak ada di depan pintu rumahnya. Tidak meninggalkan jejak sedikitpun. Tidak mau berlama-lama, Arey menutup pintu rumah dengan kasar, lalu segera berlari menuju kamarnya. Kejadian ini benar-benar janggal, Arey tidak habis fikir. ••• Ibu, ayah, dan kakak Arey sudah kembali sejak dua jam setelah kejadian janggal itu. Arey tidak ingin ambil pusing, dia benar-benar berlagak tidak terjadi apa-apa selama dia ditinggal di rumah sendiri. Bahkan saat petugas keamanan datang ke rumahnya untuk meminta kejelasan tentang peneroran rumah itu, Arey benar-benar tutup mulut. Dia berkata, bahwa itu mungkin hanyalah panggilan dari orang jahil yang tidak punya kerjaan dirumah. Sekarang, Arey tiduran terlentang di atas kasurnya, sambil menarik nafas dan membuangnya kasar. Matanya tidak lepas dari langit-langit atas kamarnya. Kejadian tadi benar-benar mengusik ketenangannya. Semua jadwal yang sudah Arey atur sedemikian rupa untuk menghabiskan waktu liburannya berantakan. Film ber-season yang sudah menanti untuk Arey tonton, malah dia abaikan. Fikiran Arey benar-benar tertuju pada satu masalah. Kejadian tadi sore. Benar-benar membuat Arey pusing, sampai akhirnya mata Arey benar-benar terpejam sekarang. ••• Arey merasa sangat terusik dalam tidurnya, badannya bergerak-gerak gelisah. Tidak tahu kenapa, walau dalam keadaan memejamkan mata, Arey bisa merasakan tatapan menusuk tajam sedang mulai menghancurkan dirinya. Sampai akhirnya, Arey lompat dari tidurnya, dipenuhi dengan cucuran keringan di dahinya. Arey memandang kesekelilingnya, lalu padangannya terhenti kepada satu titik yang benar-benar membuat Arey terpekik. Lelaki dengan jubah hitam, seperti kelompok lelaki tadi sore, tetapi kali ini, masker hitam di wajahnya terlepas. Menampilkan wajah tampan dibalik masker menyeramkannya. Hidung, bibir, alis, bulu mata, bahkan hal kecil di wajahnya terasa begitu pas. Oh tidak, Arey bagaimana bisa kau berfikir seperti itu disaat genting seperti ini! Arey benar-benar mati kutub, bahkan saat dengan santainya lelaki itu duduk di atas kursi dekat meja belajarnya, yang artinya berasa sangat dekat dengan posisi Arey berada sekarang. Tetapi lagi-lagi Arey mengeraskan hatinya, dia tidak boleh terpikat. Sama sekali tidak boleh. "Kamu. Apa yang kamu lakukan di sini? Batu? Ah, bukankan aku sudah mengatakannya berulang kali kalau batu itu tidak aku miliki." Arey berucap dengan sedikit gemetar, tetapi berusaha tidak menampilkannya didepan lelaki itu. Kemudian lelaki itu tertawa, lalu mengulurkan tangan besarnya ke arah Arey. "Namaku Deon, dan, jangan merasa takut seperti itu padaku nona. Aku datang ke sini dengan maksud baik." Senyum manis masih terpancar di wajah tampan Deon. Arey terperangah, tidak menyangka dengan keramahan lelaki yang masih setia mengulurkan tangannya. Mungkin kalau saja lelaki ini bukan lelaki aneh yang menerornya, Arey bisa jatuh cinta dengan lelaki bermata hijau ini. Deon tersenyum tipis, sambil menarik tangannya kembali. "Ah, aku tidak ingin berlama-lama," Deon berjalan mendekat ke arah Arey, lalu menunduk dan mendekatkan wajahnya. "cepat serahkan batu itu, atau aku akan mengambilnya secara paksa darimu." Tepat setelah itu, Deon menepuk pelan puncak kepala Arey lalu segera pergi dari situ. Membuat Arey sempat menahan nafasnya. Benar-benar ajaib, lelaki yang tadi sore bersikap tidak sopan di depan rumahnya, sekarang bersikap lembut. Arey menyunggingkan senyum tipisnya. Tetapi hati kecilnya kembali berkata. "Dia pasti punya maksud tertentu akan keramahannya. Tidak bisa dibiarkan." "Ngga, pasti dia orang jahat. Gaboleh terpesona, fokus Arey!" Arey kemudian beranjak dari aktifitasnya, kembali duduk diatas kasur dan memainkan ponselnya. Mata Arey memandang ke arah pintu jendela yang terbuka lebar, menghembuskan angin malam yang dingin. Terkadang Arey suka berfikir, apakah kehidupannya akan berakhir seperti ini? Diteror? Sungguh tidak pernah ada di benaknya. Setelah asik dengan khayalannya, Arey beranjak dari atas kasur menuju ke lemari pakaian dan mengambil jaket tebal. Rasa takut tadi membuat Arey lapar, kebetulan keluarganya sedang tidak ada di rumah, mengharuskan Arey pergi malam keluar rumah dengan berjalan kaki. Arey tau itu nekat. Sungguh. Tetapi, dia tidak bisa menahan rasa laparnya lagi. "Ugh, tidak ada apa-apa Arey, semua baik-baik aja." Arey berjalan cepat sambil mengawasi sekelilingnya, siapa tau jika ada yang mencurigakan, Arey sudah siap untuk berlari. Hati Arey lega ketika melihat pedagang kaki lima yang masih ramai di jam malam ini, bibir Arey tersenyum lebar sambil kedua tangan mengusap lengannya yang tertutup jaket ketika hawa dingin menerpa. "Pak, saya mau nasi kremesnya satu paket ya, dibungkus saja." Arey menemukan tujuannya, mungkin nasi kremes bisa menghilangkan laparnya. Sambil menunggu pesanannya, Arey melihat ke arah luar tenda yang dimana banyak pasangan muda-mudi tengah bercengkrama dengan asik. Arey tersenyum kembali. Kira-kira bagaimana ya rasanya pacaran? Arey tentu tidak tau karena belum pernah mencoba. Sebenarnya Arey punya teman lelaki yang dekat dengannya saat sekolah dulu, tetapi semenjak mereka lulus dan masuk dalam dunia perkuliahan, tiba-tiba Arey kehilangan kontak lelaki itu. Padahal, dia teman satu-satunya yang Arey miliki. "Ini pesanannya, total semuanya 35 ribu saja non," sang bapak penjual tersenyum ramah sambil menyodorkan makanan. Kemudian Arey mengambil duit yang ada di kantung jaket. "Terimakasih pak." "Non pulang sendiri? Sudah malam seperti ini rawan non, apalagi jalan kaki." pedagang itu khawatir melihat Arey pergi seorang diri. Arey hanya tersenyum, memangnya siapa yang bisa Arey ajak keluar? Haha, teman saja Arey tidak punya. "Tenang pak, rumah saya dekat kok, tidak perlu khawatir. Saya duluan ya pak." Dengan tangan kanan menenteng plastik berisi makan malamnya, dan tangan kiri ia masukkan ke dalam kantung jaket, Arey berjalan sambil bersenandung kecil, menemani kesepiannya. "Perlu saya antar?" Langkah kaki Arey berhenti, lalu perlahan tubuhnya memutar ke arah belakang. Matanya membelalak, otomatis Arey memundurkan langkahnya. Kenapa-kenapa lelaki itu selalu ada di mana-mana sih?! "Ka-kau, kenapa kau tau aku di sini?" Lelaki yang diketahui bernama Deon membuka masker dan topinya, kemudian tangannya bergerak menyugarkan rambutnya. "Kau tau aku bisa berada di mana saja bukan?" Deon tersenyum sampai menampilkan lesung pipinya, membuat Arey merona. Sial, kenapa lelaki ini tampan sekali! "A-aku akan pulang. Tolong jangan ganggu lagi." Arey berbalik dan melanjutkan langkahnya kembali, kali ini lebih cepat. "Tetapi, sepertinya aku harus mengantarmu pulang dengan selamat." Deon kembali berada di samping Arey, tetapi kali ini tangan kanannya di selipkan ke pinggang ramping Arey. "Jangan melihatku seperti itu, apakah kau tidak sadar kalau ada penjahat yang mengikutimu?" Deon menolehkan wajahnya ke Arey. Sangat dekat sampai Arey menahan nafasnya. "To-tolong jauh-jauh, aku tidak bisa bernafas." Arey mendorong lengan Deon, tetapi seperti yang kalian ketahui, Deon ini manusia super, tentunya kekuatannya tidak sebanding dengan lengan Arey. Deon sepertinya tidak perduli dan tetap melajukan langkahnya menuju rumah Arey dengan Arey yang keringat dingin dan membeku. Coba kalian bayangkan berada di posisi Arey, dipeluk dengan lelaki misterius seperti Deon, bukan, bukan itu masalah utamanya, tetapi terletak di parasnya. Deon ini sungguh sangat tampan, apalagi jika kamu melihatnya di bawah pantulan sinar matahari yang membuat wajahnya berseri. Bulu matanya sangat indah, hidungnya tajam, dan bibir nya sangat menawan. Semuanya sempurna. "Wajah tampanku tidak akan habis meski kau melihatku seperti ingin menelanku Arey" Sial! Ketahuan sudah. Mau ditaruh di mana muka Arey. Oh tidak. Arey benar-benar malu sekarang. "Baiklah, sudah sampai. Kau masuklah dan jangan pernah berfikir untuk pergi malam dengan berjalan kaki seorang diri jika kau bukan wonder woman okay? Itu sangat membayahakan." Deon berkacak pinggang. Apa-apaan dia, lagaknya seperti sudah mengenal Arey sejak lama. Memangnya dia siapa? "Kau. Jangan mengatur-atur hidupku. Sudah cukup dengan semua tingkah anehmu dan seluruh pasukanmu." Arey memincingkan matanya. Deon terkekeh, "Aku yang di sini dan aku saat bersama pasukanku adalah orang yang berbeda Arey. Jadi, jangan pancing aku jika kau tak mau mati di hadapanku." Kemudian Deon pergi secepat kilat. Menyisakan Arey yang tidak perduli dan melangkah masuk ke dalam rumah. Arey sungguh lapar sekarang. ••• (Arey) Inilah yang aku benci dari liburan semester. Disaat aku sudah bosan melakukan sesuatu, dan aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Terkadang hal yang aku sukai pun berubah menjadi membosankan. Bahkan aku sering merasa lelah karena tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Oh iya, jangan lupakan tentang lelaki tampan yang semalam menyusup masuk kedalam kamarku dan mengantarku pulang saat malam. Andai saja lelaki itu bukan orang aneh yang mengejar-ngejar batu, mungkin aku sudah terpesona olehnya. Bukan mungkin, tapi memang aku sudah terpesona oleh ketampanannya. Membayangkan rambut hitam kecoklatannya, mata hijau jernihnya, hidung mancung, alis sempurna, rahangnya yang tegas, dan bibirnya yang--ah membayangkan itu saja membuat pipiku memanas. Cepat-cepat aku menghilangkan fikiran aneh itu dari kepalaku, dan bergegas menuju ke depan teras rumah. Ayah dan Ibu yang sudah siap berangkat kerja. Seperti kegiatan sehari-hari, ayah yang setiap hari mengantar ibu ke kafe milik ibu, dan Corey, kakak lelakiku yang mungkin masih tertidur di kamarnya. Aku berjalan menuju ayah dan ibu yang terlihat sedang berbicara ringan. Aku menyodorkan tanganku, dengan maksud akan mencium tangan mereka. "Ayah, ibu, hati-hati di jalan ya. Jangan lupakan aku yang selalu menunggu makan malam datang di rumah. Dadah." Setelah itu ibu dan ayah segera masuk ke dalam mobil, dan melesat pergi. Saat hendak masuk ke dalam rumah, mataku membulat ketika sudah melihat kelima lelaki itu ternyata sudah berdiri di depan pintu masuk. Tiba-tiba aku jadi takut, aura yang dipancarkan kelompok lelaki itu begitu dingin, apalagi tatapan tajam Deon yang selalu membuat pipiku memanas. Apakah kali ini Deon sudah kembali menjadi Deon yang asli? atau Deon yang ini justru bukan Deon yang asli? Ternyata kali ini mereka kembali dengan pakaian khas mereka, sedikit mengecewakan ketika melihat Deon yang kembali memakai masker hitamnya, sehingga menutupi setengah wajah tampannya. "Dengan setia kami kembali nona, sekarang, berikan saja batu itu, lalu nona akan kembali hidup tenang." Salah satu anggota kelompok itu mengangkat bicara. Mataku menyipit tajam, lalu dengan perlahan aku melangkahkan kakiku untuk masuk ke dalam rumah. Tetapi langkahku terhenti ketika Deon sudah berdiri seakan menghalangi jalanku untuk masuk ke dalam rumah. Aku geram, ada perasaan ingin kabur, tetapi aku terlalu takut. Apalagi dengan kemampuan mereka yang sepertinya dapat berteleportasi. Mungkin? Aku mencoba memberanikan diri mendekat ke arah Deon, lalu berdiri dihadapannya. Tatapan tajamnya berubah semakin menajam ketika melihat aku dengan tidak takut berdiri di depan mereka. "Permisi tuan Deon, pemilik rumah ini ingin kembali tidur di kamarnya." Aku mencoba melembutkan suaraku, dengam maksud melembutkan juga tatapan tajam yang dia berikan kepadaku. Deon maju selangkah, lalu menundukan tubuhnya. "Nanti malam aku akan kembali, dan berikan batu itu kepadaku. Maka aku akan berhenti mengganggumu." Aku terdiam. Deon dam pasukannya sudah beranjak dari pandanganku. Sial. Batu apa yang sebenarnya mereka maksud, aku bahkan tidak memiliki batu apapun itu. Langkah kakiku menaiki tangga menuju kamar Corey, kakakku, menganggu aktifitas tidurnya adalah kesenanganku. "Kak, bangun." tanganku menggoyangkan tubuh Corey yang tertutup selimut. Akan aku beri tahu, kakakku ini sangat sulit untuk dibangunkan, terkadang ibu suka membangunkan Corey dengan menyiramkan air ke wajahnya. "Aku tau kamu mau menyiram aku dengan air kan, Arey." ujar Corel yang sudah duduk diatas kasur dengan wajah bantalnya. Aku hanya bisa tersenyum saat aksi kejahilanku ternyata sudah terbaca oleh kakakku. "Ayo jalan-jalan." •••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD