Bab 4 : Jalur tikus

1131 Words
Keadaan kantin gedung tehnik terlihat sangat penuh, beberapa bahkan harus selonjor di bawah pohon beringin yang menang sengaja di tanam tepat di belakang gedung fakultas tehnik dan fakultas agama Islam. Adul yang telah selesai jam mata kuliahnya, langsung menuju kantin yang terletak dekat dari fakultas nya, dan juga beberapa rekannya kadang berkumpul di kantin ini. Ia mencari ke sudut-sudut ruangan tempat favorit para perusuh kampus, nyatanya satu pun batang hidungnya tidak nongol sama sekali. "Aish, kemana semua para manusia itu?" Dumel Adul dengan mata yang masih menyusuri seluruh penjuru kantin. Hingga suara tawa yang amat keras menarik perhatian Adul, pemuda yang Abdullah itu pun hanya bisa mendengus kesal, pantas saja tidak terlihat di sudut mana pun, rekan-rekannya malah asyik selonjoran tertutupi pohon beringin, kalau saja tubuh Fahri Aswad tidak terlihat, mungkin ia akan memutuskan kembali ke rumahnya. "Woy, Bang. Dicariin dimana-mana, malah kayak Kunti di bawah pohon gini," ujar Adul "Alah, udah datang Adul tarkadul-kadul. Yok pulang aja, Bang." Fahri sengaja memanas-manasi Adul yang terlihat sudah sangat kesal menatap ke arah mereka. Sedangkan para pemuda yang berada di sana sudah tertawa ngakak, apalagi ketika Ucok dan Andi dengan sengaja ikut berdiri menyusul Fahri. "Akh, gak enak kali memang manusia-manusia ini, iya. Pengen kali aku tenggelamkan ke danau Toba." Adul duduk di samping pemuda yang memakai kemeja planet berwarna navi bernama lengkap Panji. "... Kenapa gak ke tempat biasa kalian, Bang?" Lanjut Adul yang dengan santainya mengambil kacang goreng yang masih dalam kemasan dan memakannya, tanpa perduli dengan teriakan Fahri yang tadinya berpura-pura pergi, harus bergerak cepat menyelamatkan kacang gorengnya dari kerakusan Adul. "Adul!!.... Jangan dimakan, gak ridho aku. Masuk neraka jalur prestasi nanti kau." Teriak Fahri yang langsung berlari menarik sebungkus kacang yang ada di tangan Adul. "Bagi dikit lah, bang. Pelit kali sama adek sendiri," ucap Adul dengan tetap mempertahankan sebungkus kacang goreng di tangannya. "Gak ada, kau anak sultan, jangan sok jadi orang gak punya yang gak bisa beli sebungkus kacang goreng goceng." Adul tetap mempertahankan sebungkus kacang itu, bahkan ia dan Fahri berebut seperti anak TK. "Bang, bagi dikit elah. Nanti aduk ganti sama ayam geprek kampus." Mendengar itu, Fahri langsung melepaskan tarikannya pada bungkus kacang. "serius kau, Dul? Yaudah kau makan lah itu, habiskan sekulit-kulitnya, mana sini uangnya?" Tangan Fahri menadah meminta uang yang dijanjikan Adul tadi. Adul bukannya memberikan uang itu, ia malah sibuk cengengesan dan memberikan tanda peach pada jarinya, arti sebuah perdamaian. "Nanti lah bang, langsung ditodong awak, dah kayak di rampok aja." "Kan, emang niatku mau rampok kau, Dul." "Kok bangcat kamu bang?" Seketika gelak tawa menguar di bawah pohon beringin tersebut. Hingga instruksi dari Ucok membuat keadaan kembali hening. "Perhatiannya dulu," ucap Ucok yang duduk bersandar di pohon beringin. "Kita jadi mau nanjak libur Minggu depan?" Tanya Ucok kepada semua anggota yang ada di samping dan depannya. "Aku belum tau, Bang. Kayaknya gak bisa ikut." Sahut sebuah suara di samping kiri Ucok. "Kenapa gak ikut kau, Panji?" "Taukah, Bang. Mamak aku lagi sakit. Kapan-kapan aja aku ikut sama kalian." Ucok mengangguk paham. " Yang lain gimana?" "Kalau aku ACC aja, Bang. Kalau jadi, ayok. Kalau gak jadi yah harus jadi." Sahut Fahri yang tengah asyik memakan kacang gorengnya. "Kalau si Aswad jangan ditanya-tanya, Bang. Udah agak gila otaknya." Fahri yang mendengar itu memilih diam, menunggu saat yang tepat untuk membalas Adul. Ia menatap Adul dengan pandangan penuh dendamnya. "Kau, Dul. Ikut?" Tanya Ucok. Pasalnya diantara mereka semua, yang paling susah untuk ikut itu adalah Adul. Ia bekerja part time, jadi agak susah untuk ijin libur. "Ikut, Bang. Soalnya aku udah mau resign lah dari kerjaan itu. " "Loh, kenapa?" "Biar gak dikira anak sultan mulu sama si Aswad." Celetuk Adul dengan ringannya. Ucok hanya geleng-geleng kepala melihat permusuhan yang terjadi antara Fahri dan juga Adul. "Yaudah, kalau kau bisa ikut. Yang lain? Biar kita tau perlu gak chapter mobil?" "Aku ACC bang, ikut ajalah." Teriak salah satu anggota, dan disusul anggota lainnya. "Jadi bumper di danau Toba?" "Kayaknya gak lah, masa bumper. Pengen mendaki aja." Sahut Andi yang sedari tadi duduk anteng sambil merokok. "Iya sih. Jadi kemana?" Ucok menimbang lokasi yang akan mereka tuju, jika bumi perkemahan di danau Toba, tidak akan seru jika bukan saat-saat perayaan besar, seperti tahun baru. Tapi mengingat bahwa dirinya memiliki banyak tugas, sangat tidak mungkin juga mereka mendaki di luar daerah, apalagi terbatas dengan ekonomi para anggota yang ingin ikut. "Sibayak ajalah, Bang. Sesekali." Saran Andi yang disetujui beberapa anggota kelompok. "Iya, Bang. Jalurnya juga udah kita hapal, jadi yah aman lah." "Akh, kalau lewat jalur biasa, gak serulah, mending lewat jalur tikus, kata orang anak tehnik tuh, lebih seru dan menantang. " "Emang ada jalur tikus?" Tanya Ucok penasaran dengan jalur tikus yang diucapkan oleh Andi, pasalnya jalur tikus ini merupakan jalur yang dibuat oleh pendaki lain untuk mencari pengalaman yang lebih seru, dan biasanya jalur ini jarang dipakai orang-orang umum. "Gak usah aneh-aneh lah, Bang. Bagus jalur umum aja, udah. Lagian sama aja, mau nanjak." Adul tidak menyetujui saran Andi, bukan apa-apa, tak jarang ada kejadian yang tidak di inginkan terjadi pad pendaki yang lewat jalur tikus. Fahri tertawa mendengar ucapan Adul. "Owalah, Dul-dul. Itulah gunanya kita mendaki, mencari tantangan dan pengalaman baru, kalau terus ngikutin jalur umum yah gak bakal ada tantangannya, orang kita pasti hapal itu," ucap Fahri sombong. "Bukan gitu konsepnya,Aswad. Ini kita bawa adek-adek yang kebetulan mau ikut, lah mereka kan belum tau jalur umum, kenapa harus pakai jalur tikus? Lagian bahaya, kita gak tau apa aja tantangan di jalur tikus itu." "Kata kawanku itu, jalurnya aman kok, sama aja, nanti tembusnya di post 2, cuma sedikit lebih lama sih." Sahut Andi yang sudah melemparkan rokoknya jauh. Ucok menengahi perdebatan antara Adul dan juga Andi. "Udah gini aja, kita poling aja, siapa yang setuju siapa yang gak, intinya kita ke Sibayak kan?" Ucok angkat bicara. "Yaudah, poling aja." Satu persatu anggota memberikan pilihannya, dan entah mengapa ketika dihitung, poling paling banyak itu menuju ke Sibayak dengan jalur tikus, Adul hanya bisa sabar dan berdoa semoga mereka selama dan pulang dalam keadaan utuh. "Berarti kita lewat jalur tikus, Kan?" Tanya Ucok sekali lagi. Mereka semua mengangguk setuju, lalu satu persatu membubarkan diri, yang tersisa hanya ada Adul, Ucok dan juga Andi. "Kau yakin kan Ndi ini aman?" Tanya Adul sekali lagi, entah mengapa ia sangat tidak setuju dengan saran jalur tikus ini. "Yakin, Dul. Dah lah, jangan parnoan. " "Bukan parnoan, tapi yah kita menghindari masalah, itu aja sih. Setiap kita pergi mendaki, ada orang-orang yang nunggu kita di rumah. " "Iya pak ustad, aman lah semua itu, santai aja di boncengan." Ketiga orang yang masih berada di bawah pohon itu pun hanya bisa terkekeh, dan tertawa geli. Biarlah takdir yang akan menentukan keselamatan mereka, pikir Adul.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD