Yasmin Dua

1112 Words
Jangan lupa simpan di reading list kamu ya.??? Selamat membaca. Jaja dan Nanang sedang menikmati makan siangnya di kantin pabrik. Seperti biasa, Jaja hanya membawa lauk nasi dan ikan goreng, lalu dibaluri kecap, sedangkan Nanang bekal makan siangnya disiapkan oleh Nunung, pacarnya. Ada tumis kangkung dan ayam goreng. Jaja melirik kotak bekal Nanang. "Enak bener dah ah, yang punya pacar. Dimasakin terus," goda Jaja sambil mencolek lengan Nanang. "Makanya lu, Ja. Kalau cari calon istri, janda aja. Selain jago masak, pinter nyari duit, pasti pinter juga wik..wiik..wiikk...!" "Lha, bunyi kasur gua itu." Jaja terbahak, begitu juga Nanang. Huukk! Huuk! Jaja tersedak tulang ikan. Air matanya meleleh. "Tulang...tulang...tolong!" susah payah Jaja meminta tolong pada Nanang, namun Nanang tidak paham juga. Ia berlari ke tenda penjual nasi campur. "Mbak, tolong ... nasi...!" "Pake lauk apa?" "Gak...pake... lauk!" terputus-putus Jaja bicara pada pelayan warung. "Nasinya aja?" tanya pelayan warung nasi tersebut. Jaja sudah tidak tahan menahan perih di lehernya. "Iya...cee...paat." "Tiga ribu apa lima ribu?" "Seribu ajaa." "Maaf ya, beli nasi kok seribu, sana makan nasi mentah!" "Tolong...Mbak, saya kesel..." "Eh, kok malah kamu yang kesel, harusnya saya yang kesal. Dasar orang aneh!" "Kesellleekk...Mbak, tolong!" air mata Jaja sudah bercucuran, sambil memegang lehernya. Ya Allah tolong jangan cabut nyawa saya sekarang. Saya belom nikah ya Allah. "Oh, kamu keselek. Bilang dong, dari tadi." Mbak pelayan warung nasi mencuci tangannya, lalu mengambil nasi hangat di dalam rice cooker, kemudian ia taruh di piring kecil. Dia ambil sebagian lalu ia kepal-kepalkan. "Nih, langsung telan jangan dikunyah!" titah si mba. Jaja mengangguk, lalu menelan nasi hangat yang sudah dikepalkan. Susah payah ia menelannya, hingga seperti orang tersedak dan akan muntah. Alhamdulillah berhasil. "Bisa?" "Alhamdulillah bisa, Mbak. Terimakasih ya. Ini uangnya." Jaja mengusap lehernya lega, dari kantung celananya ia mengeluarkan uang koin seribuan dari dalam saku celananya, lalu diberikan pada si pelayan warung. "Makanya, kalau lagi makan jangan bicara, apa lagi ketawa. Jadi tersedak, untung saya cepat paham. Kalau tidak, bisa-bisa masnya almarhum deh." "Iya, Mbak. Terimakasih." Jaja berjalan kembali ke tempat duduknya bersama Nanang. "Apaan, orang udah mau mati nahan tulang, masih ditanya mau pake lauk apa? tiga ribu apa lima ribu?" cibir Jaja dalam hati. Ia kembali duduk di samping Nanang. "Kenapa lu?" "Gue ketulangan oon!" umpat Jaja kesal, sambil melempar tisu ke wajah Nanang. "Oh, ketulangan. Sorry Ja, gue ga ngeh. Makanya sekali-kali lauknya daging ayam dong, atau ikan tuna gitu, yang tanpa tulang. Jangan ikan mulu. Ketulangan deh." "Huuuhhh...gue juga mau kali lauk ayam, atau daging. Tapi duit gue kaga cukup, Nang. Kalau gue makan makanan keren gitu." "Emang duit gaji lu pada ke mana sih? kismin bener. Pan gajian empat juta dua ratus kita." "Bapak gue ngutang mulu, jadi gue ketempuan ganti deh." "Oh, alah sabar ya, Ja. Semoga rezeki lu berkah udah nolongin orangtua." "Aamiiin." "Makanya cari pacar janda, Ja. Serius, enak deh pokoknya. Bisa grepe grepe dikit, aahhaaayy..." Nanang tertawa lebar, Sedangkan Jaja mencibir. "Buat dosa aja girang lu!" sentak Jaja sambil melotot ke arah Nanang. "Ya udah cariin gua dah kalau gitu, tapi jangan janda uzur lho!" Keduanya terbahak kembali. Tanpa mereka sadari, pemilik pabrik Bu Yasmin biasa mereka memanggilnya, setengah berlari ke arah mobilnya. Sudah ada Pak Yudis, supir beliau yang membukakan pintu. Kasak-kusuk karyawan pabrik yang saat ini berada di kantin luar, membuat Jaja dan Nanang menoleh. Keduanya saling pandang. Ada apa? Pikir mereka heran. "Ada apa, Ian?" tanya Jaja pada salah seorang teman wanitanya. "Itu ga liat tadi, Bu Yasmin lari masuk ke dalam mobil sambil nangis." "Oh, ya allah. Ada apa ya? Mudah-mudahan semua baik-baik aja ya," ujar Jaja sambil terus memperhatikan mobil BMW bosnya keluar dari gerbang tinggi pabrik. **** "Mas...jangan seperti ini. Bangun, Mas!" isak tangis Yasmin mengiringi pemakaman suaminya Arman. Yah, pemilik pabrik dan beberapa restoran itu, akhirnya meninggal dunia di rumahnya, tanpa ada yang mengetahui. Bik Narsih yang saat ini baru kembali menjemput Reza sekolah. Kaget saat menemukan Arman sudah terbujur kaku di atas sofa ruang tamu. Tempat biasa Arman beristirahat. Penyakit lambung akutnya yang sudah ia idap sejak SMP, akhirnya membuat ia menghembuskan nafas terakhir di usia 30 tahun. Masih sangat muda dan energik. Betapa terpukulnya Yasmin dan keluarganya. Reza juga tidak kalah sedih, bahkan anak usia lima tahun itu meraung tatkala jasad papanya tercinta masuk ke dalam liang lahat. "Mas, maafkan saya. Maafkan, Mas!" Yasmin terus saja memukul dadanya dengan marah. Betapa dzolimnya ia pada suaminya yang saat sakaratul mautnya, tidak didampingi oleh siapapun, bahkan dirinya. Tubuh lemah Yasmin bersandar pada ibu mertuanya yang juga terisak. Sedangkan Reza, saat ini telah digendong oleh opanya. Dua keluarga besar Yasmin dan Arman begitu kaget dan terpukul atas kepergian Arman di usia masih sangat muda. "Amih, papa abang kok ditanam? Kasian Amih. Opa, papa abang jangan ditanam. Hiks..hiks..." Reza kembali meraung dalam gendongan opanya. Lelaki tua itu hanya bisa memeluk erat, sambil mengelus kepala cucunya dengan sayang. "Mas," lirih Yasmin memeluk gundukan tanah merah yang sudah tinggi, menutupi pusara suaminya. "Aku mencintaimu, Mas. Maafkan aku. Kenapa kamu pergi tanpa pamit, Mas!kenapa?" teriaknya lagi hingga membuat semua yang hadir disana ikut terisak. Tiga orang lelaki menggotong tubuh lemah Yasmin menuju parkiran mobil. Diikuti oleh beberapa sanak familinya. "Ya Allah, perasaan baru sebulan yang lalu liat pak Arman masih sehat. Eh sekarang udah ga ada. Kasian ya Bu Yasmin," ujar Jaja yang diikuti oleh anggukan tiga orang temannya. Begitu mendengar kabar pemilik pabrik mereka meninggal dunia, semua karyawan kaget bahkan ada yang menangis, mereka teringat kebaikan pak Arman. Bos yang tidak pernah lalai dalam menjalankan kewajibannya dalam hal memenuhi gaji karyawan yang selalu tepat dan jelas perhitungannya. Bahkan jika ada karyawan sakit dan memberikan surat sakit, maka ada uang kesehatan yang ia berikan. Diluar asuransi kesehatan yang pabrik berikan. Tidak rela rasanya, jika bos muda mereka begitu cepat Allah panggil. Para pejabat pabrik yaitu, Manager Marketing, Supervisor, Pengawas Gudang, Pengawas Pemasaran, hingga dua orang security pabrik,ikut melayat hingga Pak Arman dimakamkan. Jaja bersama delapan orang temannya termasuk Nanang, ikut sampai ke pemakaman. Mereka melihat betapa terpukulnya Bu Yasmin atas kepergian suaminya. "Yuk kita pulang!" ajak Nanang pada teman-temannya. "Eh, jangan! Kita ke rumahnya aja lagi. Siapa tahu tenaga kita dibutuhkan di sana." Jaja menahan teman-temannya yang akan pulang. "Lu aja deh, Ja. Gue mau anter emak ke dokter," sahut Nanang dan diikuti anggukan lima orang teman lainnya. "Ya sudah, sama kita aja deh, Ja," ajak Yuni dan Dian. Jaja mengayuh sepeda tuanya kembali ke rumah almarhum bosnya. Sedangkan Dian dan Yuni sudah terlebih dahulu pergi dengan mengendarai sepeda motor. "Kasihan, masih muda, ganteng, sholeh, kaya, baik eh malah umurnya pendek. Coba yang umurnya pendek itu mafia-mafia narkoba ya," gumamnya sambil terus mengayuh sepedanya. **** Jangan lupa tab love dan simpan di library kalian ya. Terima kasih
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD