3

2091 Words
Clara. Sungguh bukan nama yang asing lagi. Bertahun-tahun aku mengenalnya akrab sebagai rekanan kerja Mas Irsyad di bank. Bahkan, perempuan usia dua puluh delapan tahun itu kerap datang ke rumah untuk mengantarkan berkas atau sekadar mengobrol denganku minta resep masakan. Tak ada yang mencurigakan. Semua kamuflase berjalan sempurna hingga ternyata aku telah dijebak selama ini. Clara, wanita yang mengaku memiliki seorang pacar di sebrang pulau sana, ternyata memiliki sebuah affair dengan suamiku. Ini benar-benar sebuah kejutan besar yang mematahkan segenap perasaan. Hancur dan lebur, begitulah keadaan seluruh jiwa dan raga. Tanganku bergetar hebat. Selama berumah tangga, hari ini adalah yang paling menyedihkan. Bertengkar dengan Mas Irsyad sampai berakhir dengan tamparan yang menyakitkan, kini dia malah pulang dalam keadaan mabuk dan menyebut nama perempuan lain. Tuhan, cobaan macam apa ini? Dosa apa yang pernah kulakukan sampai Kau tega memberikan hukuman yang sangat menyakitkan? Aku terduduk lemas. Bersandar pada kaki sofa dengan hati yang remuk. Mataky nanar. Menatap entah. Membayangkan hal-hal buruk silih berganti datang melukai hidup. Tiba-tiba, pandanganku bertumbuk pada sebuah guci China berukuran sedang yang bertengger di atas nakas kaca. Benda yang terbuat dari porselen itu tampak indah dengan corak naga berwarna biru. Tubuhku langsung bangkit. Berjalan ke arah depan dan menyentuh guci tersebut sambil tersenyum getir. “Mas Irsyad, apakah kamu menginginkan ini?” Aku meceracau sendiri. Tangan ini tak hentinya mengelus guci dari bagian bibir hingga ujung pantatnya. Dengan yakin, aku mengangkat guci yang lumayan berat itu. Memutar tubuh, lalu berjalan ke arah Mas Irsyad yang terbaring lemas di lantai. Selangkah demi selangkah, aku semakin yakin untuk melakukan sebuah tindakan yang sedari tadi memenuhi kepala. “Papa!” Teriakan Adiva dari arah belakang menyeruak. Nadanya girang. Derap langkah kecilnya terdengar semakin mendekat. “Mama, kapan Papa pulang? Kenapa Papa tidur di sini?” Adiva mendekat. Dia jongkok persis di sebelah Mas Irsyad. Melihat gadis kecil itu, aku lalu tersadar. Jiwaku yang tadinya melayang ke antah berantah, kini seolah menyatu dengan raga. Dengan lemas aku terduduk di depan keduanya. Memeluk guci sambil tergugu dalam tangisan. “Mama, kenapa nangis?” Adiva menyentuh lenganku. Dia tampak berkaca dan hendak menangis. “Nggak apa-apa. Mama sedih, Kak.” Aku cepat-cepat menghapus air mata. Adiva tidak boleh ikut menangis. “Sedih kenapa?” “Sedih melihat Papa sakit. Mama tidak kuat mengangkatnya ke kamar. Jadi, terpaksa Mama biarkan saja Papa di sini.” Aku melepaskan guci, lalu menyentuh kepala Adiva dan mencium keningnya. “Papa sakit apa, Ma? Kenapa Papa pulang malam-malam?” “Papa muntah. Sakit perut. Papa banyak kerjaan di kantor. Makanya pulang larut malam. Kakak sekarang tidur lagi, ya. Mama akan jaga Papa di sini.” Aku membimbing Adiva untuk kembali ke kamar. Syukurnya, anak itu menurut dan tidak banyak bertanya lagi. “Mama, kalau Papa masih sakit, bawa ke dokter, ya. Kakak nanti ikut antar Papa.” Adiva masih berucap saat aku hendak menutup pintu kamarnya. “Iya, Kak. Mama akan bawa Papa ke dokter. Kakak tenang aja, ya.” “Bangunin kakak ya, kalau mau pergi.” Mata Adiva penuh harap. Ketulusan yang besar terpancar dari sinar tatapannya. Aku mengangguk. Mengiyakan mau si sulung. Gadis kecil ini, sangat penuh kasih sayang dan perhatian. Aku tidak tahu, dari mana dia mendapatkan sifat itu. Karena aku tahu, Mas Irsyad tak mungkin menurunkan jiwa mulia pada anak-anaknya. Sedang diriku, ah ... rasanya kami berdua sama saja. Bukan orangtua yang sempurna lagi berhati mulia. *** Semalaman, pikiranku berkecamuk. Keinginan untuk memukul, mencekik, bahkan membunuh Mas Irsyad berkelebat di kepala. Melihat sosoknya yang menjijikan, beberapa kali perutku diserang rasa mual. Namun, saat aku hendak menghukum perbuatannya, rasa iba tiba-tiba muncul. Tidak, ini bukan karena kasihan padanya. Adiva-lah sumber rasa iba itu. Matanya yang jernih, selalu memenuhi pikiranku. Apalagi, anak itu pernah berpesan agar kami tak lagi berkelahi. “Kakak, Mama harus bagaimana?” Aku menangkupkan wajah dengan penuh rasa bersalah. Bingung harus berbuat apa. Logika memerintahkan untuk memberi b******n itu hukuman, tapi lagi-lagi nurani ini mengatakan untuk memberi maaf. Astaga, kurasa akal ini sudah rusak. Tidak dapat lagi menimbang mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak. Saat Mas Irsyad tidur dan mengigau beberapa kali, aku tak kunjung dapat memejamkan mata. Gelisah. Sesekali tubuh ini rebah di sofa, lalu turun lagi untuk duduk, dan kemudian naik kembali. Begitu terus hingga berkali-kali. Bayangan akan keluarga Mas Irsyad, perselingkuhannya dengan Clara yang entah sejak kapan dibina, hingga sikap suamiku yang begitu cuek serta semakin kasar akhir-akhir ini terus berkecamuk. Mengaduk hati dan isi kepala. Membuat pening dan gundah gulana. Ah, rasanya aku ingin mati saja. Supaya tak perlu memikirkan masalah berat ini. Tiba-tiba, aku seperti mendapatkan sebuah ilham. Sesuatu seakan berbisik ke telinga. Mengabarkan hal yang harus dilakukan untuk masa depan. Ya, aku memutuskan untuk bersabar—seperti yang diilhamkan barusan. Tak perlu mengungkit kejadian malam ini maupun tadi pagi lagi. Aku cukup diam. Bertindak seperti biasanya, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Membiarkan Mas Irsyad melakukan apa pun yang diinginkannya sampai dia puas. Karena, jika aku kembali melawan dan berontak, itu artinya melanggar perjanjian dengan Adiva. Tidak, aku tak mau mengecawakan gadis kecil itu. Janji antara kami tak boleh dinodai. Walau harus mengalah dan tersakiti untuk sementara. Aku hanya perlu fokus pada Adiva dan Raina, serta pekerjaan baru. Di dalam hati ini, seakan ada keyakinan yang tumbuh secara tiba-tiba. Akan ada suatu masa di mana aku bisa lepas dari belenggu masalah dengan Mas Irsyad. Cepat atau lambat, pasti semua akan selesai dengan jalan yang semestinya. Aku hanya perlu bersabar menunggu waktu. “Nak, kalau kamu disakiti, ingat saja bahwa Tuhan tidak pernah tidur. Dia akan membalaskan rasa sakitmu pada orang yang jahat di waktu yang tepat. Kamu hanya perlu bersabar untuk menunggu masa itu. Tersenyumlah padanya saat hukum sebab akibat itu terjadi. Karena, bumerang akan kembali pada si pelempar.” Kata-kata yang pernah terucap dari bibi Bunda kembali terngiang di telinga. Seperti mantra yang memiliki kekuatan magis, aku merasa kuat dan kembali semangat untuk menjalani kehidupan. *** Sebelum anak-anak terbangun, tepat pukul 07.30, Mas Irsyad mulai sadar setelah aku melap wajahnya dengan handuk dan air hangat. Matanya terbuka perlahan, lalu menyipit karena silau cahaya matahari. “Selamat pagi, Mas. Kamu mau sarapan apa?” Aku bertanya dengan nada yang lembut. Sama sekali tak membahas tentang keadaannya yang baru saja sadar dari mabuk. Mas Irsyad tampak kaget. Dia buru-buru bangkit, lalu mengusap wajah berkali-kali. Kepalanya menggeleng, seakan ingin mengembalikan kesadaran. “Aku kenapa?” Mas Irsyad bertanya dengan wajah yang kebingungan. Aroma busuk keluar dari mulutnya. Membuat ingin muntah. Namun, sebisa mungkin rasa mual itu ditahan. Aku tak ingin dia tersinggung lalu kembali marah-marah. Pokoknya, Mas Irsyad harus diperlakukan dengan super baik—sesuai dengan permintaannya selama ini, meski dia sama sekali tak ada baik-baiknya padaku. “Kamu pulang jam dua belas malam. Muntah-muntah lalu pingsan. Aku minta maaf karena tidak membawa ke kamar. Berat, nggak kuat.” Aku tertawa kecil. Tentu saja itu hanya akting. Rasa sakit seperti ditikam sembilu masih kentara dalam d**a ini. “Maafkan aku, Van. Tadi malam kami ada acara kantor. Aku minum sedikit. Aku salah dan khilaf. Silahkan kalau mau marah.” Wajah Mas Irsyad tampak menyesal. Dia menunduk. Namun, nada suaranya tetap saja acuh tak acuh dan malah terlihat seperti menantang berkelahi. Aku menggeleng, lalu memaksakan diri untuk tersenyum. Sandiwara ini harus sukses dijalankan. Sama suksesnya seperti yang dilakukan Mad Irsyad dan Clara selama ini. “It’s okay. Tidak apa-apa. Mas mau makan apa? Biar kumasakkan.” “Apa saja, Van. Harusnya aku sudah di kantor sekarang, tapi kepalaku pusing. Mungkin hari ini aku akan izin pada atasan. Biar dipotong jatah cuti saja.” Mas Irsyad berusaha untuk bangkit. Aku langsung sigap berdiri dan meraih kedua tangannya, membantu lelaki berperut agak buncit itu berdiri. “Hati-hati, Mas. Awas jatuh.” Aku berusaha untuk menjadi wanita yang penuh perhatian. Mungkin, selama ini Mas Irsyad merasa kurang kasih sayang, makanya di luar sana dia caper. Sampai memutuskan untuk selingkuh. Padahal, aku terlalu sibuk dengan pekerjaan rumah tangga yang tiada habisnya. Mengurus dua balita yang sangat aktif tanpa diberikan pembantu maupun pengasuh. Mana mau sih Mas Irsyad berpikir? Yang penting kan keinginannya terpenuhi. Masalah lain dipikir belakangan. Betul-betul b******n dan egois! “Van, tumben sekali kamu nggak marah-marah? Kamu nggak mau ngebahas tentang Mama dan adik-adikku lagi?” Mas Irsyad telihat sangat heran. Dia sampai memiringkan kepalanya demi menatap ke arah mataku. “Buat apa aku marah? Kan aku yang salah. Kamu sudah sepantasnya memukul istri yang membangkang. Maaf ya, selama ini aku banyak kesalahan pada kalian.” Aku mengulas senyum termanis. Padahal, d**a ini sudah mendidih karena luapan emosi. Sabar, Vana. Ingat kata bundamu! “Van—” Aku cepat memotong, “Sudahlah, Mas. Jangan dibahas lagi. Aku ingin kita baik-baik terus sampai tua. Mau kan?” Aku menggenggam erat tangan Mas Irsyad. Demi Tuhan, sungguh mati aku jijik melakukan kepura-puraan ini. Kalau tidak memikirkan Adiva, sudah pasti Mas Irsyad tewas sejak tadi malam. Mas Irsyad tertegun. Dia membisu sepanjang perjalanan menuju kamar. Entah apa yang dipikirkan lelaki berbulu itu. Walau menahan emosi dan berubah menjadi orang lain, aku berusaha agar kamuflase ini tidak terendus. Jangan sampai Mas Irsyad tahu bahwa aku hanya berpura-pura saja. Sekali lagi, semua demi Adiva. Suatu hari nanti, jika memiliki kesempatan, demi Tuhan aku akan membalas semua rasa sakit ini pada Mas Irsyad! Tunggu saja. *** Berbagai makanan kusajikan pada Mas Irsyad yang sudah duduk manis di atas meja bersama Adiva dan Raina. Kedua bocah itu sibuk melendot pada sang ayah. Bercerita, membahas banyak hal, sambil sesekali tertawa riang bersama. Kebahagiaan Adiva dan Raina, benar-benar menjadi obat patah hati bagiku. “Nah, mari makan. Semuanya sudah lengkap. Ada roti bakar,  sosis, nasi goreng kornet, telur mata sapi, dan satu lagi. s**u buat Adiva dan Raina, sama kopi kesukaan Papa.” Aku berkata dengan riang sambil membawa baki berisi beberapa piring makanan dan gelas. Adiva dan Raina menyambut dengan suka cita. Keduanya langsung saja mencomot roti bakar isi selai cokelat kesukaan mereka. Dua beradik itu kompak makan dengan lahap sambil memamerkan kebolehan mereka pada Mas Irsyad. “Wah, anak papa semuanya pintar, ya. Kakak sama adek semakin besar semakin cerdas. Makannya juga lahap. Anak siapa, sih?” Mas Irsyad memberikan pujian sembari mengelus kepala Adiva dan Raina bergantian. Keduanya kompak menjawab dengan keras, “Anak Papa!” Mendengar itu, hatiku terisir. Sakit dan perih. Betapa Adiva dan Raina sangat membanggakan sosok sang papa. Tanpa mereka ketahui, Mas Irsyad telah menghianati dan menyakiti kami bertiga dari belakang. Jika saja Adiva dan Raina mengerti saat dewasa nanti, sudah dapat dipastikan bahwa mereka akan menyesal pernah mengagungkan seorang bapak tukang selingkuh dan kasar terhadap ibunya. Saat ketiganya asyik menyantap sarapan, aku mulai membuka percakapan. “Pa, besok malam Mama pengen kita makan malam bersama. Dengan menu spesial. Sudah lama Mama nggak masak besar. Gimana, Papa mau?” Aku berkata dengan lembut pada Mas Irsyad. Di depan anak-anak, kami berdua memang sepakat memanggil satu sama lain dengan sebutan Mama-Papa. Agar Adiva dan Raina mencontoh. Lelaki yang sedang mengunyah nasi goreng itu terlihat antusias dan langsung menjawab. “Boleh. Papa setuju. Tolong masak bebek betutu dan rawon, ya. Papa pengen banget.” Mas Irsyad tersenyum lebar. Matanya berbinar memancarkan kebahagiaan. Saat mendapat persetujuan, aku langsung merogoh saku daster. Mengambil ponsel lalu menekan tombol panggilan. “Halo, pagi, Say. Eh, besok malam ada acara nggak? Oh, nggak ada. Syukur, deh. Gini, kita mau ngundang makan malam bareng. Aku pengen masak besar gitu. Mau kan?” Aku mengobrol asyik dengan seseorang. Senyuman manis ikut terulas seolah si penerima telepon dapat melihat. Sesekali aku melirik wajah Mas Irsyad. Memperhatikan perubahan ekspresinya. Terlihat lelaki berhidung mancung dan besar itu bingung. Seakan ada tanda tanya besar muncul dari matanya. “Wah, asyik! Datang sore, ya, Say. Pulang ngantor kalau bisa langsung ke sini. Temenin aku masak. Mau kan? Ntar, minggu depan aku traktir nyalon, deh. Gimana?” Mas Irsyad semakin bingung. Air mukanya seakan gelisah. Menahan kata-kata. Mungkin dia sudah tak sabar ingin bertanya dengan siapa aku berbicara. “Oke, deh! Aku tunggu, ya. Aduh seneng banget. Aku kangen banget soalnya sama kamu. Kan udah lumayan lama nggak ketemu. Oke deh kalau gitu. Aku lanjut dulu, ya. Bye, Sayang.” Aku langsung mematikan sambungan telepon. Mernaruh kembali ponsel ke dalam saku. “Siapa, Ma? Kok kamu ngajakin orang lain segala?” Satu alis tebal Mas Irsyad terangkat. Wajahnya seolah menunjukkan ketidaksukaan. “Clara, Pa. Aduh, masak bilangnya orang lain, sih. Kan Mama udah anggap dia sodara sendiri. Boleh, ya? Kami udah lama nggak ketemu soalnya. Terakhir pas family gathering kantor dua bulan yang lalu.” Senyum manis langsung melengkung di bibirku. Mendengar itu, entah kenapa, muka Mas Irsyad langsung berubah. Rona merah bersemu di pipinya. Dia tiba-tiba tersenyum, lalu mengangguk pelan. “Oh, Papa kirain siapa.” Mas Irsyad kembali meneruskan makannya. Dia tampak menikmati nasi goreng dengan penuh penghayatan. Suap demi suapan lembut mengayun ke mulutnya yang menyunggingkan senyum. Oh, begini toh, orang yang sedang jatuh cinta. Nasi goreng buatan istri terasa seperti buatan chef kapal pesiar mewah. Layaknya bertabur parutan emas dan bubuk Intan berlian. Aku jadi merasa iri. Kapan kah aku bisa merasakan hal yang sama dengan Mas Irsyad  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD