2

1848 Words
Setelah naik taxi online selama kurang lebih lima belas menit, aku bersama kedua putri kecil kesayangan, tiba di rumah. Sekuat tenaga, sepanjang perjalanan aku menahan air mata. Jangan sampai Adiva dan Raina melihat ibunya bersedih. Mereka pasti akan merasakan kegulanaan yang sama. Sebagai seorang mama, aku tak ingin itu terjadi pada keduanya. “Kakak, Adek. Kita makan siang, ya. Mama akan masakan cah kangkung spesial sama udang goreng tepung. Mau?” Aku tersenyum sembari mengelus kepala keduanya. Adiva dan Raina kompak mengangguk. Mata mereka memancarkan sebuah kebahagiaan. “Mau, Ma. Eh, tapi, kakak mau makan setelah Papa datang. Coba Mama telepon. Papa sudah di mana? Kapan sampai rumah?” Adiva terus berceloteh. Dia tak hentinya merengek sambil menarik ujung tunik dongkerku. Aku menghela napas. Bingung harus menjawab apa. Adiva jelas saja tidak paham kalau kami baru saja bertengkar. Padahal, jelas-jelas dia mendengar suara teriakan eyang putrinya. “Hm, Papa masih ada urusan di rumah Eyang. Kita makan duluan saja nanti. Sambil menunggu.” Aku berusaha untuk berdiplomasi. Adiva harus berhenti menagih kedatangan Mas Irsyad. Sebab, aku tahu pasti dia tak akan segera pulang. Sibuk curhat dengan Mama membahas mengenai kesalahan istri sendiri. Begitulah dia. Selalu sama sejak pertama kali kami menikah. “Mama dan Papa bertengkar, ya? Tadi, kakak dengar Eyang marah-marah. Kakak mau bikin Eyang biar nggak marah lagi, tapi kakak takut. Eyang galak, ya, Ma? Jangan-jangan, Papa sekarang lagi dimarahin Eyang juga di sana? Ayo, Ma. Telepon Papa. Kakak takut Papa nanti sakit karena dimarahin.” Mata Adiva mulai berkaca. Gadis lima tahun dengan rambut keriwil sepundak itu menatap penuh harap. Manik bulat hitamnya sanggup meruntuhkan pertahananku. “Oke. Mama akan telepon Papa. Namun, setelah masak saja, ya.” Aku akhirnya mengalah. Demi kebaikan. “Ma, Papa. Papa.” Raina tak ingin kalah dengan si kakak. Dia turut menyebut Mas Irsyad. Kepalaku jadi pening. Kenapa sih dua gadis kecil ini sangat membutuhkan papanya? Padahal, jelas-jelas lelaki itu cuek saat melihat kami pergi. Tak ada sedikit pun upayanya untuk mencegah. Geram jika mengingat kejadian tadi. Setelah tawar-menawar yang pelik, akhirnya kedua anakku mau menurut. Adiva dan Raina sepakat untuk menelepon Mas Irsyad setelah aku selesai memasak. Sambil menunggu hidangan siap, mereka menonton serial The Little Pony di televisi layar datar yang terhubung dengan smartphone. Perasaanku berkecamuk. Bahkan, pisau tak sengaja mengiris telunjuk kiri saat memotong bawang. Perih di hati belum sembuh, kini sudah ditambah dengan luka di jari. Vana, begitu sakitnya hidupmu. Tak henti Tuhan mengirimkan cobaan berat. Sampai kapan kesedihan ini harus berlarut? Aku mendesah risau. Memperhatikan tangan yang berdarah. Dengan malas aku membersihkannya di air mengalir, lalu mengambil sebuah plaster di kotak P3K. Tak terasa, mata ini langsung meneteskan air. Ah, aku sudah tidak tahan lagi. Jiwa dan raga benar-benar terluka setelah insiden penamparan tadi. Mas Irsyad, lelaki yang menikahi dengan seribu janji manis, nyatanya malah menjebakku dalam kehidupan rumah tangga yang kompleks. Dua tahun pertama kehidupan awal rumah tangga, kami selalu cekcok akibat tak cocok hidup seatap dengan Mama. Wanita itu selalu saja menilai menantu pertamanya salah. Apa pun yang kulakukan, selalu cacat baginya. Tiada hari yang kami lalui tanpa kesalahpahaman. Selalu saja ribut. Namun, Mas Irsyad mau juga untuk menuruti keinginanku. Pindah ke rumah pribadi, walau harus berutang ke bank tempatnya bekerja. Itu pun, Mas Irsyad sudah marah-marah karena cicilan yang dianggapnya membuat berat. Aku paham sebenarnya. Mas Irsyad sangat ingin menguasai rumah peninggalan papa mertua. Lelaki itu merasa bahwa dialah yang paling pantas diwarisi rumah besar tersebut. Begitu tak habis pikir. Hanya karena harta, Mas Irsyad bisa-bisanya rela jika aku dijadikan bahan gorengan oleh ibunya sendiri. Kejam? Ya, mungkin itu kata yang tepat. Walau berwajah tampan dan mempesona, Mas Irsyad tak ubahnya seorang pria yang egois dan kasar. Dia selalu mengutamakan kenyamanan diri sendiri dan harta dibandingkan perasaan istri. Betapa sakit jika mengingat perbuatan buruknya selama ini. Namun, mengapa aku masih saja mau bertahan dengannya sampai saat ini? Harusnya, berpisah saja kan dari dulu? Masalahnya, aku hanya seorang ibu rumah tangga tak berpenghasilan. Sejak hamil Adiva, Mas Irsyad menyuruhku resign dari bank tempatku bekerja dulu. Ya, kami sama-sama seorang pegawai bank, meski berbeda perusahaan. Dasar pendidikanku memang tidak nyambung dengan karier terdahulu. Akan tetapi, hal tersebut memang sudah lumrah. Sarjana pendidikan memang banyak yang banting stir menjadi pekerja di berbagai bidang. Alasannya karena gaji yang menggiurkan. Kembali ke masalah berhenti bekerja, sejak hamil anak pertama, aku praktis menganggur di rumah. Mas Irsyad tegas menolak jika aku berkarier ketika memiliki anak. Dia ingin memiliki istri sekaligus ibu yang baik—seperti Mama—begitu menurut penuturannya. Aku ingin tertawa saat itu, tapi tak sampai hati untuk melakukannya. Bagaimana bisa Mas Irsyad mengatakan Mama adalah istri atau ibu yang baik? Kasar, egois, dan selalu merendahkan. Apakah itu definisi dari ‘mama yang baik’? Mas Irsyad mungkin mengidap sindroma narsistik. Menganggap dirinya sendiri maupun keluarga besarnya orang yang agung dan sempurna. Padahal, sangat jauh panggang dari api. Keterbatasan finansial, membuatku begitu tergantung dengan Mas Irsyad. Saat terpuruk seperti apa pun, tak mau aku mengucap kata cerai. Bagaimana mungkin seorang pengangguran nekat menjanda dengan dua anak? Apakah aku sudah gila? Ya, jelas saja tidak. Namun, tiga bulan yang lalu, pemerintah pusat mengumumkan akan membuka tes CPNS besar-besaran di seluruh Indonesia. Dengan agak memaksa, aku membujuk Mas Irsyad agar memberikan izin untuk ikut mendaftar. Walau berat hati, pria berwajah kearaban itu mengiyakan. Aku tahu, dia jelas saja tidak ikhlas. Tahu alasannya kenapa? Mas Irsyad adalah tipe lelaki yang sangat patriarki. Dia menganggap kekuasaannya berada paling atas di dalam keluarga. Saat aku berpenghasilan, sudah pasti dia ketakutan bahwa sang istri akan menyaingi dirinya. Aku sangat mengerti dengan hal itu. Tujuh tahun bersama sudah cukup untuk menjelaskan bagaimana tabiat lelaki yang gampang merajuk tersebut. Allah Maha Baik. Aku lulus tes dengan nilai passing grade tertinggi dalam formasi yang kulamar. Bangga, sudah pasti. Usia yang matang ternyata tak menghalangi untuk meraih prestasi. Bayangan kembali berkarier dengan status PNS kian menari di benak. Selamat tanggal kesulitan. Aku akan segera menjadi wanita yang mandiri dan tangguh. Namun, jalan yang ditempuh ternyata tak semulus yang diharapkan. Semua orang malah terlihat dongkol dengan kelulusanku. Mas Irsyad tampak setengah hati memberikan ucapan selamat. Bahkan, hari ini dia malah tega melakukan kekerasan hanya karena membela kesalahan ibu dan dua saudaranya. Mengenaskan! Setelah tenggelam dalam kesedihan, aku berusaha sekuat tenaga untuk menyelesaikan memasak. Sambil berderai air mata, aku menumis kangkung dan menggoreng udang di dua wajan berbeda. Di saat seperti ini, aku jadi rindu dekapan hangat almaruhma Bunda. Wanita hebat yang telah lama wafat itu, pasti sangat sedih jika melihat putri tunggalnya disakiti oleh orang lain. Terlebih jika itu adalah suaminya sendiri. Sayang sekali, Bunda telah tiada. Dia tak sanggup untuk sekedar menghibur atau membalaskan rasa sakit hatiku pada Mas Irsyad dan keluarganya. Setelah melamun agak lama, aku kembali tersadar dengan masakan yang telah terhidang rapi. Setengah hati, aku lalu memanggil Adiva dan Raina yang asyik menonton di kamar. Kedua gadis kecil itu bersorak girang. Mereka berhamburan ke ruang makan. Melompat-lompat sambil menagih janji minta diteleponkan sang papa. Aku risau. Ya Tuhan, bagaimana ini? Masa aku harus menelepon lelaki jahat itu? “Ayo, Ma. Telepon Papa sekarang. Nanti makanannya dingin. Terus nggak enak!” Adiva berteriak kencang. Dia tampak tak sabar. Berat hati ini, seperti ditindih oleh sekontainer batu kali. Kutarik napas perlahan, berusaha untuk mengendalikan emosi. Baiklah, aku harus mengalah. Demi anak-anak. Sambungan sibuk. Ternyata Mas Irsyad tengah menerima telepon lainnya. Beberapa kali kucoba, hasilnya tetap sama. Bahkan sampai berpuluh menit. Siapa yang sedang berbicara dengannya? Hati ini makin gelisah. “Kakak, Adek, maafin Mama. Papa nggak angkat teleponnya. Mungkin sedang ngobrol penting dengan bos di kantor.” Aku memasang wajah menyesal. Adiva dan Raina tampak kecewa. Keduanya langsung terlihat tak selera makan. “Oke, gini aja. Setelah makan, Mama akan kasih hadiah. Kita beli coklat di supermarket. Gimana?” Memang ini salah, tapi bagaimana lagi? Menyogok keduanya dengan makanan yang sangat kupantang bagi Adiva dan Raina, mungkin bisa jadi solusi. Semoga mereka berhenti merengek. “Mau!” Raina berteriak kencang. Batita yang sudah mulai lancar bicara itu terlihat berbinar. Namun, lain halnya dengan Adiva. Dia masih terlihat kecewa. Gadis kecil itu terdiam sambil menunduk. “Kakak kenapa?” Aku jongkok sambil bertanya pada gadis berkaos merah itu. Adiva hanya menggeleng lemah. Dia berjalan sambil menarik kursi, lalu duduk. Aku semakin sedih melihat wajah murung si sulung. “Mama, besok jangan bertengkar lagi, ya. Kakak pengen Mama dan Papa akur.” Denyut jantungku seolah berhenti. Seketika diri ini terhenyak. Seorang bocah lima tahun, begitu patah hati saat mengetahui kedua orangtuanya bertengkar. Bahkan, dia sampai menasihatimu agar tak melakukannya lagi. Tiba-tiba aku tersadar. Adiva telah beranjak besar. Dia bukan anak kecil yang tak mengerti apa-apa. Aku dan As Irsyad harus semakin hati-hati dalam bersikap, agar menjadi contoh yang baik untuk gadis itu. “Iya, Kak. Mama janji, nggak akan tengkar sama Papa lagi. Insya Allah.” Aku menyodorkan kelingking kanan pada Adiva. Gadis itu langsung mendongak. Tersenyum kecil sembari mengaitkan kelingkingnya dengan milikku. “Kalo ingkar, nanti hidung Mama akan panjang. Kayak Pinokio.” Aku mengangguk. Ya, Mama akan jadi Pinokio dan Papa bakal berubah jadi Suneo kalau kami berbohong. *** Hingga malam tiba, Mas Irsyad tak juga muncul. Aku menatap jam. Bahkan sudah pukul sebelas malam. Puluhan kali aku menelepon tapi dia tak kunjung mengangkat. Dua jam yang lalu, ponselnya pun tidak aktif. Hubungan kami berdua memang selalu penuh dengan pertengkaran sejak awal menikah. Sifat egois Mas Irsyad, menjadi awal dari cekcok. Sialnya, aku tak dapat keluar dari kerikuhan ini. Wajah anak-anak selalu saja jadi penghalang untuk mengucap kata pisah. Pulang selalu larut malam, hingga menginap di luar saat bertengkar, adalah hal-hal yang membuatku semakin muak dengan pernikahan ini. Jelas saja, kabar baik menjadi PNS adalah sebuah angin segar yang tak boleh dilewatkan begitu saja. Hal itu akan jadi penguat bagiku di saat-saat genting seperti ini. Oke, baiklah. Jika Mas Irsyad ingin selesai malam ini pun, aku sudi! Hampir pukul dua belas dini malam. Bel berbunyi berkali-kali. Terdengar nyaring dan mengganggu. Seseorang telah menekan dengan tidak sabar di luar sana. Aku bangkit dari sofa ruang tengah—sengaja aku tidur di sini karena menunggu si kurang ajar itu. Betapa kagetnya aku melihat sosok Mas Irsyad yang terlihat begitu kacau di depan pintu. Rambutnya masai dengan kedua mata yang merah. Sialan, mulutnya bahkan bau alkohol. Sejak kapan lelaki ini minum-minum? “Mas!” Aku berteriak kaget saat tubuhnya terhuyung ke depan. Hampir saja jatuh. Untung cepat kutangkap. “Uek!” Berkali-kali Mas Irsyad memuntahkan isi perutnya di depan tubuhku. “Ya Allah, Mas. Setan mana yang membuatmu seperti ini? Sejak kapan kamu menyentuh barang haram?” Aku histeris. Spontan, air mata berlinangan hingga jatuh di atas kemeja bau asap rokok milik Mas Irsyad. Karena tak sanggup menahan bobot Mas Irsyad yang hampir seratus kilogram tersebut, aku terduduk lemas dengan posisi tubuh Mas Irsyad tetap dalam dekapan. Akhirnya, dengan terpaksa aku harus menyeretnya agar kami bisa masuk ke dalam. Jelas saja, tubuh mungil ini tak sanggup memapah lelaki brewokan dengan postur yang besar tinggi. Sampai di ruang tengah, aku membiarkan dia tidur di atas permadani. Kulonggarkan kancing kemejanya agar dia dapat bernapas dengan nyaman. Belum selesai pekerjaanku, tiba-tiba mulut pria berkulit kuning langsat itu menceracau. Makin lama, suaranya terdengar jelas. “Clara ..., di mana kamu, Sayang? Clara ....” Ruhku seolah tercabut dari tubuh. Melayang ke angkasa dan hilang ditelan blackhole. Jiwaku seolah mati. Terkubur dalam rasa yang entah. Marah, kecewa, dan, ya ... cemburu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD