|3|

1723 Words
Chapter 3 (Teror) ●●● Pagi ini, senyumku kembali ketika melihat semua anggota keluargaku berkumpul di meja makan dan menyantap sarapan bersama-sama. Ada ayah dan bunda yang ternyata sudah kembali dari dinas kantornya, dan kakaku Corey yang ternyata sedang libur berkuliah. Ah, inilah yang sangat aku inginkan, bisa menghabiskan waktu bersama dengan keluarga. Kalian juga seperti itu bukan? Bibirku tidak berhenti tersenyum saat melangkah turun ke arah ruang makan. Hari ini, aku sudah menyusun jadwal yang harus ku lakukan mengingat beberapa hari yang lalu kehidupanku diganggu oleh hal-hal aneh yang terjadi di hidupku. "Selamat pagi," Bunda tersenyum melihatku, meletakan mangkuk berisi lauk pauk lalu merentangkan tangan ke arahku. "Anak bunda yang cantik, bunda kangen banget sama Arey." Aku membalas pelukan bunda, "Me too bunda, aku rindu kepada bunda dan ayah. Sangat." "Jadi kau tidak rindu kepadaku ya adik kecil?" Corey memutar kedua bola matanya jengah. Aku membalasnya dengan cengiran kuda khasku. "Tidak. Kau jelek." Corey sudah siap melempar ayam goreng ke wajahku, tetapi tingkah kekanakannya itu tentu mendapat pelototan dari bunda. Aku kemudian berjalan ke arah ayah dan memeluknya dari samping. Ayahku semakin terlihat kurus akhir-akhir ini. Apakah karena pekerjaannya ya? Mungkin saja. "Ayah harus makan yang banyak, lihat tubuh ayah, kurus sekali." Aku memegang lengan ayah lalu mengerucutkan bibir. Corey tertawa. "Kau terlihat semakin buruk jika berlaku seperti itu." Aku masa bodo. Corey tipe orang yang kalau kau membalas dia dengan sebaliknya, maka dia akan membalasnya dengan lebih kejam dan tidak mau kalah. "Yuk, kita mulai makan. Habis kita makan, bunda dan ayah mau ajak kalian pergi piknik, bagaimana?" Aku melebarkan mataku, "Setuju! Aku kangen piknik bersama kalian." Corey hanya mengangguk sebagai jawaban. Baiklah, hari ini jadwal yang sudah ku susun akan berpindah pada hari esok. Sepertinya hari ini menjadi hari bahagiaku. Oh aku baru ingat. Soal kejadian waktu itu, ah, aku sudah tidak pernah melihat Deon kembali. Aku tidak tahu kemana perginya lelaki itu. Lagipula, aku tidak mau lagi berurusan dengannya. Cukup sudah, kehidupanku menjadi aneh karena dia. "Arey, bagaimana suasana rumah, ketika kami tidak ada?" tanya ayah. Tiba-tiba aku panik dan jantungku sedikit berdegub kencang, aku gelagapan menjawab pertanyaan bunda. Tapi aku berhasil menutupi wajah gugupku. "Ah, keadaan rumah baik. Tidak ada masalah selama kalian pergi." aku berusaha senyum untuk meyakinkan. Tetapi senyumanku hilang saat melihat Corey sedang menatap ke arahku tajam. Aku memang tidak bisa berbohong dengan kakakku yang satu ini. "Kalau makanan sudah habis, susul bunda ke dapur ya. Bunda ingin membersihkan rumah yang kotor ini dan menyiapkan keperluan kita untuk nanti." sebelum bunda pergi, dia kembali tersenyum kepadaku sambil tangannya mengusap-usap kepalaku. Bunda memang dapat membuat hatiku menghangat. "Ikut kakak. Ada yang ingin kakak bicarakan." Corey menatapku lalu menarik lenganku menuju ke arah taman belakang rumah. Aku mengikuti jalan Corey, lalu berhenti di sebuah kursi. Corey duduk dalam diam, lalu aku duduk disampingnya. Sepertinya ada yang tidak beres dengan kakakku. Tidak biasanya dia diam seperti ini. Padahal tadi, dia masih asik mengejekku. "Kak, ada masalah? Ceritakan saja kepadaku," aku bergerak mengusap punggung Corey. Walau dia suka usil kepadaku, tetapi aku menyayanginya. Corey tersenyum tipis melihatku, lalu kembali mengalihkan pandangannya ke depan. Sorot matanya menunjukan kesedihan. "Rebel, dia, meninggalkanku." Mataku terbelalak. Yang benar saja?! Rebel adalah kekasih terbaik kakakku yang aku pernah kenal. Dan perempuan itu--tidak mungkin. Bahkan baru seminggu yang lalu kita bertemu bukan? Aneh. "Bagaimana bisa?" Corey tersenyum tipis kembali. "Aku melihatnya sedang dengan lelaki lain. Dan keesoknya, dia langsung memutuskanku begitu saja." Rebel? Bagaimana bisa? Aku benar-benar tidak percaya. Apalagi melihat kakakku yang benar-benar sedih. Yang aku tahu, Corey memang sangat mencintai Rabel. Corey begitu tulus. Sampai terkadang aku iri, karena ingin memiliki kekasih seperti Corey. Tak ku sadar, aku mengepalkan tanganku. Sebaik-baiknya Rebel, aku tidak rela kalau sampai kakakku tersakiti. "Aku tidak akan membiarkannya. Aku akan bertemu Rebel dan meminta penjelasan." Corey terkekeh, kemudian tangannya terjulur menarik kepalaku untuk menyandar di dadanya. Tanganku dengan otomatis melingkari pinggangnya. Pelukan Corey selalu menenangkan. "Kamu tidak perlu berlaku seperti itu adik kecilku, karena kakakmu ini bisa membela dirinya sendiri. Kau hanya perlu menjadi adik kecil yang baik dan tidak sombong." Tangan Corey mengelus lembut kepalaku. Aku diam, tiba-tiba dia teringat dengan kalung yang ku pakai. "Apa kakak yang memberi aku kalung ini?" Tanganku bergerak mengeluarkan kalung dari dalam baju, lalu menunjukannya kepada Corey. Wow. Bahkan kalung itu semakin bersinar di bawah matahari. Cantik sekali. Corey diam. Sedangkan matanya terus menatap kalung itu. Lalu setelah itu, dahi Corey mengerut. "Kenapa kalung yang kamu pakai ini sama dengan kalung yang dipakai Rebel?" Mataku membelalak. Kalung ini sama? Apa artinya? "Hah? Bagaimana bisa? Kenapa bisa sama? Dan siapa yang memberikannya? Aku fikir. Kakak yang memberi ini kepadaku." Corey menggelengkan kepalanya. Membuat aku semakin takut dengan kalung yang aku pakai. "Kak, kalau begitu, tolong lepaskan kalung ini. Aku takut untuk memakainya. Corey mengangguk, setelah itu aku membalikan badanku. Corey memutar-mutar kalungnya, mencari kaitan untuk melepas kalung. "Mengapa tidak ada kaitannya?" Aku membelalakan mataku lagi. Ini benar-benar aneh. Jelas-jelas kalung itu memiliki kaitan sebelum kupakai. "Bagai--" Suaraku terpotong ketika mendengar teriakan melengking yang sepertinya suara bunda. Aku dan Corey dengan cepat berlari ke arah bunda yang sedang shok. Terlihat dari wajahnya yang memucat. "Ada apa bunda, teriak seperti itu?" Aku bertanya sambil melirik bunda yang sedang meremas kertas ditangannya. Bunda bangkit, sebelum bangkit, bunda memberikan kertas itu ke tanganku. Aku mengenyit, lalu mulai membaca kata-kata dalam kertas itu. Dadaku bergemuruh setelah membaca tulisan itu. Apa yang mengirim adalah lelaki yang waktu itu datang ke kamarku. Tidak, aku tidak tahu bagaimana perasaan bunda setelah membaca tulisan di kertas itu. Tuhan, pasti itu teror untukku. Apakah keluargaku juga diincar oleh lelaki itu. Dan apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus mengumpat. Tidak. Tanganku berkeringat dan bergetar, mataku memanas. Keluargaku akan bernasib sepertiku. Tidak. Aku tidak bisa membiarkannya. Tetapi bagaimana caranya? ••• Corey menepikan mobilnya saat pandangannya tak sengaja melihat sesuatu di depannya. Dengan gerakan kilat Corey turun dari mobil dan menyipitkan matanya. Corey mengikutinya. "Itu Rebel bukan?" tanya Corey dalam hati. "Lalu, siapa lelaki itu?" Berbagai pertanyaan berkecamuk didalam pikirannya. Bayangkan saja, saat lelah karena tugas kuliah menumpuk, tiba-tiba disuguhi pemandangan yang meremukan hatinya. Langkah Corey terus mengikuti kedua sejoli itu sampai kakinya berhenti. "s**t. Untuk apa Rebel bersama lelaki lain?" Corey tidak berhenti mengumpat. Siapa lelaki itu? Jaket kulit hitam, celana panjang hitam, sepatu hitam, lalu topi hitam. Pasukan baja hitam? "Dia apakabar?" ucap lelaki itu. Kalau tidak salah ya. Ya, Corey memutuskan untuk menguping pembicaraan Rebel dan lelaki itu. "Ba-baik. Sangat baik." Apa maksudnya itu?! Dia? Dia siapa? What the hell! Corey tak berhenti mengumpat dalam hati. Kepalan tangannya menguat setelah melihat lelaki tersebut mengelus kepala Rebel dengan lembut. Rebel kekasihnya! Kenapa--ARGH! Corey tidak tahan melihat hal selanjutnya. Dengan wajah memerah menahan amarah dan kepalan tangan yang menguat Corey kembali masuk ke dalam mobil. Meninju stir mobil dengan kuat sebagai pelampiasan. Dia tidak habis fikir dengan jalan fikiran Rebel dan lelaki itu. Apakah mereka sepasang kekasih? Lalu dia ini siapa? Mungkin, Corey harus menenangkan dirinya. Kemudian Corey pergi dari sana. Dengan patah hati dan kecewa. Sebenarnya, tadi Corey ingin menghampiri mereka untuk meminta kejelasan. Tetapi, Corey terlalu tidak tega untuk membentak Rebel. Perempuan itu, bahkan Corey tidak pernah marah kepadanya. Bagaimana bisa Rebel setega itu? Setelah setengah jam perjalanan menuju apartemen yang terletak di pusat kota, Corey memarkirkan mobilnya lalu berjalan masuk. Dia melempar dirinya di sofa ruang tamu sambil meremas rambutnya. Urusan kampus belum selesai, sekarang Rebel. Tidak biasanya Rebel seperti ini. Ponselnya lalu berdering, menampilkan nama seorang yang sedari tadi bergelayut di dalam fikirannya. Angkat atau tidak? "Halo? Orey? Apa kabar kamu Rey?" suara lembut mengalun di telinga Corey. Lagi-lagi Corey terdiam. Memikirkan ulang kejadian yang baru dilihatnya. Corey kecewa. "Halo sayang, kabar aku baik. Kamu sehatkan?" Corey menjawab seolah tidak terjadi hal apapun. Apapun. "Baik. Kamu, ada waktu besok?" "Kebetulan besok aku libur. Ada apa sayang?" "Aku mau ngobrol, bisa ketemuan di cafe sania besok? Sekitar jam 3 sore?" "Bisa. Aku tutup ya. Mau nugas." Setelah panggilan terputus, Corey membanting ponselnya ke meja. Siapa yang mau bertaruh? Yang pertama, Rebel akan memutuskan hubungannya dengan Corey. Yang kedua, Rebel meninggalkannya. Pilihan yang sulit bukan? ••• "Miss you badly" Perempuan yang dipeluk itu tersentak, tangannya yang sedang membuka bungkus bakso terhenti ketika mendapat pelukan mendadak. Tidak baik untuk jantungnya. "Kau ke-kenapa ke sini lagi?" tanya Rebel dengan gugup. Lelaki yang memeluknya dari belakang terkekeh tetapi wajahnya masih tenggelam di lekuk leher perempuan didepannya. Wangi memabukan itu membuat dia tidak bisa lupa. "Bukannya sudah ku katakan? Aku merindukanmu baby," Rebel merinding, dan berusaha melepas pelukan lelaki itu. "A-aku ingin makan." Setelah Rebel berusaha menjauh, lelaki itu kembali mendekat. Bukan, bukan untuk memeluknya lagi. Tetapi mengambil alih bungkusan bakso di plastik yang masih panas dan gunting dari tangan kanan Rebel. "Lebih baik kau menjauhkan benda tajam ini dari tubuhmu, tidak baik untuknya." Lelaki itu membuka bungkusan bakso lalu menuang di dalam mangkuk, lalu membawa mangkuk ke ruang tengah sambil menggandeng tangan dingin Rebel. Rebel mengikuti langkahnya, tangannya yang digenggam erat itu bergetar. "Kau habiskan dulu makananmu, aku akan ke toilet sebentar." Setelah lelaki itu pergi dari hadapan Rebel, dia menghembuskan nafasnya berat. Terlalu bahaya jika dia berdekatan dengan lelaki itu. Ponsel disaku celananya tiba-tiba bergetar, menampilkan nama lelaki yang singgah di hatinya sejak dahulu. Corey. Nama yang selalu di ada di hatinya. "REBEL!" Ponsel di tangannya terlempar, Rebel meringsut mundur begitu melihat lelaki itu datang ke arahnya dengan wajah memerah penuh amarah. Ohya, lelaki itu Albert. Lelaki misterius yang entah bagaimana mencampuri urusan hidupnya. Menganggap Rebel bonekanya. Mungkin? Albert melempar beberapa silet dari tangannya ke depan Rebel. Oh tidak. Hal ini lebih bahaya dari Albert tahu jika Rebel masih berhubungan dengan Corey. "Kau! Apa yang kau lakukan dengan benda itu! Bukannya sudah ku bilang, kau harus menjauhi benda itu Rebel!" Albert mencengkram lengan Rebel. Perih. Cengkraman Albert begitu kuat, ditambah amarah Albert yang begitu ia hindari. "Ma-maaf. A-aku-" "Tunjukan, bagian mana yang kau lukai?" sepertinya amarah Albert menurun setelah melihat Rebel menintikan air matanya. Dia tidak suka Rebel merasa takut kepadanya. Rebel menggelengkan kepalanya sambil menangis. "Tunjukan padaku." perintah Albert mutlak. Rebel kemudian menggulung lengan bajunya, dan mengangkat sedikit bajunya sehingga menampakan luka sayatan di area perut dan lengan. PLAK Kepala Rebel terhempas ke lantai, lalu pandangannya menggelap. Walaupun tamparan itu tidak terlalu sakit, tetapi mungkin Rebel terlalu lelah menangis. Rebel sudah tahu akibatnya. •••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD