bc

Hilangnya Mahkota Perkawinan

book_age18+
3.7K
FOLLOW
20.5K
READ
family
love after marriage
friends to lovers
scandal
dare to love and hate
drama
sweet
female lead
cheating
lonely
like
intro-logo
Blurb

Livana, seorang perempuan 30 tahun, harus menelan pil pahit di kala dia mendapatkan kabar bahagia lulus sebagai CPNS di salah satu sekolah dasar di kota tempat ia tinggal. Penolakan dari mertua dan ipar tentang kembalinya dia bekerja, membuat suaminya, Irsyad, marah besar. Pertengkaran hebat terjadi, hingga membuat sebuah rahasia besar terungkap. Tanpa sengaja, Irsyad menyebut nama Clara, rekan kerjanya, saat lelaki itu dalam keadaan mabuk. Livana pun akhirnya tahu jika selama ini suaminya telah main api dengan orang yang juga ia kenal baik. Kehadiran Lian, sosok lelaki yang juga sama-sama diterima sebagai CPNS di tempat yang sama dengan Livana, juga turut membumbui konflik rumah tangga mereka. Bagaimanakah nasib rumah tangga Livana? Akankah dapat bertahan? Atau malah hancur berujung pada perpisahan?

chap-preview
Free preview
1
“Vana, kapan mulai kerja? Duh, yang sebentar lagi mau jadi PNS. Pasti udah ogah ngumpul bareng kita.” Sepagi ini, aku sudah menerima satu sindiran pedas dari seorang tetangga. Lisda—ibu rumah tangga dua anak—yang rumahnya hanya bersebelahan dengan kami, mulai berkoar saat aku menyapu halaman. Matanya menyiratkan sebuah rasa iri. “Iya, alhamdulillah. Akhirnya aku gantung daster juga, Lis. Impian buat kembali bekerja ternyata dapat terkabul walau usiaku sudah mau tiga puluh. Allah memang Maha Baik.” Aku tersenyum bangga. Kapan lagi bisa memukul telak orang macam Lisda—selalu ingin tahu, rese, dan ikut campur urusan orang lain. Lisda mencibir. Dari teras rumahnya yang hanya disekat tembok setinggi d**a orang dewasa, dia tampak menyiram kembang dengan di pot secara kasar. Air dari dalam alat penyiram sampai berceceran. “Terus, anak bungsumu yang masih dua tahun itu gimana? Jangan egois, Van. Rejeki Allah yang atur. Masa Cuma gara-gara mau eksis jadi PNS, kamu rela menterlantarkannya.” Lisda makin nyinyir. Matanya sampai menjeling sinis. Aku geleng-geleng kepala, sambil menahan tawa. Buset, orang ini maksudnya apa, sih? Aku yang bakalan kerja, kok dia yang kepanasan? “Ah, gampang kok, Lis. Anak umur dua tahun itu bukan bayi lagi. Udah bisa jalan, main sendiri, nyuap sendiri. Insya Allah dia akan masuk ke daycare berbasis PAUD. Biar dia mandiri dan makin pinter.” Aku melempar sebuah senyum jemawa. Tak akan kubiarkan Lisda terus mendesak agar aku galau dengan keputusan untuk kembali bekerja. Dia bukan siapa-siapa yang kata-katanya harus digugu. Sorry, Vana bukan orang yang mudah untuk dipengaruhi. “Eh, Van. Jangan bangga, ya. Anak itu lebih baik dididik sendiri. Kamu nggak tau, ya, PAUD itu bahaya untuk perkembangan anak. Dia bisa stres kalau terlalu awal di sekolahkan. Duh, amit-amit.” Lisda bergidik ngeri. Wajahnya sok ketakutan. Napas masygul mulai berembus. Lama-lama aku jengkel juga mendengarkan ocehan perempuan berdaster pendek itu. “Terus? Maumu apa, Lis?” Aku berhenti menyapu. Menatap Lisda dengan wajah yang muak. “Cuma ngingetin, Van. Rejeki tuh udah ada yang ngatur. Cuma perempuan kufur nikmat yang nekat kerja demi kebanggaan, apalagi sampai meninggalkan anak. Duh, Van, apa nggak takut neraka? Hidup ini Cuma sementara, lho. Cari harta banyak-banyak, akhirnya juga nggak bisa dibawa mati.” Lisda mengibaskan rambut lurus sebahunya. Perempuan tiga puluh tahun itu lalu membenarkan letak giwang emas besarnya. Entah berniat apa. Mendengar itu, bukannya geram, aku malah tertawa. Betapa lucunya manusia negara berkembang dengan iklim tropis ini. Lantang menyebut neraka, tapi dia sendiri saja tidak ada bagus-bagusnya. “Lis, sebelum kamu ceramah panjang lebar, itu kepalamu tutup dulu pake hijab. Daster pendek begitu masa dibawa keluar rumah. Aurat tuh. Neraka j*****m entar.” Aku cekikikan sambil geleng-geleng kepala. Lisda terlihat muntab. Dia kesal dan membuang gembor plastik warna hijau stabilo yang tadi dipengangnya ke sembarang tempat. Lalu, dengan gusar ibu dari Kevin dan Alvin itu masuk ke rumah dan menutup pintu dengan keras. “Hihihi. Nyinyir dipelihara. Mending miara kambing, kan bisa dijual kalau Idul Adha. Tuman!” *** Ternyata tak hanya Lisda yang nyinyir dengan keberhasilanku lulus tes CPNS. Mama mertua, bahkan kedua adik iparku—Syifa dan Syahnaz—ikut komentar buka suara. Dua perempuan yang menyandang status ibu rumah tangga tersebut mulai mengeluarkan sindiran saat kami berkunjung ke rumah Mama. “Duh, Mbak Vana. Kalau Mbak kerja, Adiva sama Raina sama siapa? Okelah, kalau Adiva sudah TK. Nah, Raina? Dia masih dua tahun. Apa nggak ngeri dengan kejadian pengasuh ngebunuh anak majikan?” Syifa—wanita yang usianya sepantar denganku—mulai melemparkan provokasi. “Benar kata Mbak Syifa. Aduh, zaman sekarang orang itu jahat-jahat, lho. Nggak bisa dipercaya biar pun dibayar.” Syahnaz yang baru berusia dua puluh enam tahun dan memiliki satu bayi, ikut berkomentar. Seakan dia lebih tahu pengalaman hidup ketimbang kami yang lebih tua darinya. “Jangan sampai aja dititip ke Mama. Nggak mau pokoknya. Mama capek. Butuh istirahat. Masa tua-tua begini disuruh ngasuh anak.” Mama berkata dengan sinis. Ketiganya seakan kompak untuk menyerangku. Aku memandang Mas Irsyad—suamiku. Niat kami berempat untuk ke sini adalah murni bersilaturahmi. Bukan untuk meminta Mama mengasuh Adiva dan Raina. Sama sekali tidak. Aku jelas tahu diri bagaimana posisi kami. Sebagai menantu pertama, bukan rasa sayang yang ditunjukkan oleh Mama—papa mertua sudah meninggal sejak Mas Irsyad SMA—maupun Syifa dan Syahnaz. Namun, persaingan dan rasa iri lah yang mendominasi. Apakah karena kami sama-sama perempuan? Entah, aku juga tidak paham. Mereka juga tampak begitu tak suka kepadaku gara-gara latar belakang keluargaku yang broken home dan kere. Tak seperti mereka yang menganggap dirinya lebih mampu dan terhormat. “Tenang, Ma. Icad sama Vana nggak akan nitip Adiva dan Raina ke sini, kok. Kami sudah sepakat untuk menitipkan mereka ke daycare selama Vana kerja. Ngajar juga sampai siang kok. Nggak sampai sore. Betul kan, Van?” Mas Irsyad menyenggol lenganku. Aku mengangguk, lalu tersenyum manis pada ketiga wanita di hadapanku. Mereka tampak malas mendengarkan penjelasan kami berdua. “Oh, syukur, deh. Pokoknya jangan pake acara nyusahin orangtua atau ipar. Aku juga sibuk. Nggak bisa dititip-titipin. Anankku juga dua. Arisan juga aktif. Belum lagi kumpul sama sosialita. Nggak sempat.” Syifa mengibaskan tangan. Dari nada bicaranya, perempuan berhijab krim itu tampak tak mau kalah. “Oh, jadi masih ikut kumpul sosialita itu, ya? Apa nama komunitasnya, Fa?” tanyaku pada Syifa—pura-pura tertarik dengan kehidupannya—padahal sama sekali tidak. “Komunitas Pecinta Hermes.” Syifa tersenyum jemawa. Lulusan S-1 ekonomi perbankan yang lebih memilih jadi full time stay at home mom itu tampak sangat membanggakan pencapaiannya. “Hermes KW berapa, Fa? Super copy pasti, ya?” Aku tertawa kecil. Terang saja wajah Syifa berubah. Merah padam akibat rasa malu atau marah, entahlah. Namun, aku yakin pasti dia kesal. “Mbak Vana, kamu jangan ngerendahin aku, ya. Mana mungkin Mas Faiz ngebeliin tas palsu? Maaf ya, hidup kami nggak semelarat kalian. Sampai-sampai istri harus ikut banting tulang cari duit. Nggak level!” Syifa bangkit. Wanita berpakaian necis dan serba branded itu meraih tas mewahnya di atas meja tamu. Dia lalu menyalami Mama Dan pamit pulang. “Ma, aku pulang, deh. Kirain ngajak ngumpul ada acara penting. Ternyata cuma basa-basi sampah. Kalau mau pamer udah keterima CPNS, sekalian aja umumin di koran.” Syifa merajuk. Dia lalu buru-buru mengajak pergi kedua balitanya yang tengah bermain bersama kedua anak kami. “Tasya, Sarfa, ayo pulang. Di rumah mainan kalian lebih banyak.” Dengan kasar Syifa merebut sebuah boneka yang dipegang Tasya, lalu membuangnya ke lantai. Tasya dan Sarfa yang notabene adalah kembar beda kelamin, langsung ditarik menuju luar. “Vana, kamu mengacaukan saja. Lihat, Syifa sampai tersinggung dengan ucapanmu!” Mama gusar. Kali ini, Syahnaz yang pergi sendirian tanpa suami dan bayinya, ikut bangkit dari duduk. Mungkin, perempuan muda itu ingin ikut aksi solidaritas. Kompak dengan sang kakak. “Aku juga pulang, Ma. Ferli dan mertuaku udah nunggu di rumah. Mama jaga kesehatan, ya. Lain kali kita ngumpul di luar aja. Jangan ajak pengacau tapi. Merusak suasana.” Syahnaz berucap ketus. Dia bahkan tak ingin memandangku. Perempuan bergamis dan jilbab biru laut itu hanya menyalami Mama dan Mas Irsyad. “Lihat, Cad. Dua adikmu langsung kabur semua. Dari dulu sampai sekarang, semua masih sama. Nggak berubah sama sekali. Apa kamu nggak bisa mendidik Vana? Masa sudah mau kepala tiga, bicara nyablaknya masih dipertahankan?” Mama semakin terlihat tak senang. Nada bicaranya meninggi. Kalau sudah mengungkit masa lalu, bisa dipastikan beliau tak akan bisa berhenti. Dosa-dosaku pasti akan disebut dari A sampai Z. “Maaf, Ma, kalau kata-kataku bikin jengkel.” Aku berusaha merendahkan suara, meminta maaf dengan ketulusan. Padahal, siapa yang salah sebenarnya? Masa, Cuma gara-gara hal sepele, aku harus kembali disalahkan seperti yang sudah-sudah? “Vana, ingat usiamu. Jangan selalu mau menang terus. Senang banget ngejatuhin ipar sendiri. Kamu pikir, emangnya sudah paling oke, ya? Baru keterima CPNS aja, lagumu udah kayak yang paling terbaik. Sombong!” Mama semakin terlihat muak. Aku jadi bingung sendiri, kok masalahnya jadi melebar kemana-mana? Yang awalnya ingin berjumpa keluarga untuk berbincang ringan dan mendiskusikan acara syukuran kelulusanku di rumah ini, malah berakhir omelan serta rajukkan. Keluarga Mas Irsyad memang kadang aneh! “Iya, Ma. Aku tahu kok, Syifa dan Syahnaz lebih hebat daripadaku. Mereka kaya raya walau nggak kerja. Suaminya orang tajir berduit. Nggak kayak kami berdua yang hidup pas-pasan. Apalagi Mas Irsyad cuma customer service di bank, bukan direktur utama perusahaan multinasional seperti Faiz—suami Syifa. Makanya aku harus bantuin kerja juga. Namun herannya kok, Mama sama Syifa dan Syahnaz malah memojokkanku. Terkesan nyinyir. Emangnya ada yang salah?” Kebiasaan nyolot yang sedari dulu selalu kutahan agar tak keluar di hadapan keluarga Mas Irsyad, kini kumat lagi. Aku tahu, konsekuensinya pasti akan terjadi pertengkaran besar lagi. “Vana, lancang bicaramu! Siapa yang nyinyir? Otakmu kotor, penuh kebencian. Mama tahu dari awal kalau kamu itu memang tidak pernah suka dengan kami. Hatimu penuh kedengkian pada Syifa dan Syahnaz. Istigfar kamu, Vana!” Mama marah besar. Wanita yang mudah marah dan tersinggung itu menumpahkan segala amarahnya. Mas Irsyad menarik tanganku, lalu kami berbicara menjauhi Mama dan anak-anak yang asyik bermain di karpet bulu yang dekat dengan kursi tamu. “Van, sudahlah. Jangan diperlebar masalahnya. Kan kamu bisa diam aja. Ngalah.” Mas Irsyad terlihat risau. Berkali-kali dia menggaruk kepalanya. “Mas, kamu selalu ngebelain Mama dan adik-adik kurang ajarmu. Mentang-mentang mereka kaya lantas bisa menginjak kita? Apa sih yang salah dariku? Kalau mereka nyinyir, aku cuma boleh diam? Nggak boleh ngebela diri?” Aku tak ingin kalah sedikit pun. Mas Irsyad semakin terlihat kacau. Dia mengusap wajahnya yang berubah merah. Pasti saja pria tiga puluh lima tahun itu pening. “Icad, sudahlah. Istrimu itu selalu benar. Mana mau dia mengalah!” Aku dan Mas Irsyad yang berada di teras depan, dapat mendengar jelas teriakan Mama dari ruang tamu sana. “Vana, tujuh tahun kita nikah, apa kamu nggak capek bertengkar terus sama keluargaku?” Mas Irsyad menatap kesal. Lelaki itu seakan menyimpan amarah besar. “Tujuh tahun juga aku selalu dipojokkan. Apa aku nggak boleh capek?” Aku balas menantang Mas Irsyad. “Van, semua maumu sudah kuturuti. Kamu minta kerja lagi, aku iyakan. Kamu minta pindah rumah, aku belikan. Masa ini tidak cukup juga untuk membuatmu mau mendengarkan perintah suami sendiri? Vana, tolong, jangan lagi melawan Mama serta adik-adikku. Cukup dengarkan mereka bicara. Berhentilah berkelahi. Aku lelah! Mama bisa saja melakukan ancamannya selama ini—menghapus kita dari daftar waris keluarga. Apa kamu mau?” Mas Irsyad mendekatkan wajahnya padaku. Dia setengah berbisik saat membahas masalah warisan. Aku melengos. Muak. Merasa jijik sendiri dengan sikap Mas Irsyad. Dia rela istrinya di jelek-jelekan keluarga besarnya hanya karena takut tidak dapat warisan. Sepicik itu kah pikiran suamiku? “Oh,  begitu. Jadi, kamu itu pilih aku atau harta warisan?” Mataku membelalak. “Jangan bicara aneh-aneh, Van! Aku cuma mau kamu berdamai dengan keluargaku agar kita sama-sama selamat.” Mas Irsyad melempar pandangan ke luar. Dia jelas-jelas takut bersitatap denganku saat merasa salah. “Jawab saja, Mas. Tidak usah ragu. Kalau memang kamu memilih keluarga dan warisanmu, oke, aku akan mundur saja. Lagipula, keluargamu sudah sangat keterlaluan. Selalu saja menyalahkan dan mengucilkanku. Jujur, aku sudah tidak sanggup pura-pura nyaman ketika berada di dekat mereka.” Dengan penuh keberanian, aku maju beberapa langkah pada Mas Irsyad, mencoba untuk menantangnya. Seberapa berani laki-laki ini? “Oh, kalau kamu capek, ya sudah. Mentang-mentang bakal kerja, kamu pikir bisa seenaknya ngejawab suami dan mertua?” Mas Irsyad malah berbalik marah. “Iya. Emangnya kenapa? Kalau aku mau cerai, ya sudah. Silahkan. Aku bisa hidup dengan dua anak tanpa kalian.” Deguban jantungku semakin cepat, hingga d**a ini terasa mau meledak. Darah sepenuhnya mendidih sampai ke ubun-ubun. Mungkin inilah yang diinginkan Mas Irsyad. Lelaki berkaos putih itu menelan ludah. Wajah yang dipenuhi bulu halus itu terlihat geram. Kedua tangan kekarnya mengepal hingga membuat arloji di pergelangan seakan mau putus. “Istri tidak tahu diuntung!” Plak! Sebuah tamparan mendarat di pipi. Mulus tanpa hambatan. Aku terhenyak. Lima tahun yang lalu adalah tamparan terakhir yang kuterima. Semua terjadi karena pertengkaran hebat dengan Mama saat kami masih serumah. Sekarang, kekerasan fisik itu kembali kuterima. Untuk kedua kalinya. Rasanya masih sama. Menyakitkan. Namun, jelas saja hati ini lebih hancur lagi. “Oke. Kita pisah saja, Mas.” Aku bergegas mengambil kedua anakku di ruang tamu. Adiva dan Raina tampak kaget dan enggan diajak pulang. Mereka masih ingin bermain boneka Barbie bersama. “Kita pulang, Nak. Ini rumah orang, bukan rumah kita.” Secara paksa, Raina kugendong. Sementara Adiva yang berusia lima tahun kutuntun untuk keluar. Sumpah serapah dari mulut Mama jelas terdengar. Wanita yang kerap minta panggil Bu Haji itu sudah tak ingat umur serta gelaran yang disandangnya. Kerudung putih yang selalu menempel di kepala, kini tak lagi dapat mencegahnya untuk berbicara kasar. “Perempuan laknat! Semoga kamu hidup sial selamanya, Livana!” Teriakannya nyaring terdengar. Namun, aku tak peduli. Kami bertiga terus berjalan keluar rumah bahkan lewat begitu saja di depan Mas Irsyad yang bergeming di ambang pintu. Dia hanya diam memperhatikan istri dan kedua anaknya membuka gerbang besi, lalu menghilang pergi mencari taxi. Untuk kesekian kalinya, suamiku berserta seluruh keluarganya telah membuat kami kecewa.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Pengganti

read
301.6K
bc

Noda Masa Lalu

read
183.3K
bc

Tuan Bara (Hasrat Terpendam Sang Majikan)

read
109.8K
bc

HURTS : Ketika Hati Yang Memilih

read
112.2K
bc

MANTAN TERINDAH

read
6.7K
bc

Escape from Marriage - Kabur dari Derita Pernikahan Kontrak

read
256.4K
bc

Kupu Kupu Kertas#sequel BraveHeart

read
44.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook