bc

Dia Diannaku

book_age12+
618
FOLLOW
5.9K
READ
second chance
goodgirl
sensitive
drama
serious
school
like
intro-logo
Blurb

Spin of S E N J A

Disarankan baca S E N J A dulu yah kak biar nggak bingung alurnya.

Terlahir dari keluarga broken home, menjadikan Nana sapaan akrab Dianna Athabina menjadi anak yang kaku dan pendiam. Paras cantiknya yang diwarisi dari perpaduan delapan puluh persen wajah ayah, dan dua puluh persen wajah ibunya tidak cukup membuatnya memiliki banyak teman.

Kehidupan menuntutnya dewasa diusianya yang masih remaja. Beberapa orang yang mengetahui masa lalu keluarganya, membuatnya menjadi korban perundungan akibat dari kesalahan orangtuanya.

Ibunya sudah menikah sejak dirinya masih bayi, sedang ayahnya tidak pernah lagi mengunjunginya sejak dirinya masuk sekolah Dasar. Iya ingat betapa ayahnya menyayanginya, tapi entah kenapa sejak sepuluh tahun terakhir ayahnya jarang bahkn tidak pernah sama sekali melihatnya. Sekarang yang tersisa hanya seorang nenek yang sudah renta, tempatnya berkeluh kesah dikala dirinya benar benar butuh bercerita.

"Nek, katakan salahku apa jika lahir dari keluarga tidak utuh. Nana juga kalau dikasih pilihan pasti akan memilih orang tua yang bisa memberi Nana contoh yang baik. Katakan Nek, apa yang harus Nana lakukan?"

Masalahnya tidak hanya sampai disitu saja, kisah cintanya pun semakin rumit ketika dirinya bertemu dengan Attharaska Aditya. Sosok pria yang tidak oernah bisa membuat hidupnya tenang, namun siapa yang menyangka jika pria yang akrab di sapa Rasya tersebut hanya merasa penasaran atas penolakan Dianna selama ini. Rasya semakin teryantang untuk mendapatkan cinta seorang Dianna. gadia yang terkenal dengan kepintarannnya di sekolah.

Semua semakin rumit ketika masalah demi maslah datang beruntun, dan mengharuskan mereka menikah.

chap-preview
Free preview
Chapter 1
"Ayah menyayangiku..?" Dengan bahu terguncang Dianna Athabina Putri yang kerap disapa Nana, memeluk sebuah buku yang berisi tulisan tangan mendiang neneknya. Selama ini dirinya telah salah menduga tentang ayahnya. Dirinya berfikir jika ayah adalah penyebab utama penderitaan yang selama ini dirinya lalui. Melalui tulisan tersebut, nenek Farida menyampaikan jika ayahnya lah orang nomor satu yang sangat menyayanginya. Bahkan ayahnya rela melakukan apapun untuk mempertahankannya. "Nenek.. Kenapa nenek meninggalkan Nana seorang diri. Nenek.. Nana butuh teman..." Nana mendekap buku tersebut dalam pelukannya. Air matanya bercucuran membasahi wajah ayunya. "Selama ini hanya Nenek yang mengerti Nana.." "Andai waktu bisa kembali nek, Nana tidak akan menanyakan apapun mengenai orang tua Nana. Nana yang jadi penyebab kepergian Nenek." Nenek Farida adalah ibu dari pihak ibunya, sedangkan nenek dari pihak ayahnya ia merasa belum pernah bertemu dengannya. Nenek juga tidak pernah bercerita apa-apa mengenai keluarganya. Terakhir kali Dianna menanyakannya, Justru membuatnya harus kehilangan. Kehilangan sang nenek, orang yang sangat tulus memberinya kasih sayang selama ini. Masih dengan isak tangisnya, Nana kembali membuka lembar demi lembaran buku yang tadi dipegangnya dengan sangat erat. Di halaman terakhir terdapat sebuah nama yang iya tahu nama ayahnya beserta dengan alamat lengkapnya. Di lembaran lain sang nenek juga menuliskan pesan berupa wasiat untuk dirinya. 'jika suatu saat Nana menemukan buku ini, dan nenek sudah tidak ada. Nana harus datang ke alamat yang nenek tulis diatas nak. Dia ayahmu, ayah yang sangat menyayangimu. Maafkan nenek yang membuatmu pergi jauh darinya. Nana harus tahu, Semua yang nenek lakukan, itu untuk kebaikan Nana. Nenek sangat menyayangimu nak.' "Ne..nekkk" Tubuhnya luruh jatuh ke lantai yang hanya beralaskan tembikar. Dianna benar-benar berteriak. Selama ini memang harta yang iya miliki hanya nenek, wanita yang diusia senjanya tidak pernah lelah merawat dirinya sejak iya masih kecil. Ibu Siti yang merupakan tetangga terdekatnya datang menghampiri Dianna yang sedang berteriak histeris. "Nak, kamu harus sabar. Ikhlaskan nenek kamu, biar dia juga tenang di alam barunya. Kamu bisa ikut ibu saja kalau kamu merasa kesepian disini. Ibu juga hanya tinggal sendiri nak. Kamu tahu sendiri bukan, Anak ibu biasanya pulang jika dapat cuti lebaran saja." Ibu Siti mencoba membujuk Nana yang terlihat sangat kacau. Ibu Siti cukup memahami bagaimana kesedihan yang dirasakan oleh Nana. Kehilangan orang tersayang memang sangat menyakitkan, terlebih hanya nenek satu-satunya keluaega yang ia tahu. "Terimakasih banyak bu, Nana bersyukur bisa mengenal Ibu. Nenek juga dimasa hidupnya selalu membicarakan kebaikan ibu yang tidak pernah bosan membantu kami jika mendapatkan kesulitan. Nana tidak ingin merepotkan ibu terus" "Jangan berkata seperti itu nak, ibu sudah menganggap Nana seperti anak ibu juga. Jangan pernah mengucap kata repot. Seorang Ibu dan anaknya tidak akan pernah ada kata repot merepotkan. Justru ibu senang jika masih bisa membantu orang yang sedang membutuhkan." Ibu Siti terus berusaha agar gadis remaja dihadapannya bisa kembali merasa tenang. "Ibu.. Terimakasih" Nana segera menghambur kedalam pelukan Ibu Siti. Wanita yang kira-kira berusia diatas empat puluh tahun tersebut, memang sangat peduli pada dirinya dan neneknya. Mereka selalu mendapatkan jatah makan malam berdua dari ibu Siti. Sehingga neneknya hanya memasak dipagi hari yang cukup untuk mereka makan hingga siang hari, karena pada malam hari Ibu Siti lah yang membawakan mereka nasi beserta dengan lauk pauknya. "Sekarang kamu bersiap, dan setelah ini kita ke rumah ibu. Ibu tidak mau melihat Dianna terus bersedih seperti ini." Ibu Siti mengusap pundak Dianna yang sesekali masih sesegukan menahan tangisnya. "Nana minta maaf bu, sebelumnya Nana akan berangkat ke kota. Nana akan bekerja hingga mendapatkan ongkos yang cukup untuk pergi." Ucap dianna mencoba menjelaskan tujuannya pada bu Siti. "Kamu mau ngapain ke kota nak. Kehidupan disana keras. Kamu cukup disini saja, Ibu sungguh tidak ingin ada sesuatu hal buruk yang menimpamu disana. Apalagi kamu yang baru pertama kali bepergian jauh. Ibu tidak akan membiarkan Dianna pergi." Tegas, Ibu Siti melontarkan penolakannya atas niat yang baru saja terlontar dari bibir gadis remaja dihadapannya. Dianna kemudian menyerahkan buku yang tadi iya baca kepada bu Siti. Alamat ayah Dianna memang tertera disana dengan sangat jelas. Setelah membaca tulisan tangan Ibu Farida, dengan perasaan berat hati dirinya pun ikhlas jika Dianna memang berniat kembali pada orangtuanya. Bagaimanapun keadaannya, Dianna ternyata masih memiliki orang tua. Nenek Farida memang sangat tertutup mengenai masa lalu Dianna. Dan ibu Siti juga cukup pandai menjaga hati sesamanya dengan tidak menanyakan hal yang bersifat sensitif. "Jadi Dianna sudah yakin mau berangkat ke kota?" tanyanya meyakinkan Dianna. "Iya bu. Tapi Dianna masih akan tinggal disini beberapa hari lagi sampai mendapatkan ongkos yang cukup." "Kamu akan bekerja?" "Iya bu. Dianna nanti akan menemui teman Dianna yang mamanya biasa membayar orang untuk mengikat rumput laut dan hasilnya lumayan." Biasanya warga sekitar pantai, membayar jasa anak-anak bahkan orang dewasa untuk membantu mereka dalam pembudidayaan rumput laut. Dan sebagian besar, tetangga Dianna memiliki profesi sebagai pengusaha rumput laut. "Berapa uang yang Dianna butuhkan?" "Untuk ongkos sampai kota aja bu. Dianna juga gak tahu ongkosnya berapaan." "Kamu nggak usah kerja, ibu ada sedikit uang. Kalau kamu mau, segeralah menemui orang tuamu nak. Lebih cepat lebih baik." Ibu Siti menyerahkan lima lembar uang seratus ribuan kepada Dianna. "Tidak bu, jangan. Tuh kan Dianna buat ibu repot lagi" Dianna berucap dengan nada penuh penyesalan. Iya telah salah mengutarakan niatnya kepada Ibu Siti yang berujung dirinya kembali merepotkan ibu tersebut. "Tadi ibu bilang, tidak ada kata repot diantara kita. Asal Dianna bahagia, Ibu sudah sangat bersyukur. Karena sekarang sudah sore, Dianna siap-siap ke rumah ibu. Malam ini Dianna harus nginap disana dan besok pagi bisa langsung berangkat ke kota. Kebetulan Ibu ada langganan angkutan umum kesana. Dia akan mengantarmu ke alamat yang kamu tuju." "Iya bu, sekali lagi Dianna berterimakasih pada Ibu." Dianna sangat bersyukur dalam keadaannya yang sulit pada saat ini,masih ada yang peduli pada dirinya. Padahal Ibu Siti sama sekali tidak ada hubungan darah dengannya. 'Aku pernah mendengarnya jika orang lain bisa lebih peduli dengan keadaan kita, dibanding keluarga dekat. Dan saat ini aku sendiri membuktikannya. Semua meninggalkan tali Ibu Siti tetap baik pada dirinya, bahkan sudah menganggapnya sebagai anak sendiri. **** Suara burung berkicauan dipagi hari membuat Dianna bergegas bangkit dari pembaringannya. Memikirkan hari ini dirinya akan berangkat ke kota membuatnya susah tertidur. Bayang bayang wajah ayahnya selalu coba iya hadirkan, mereka sudah terpisah sejak lama sekali. Terakhir mereka bertemu disaat dirinya menimba ilmu di taman kanak-kanak. Pagi-pagi sekali Ibu Siti juga menyiapkan sarapan untuk mereka berdua. Dirinya tidak ingin Dianna pergi sebelum memakan sesuatu. Iya tahu perjalanan dari kampung ke kota memakan waktu kurang lebih enam jam jika tidak ada hambatan selama diperjalanan. "Jam tujuh nanti, sopir akan menjemputmu nak. Kamu sudah harus bersiap- siap" Ibu Siti memperingatkan Dianna yang hendak berbenah didapur. "Piringnya simpan di wastafel saja. Nanti ibu yang cuci. Kamu segera bersiap nak, tidak baik kalau sopirnya sudah datang tapi masih harus menunggu. Penumpang yang lain juga pasti akan terus mengomel." Tiga puluh menit sudah berlalu, Dianna sudah siap dengan membawa satu buah ransel yang berisi pakaian sehari hari yang iya gunakan selama ini. Tidak banyak yang iya bawa, hanya pakaian ganti dan sebuah buku yang berisi wasiat sang nenek. Beeep.. beee... beeeppp.. Terdengar suara klakson dari luar rumah. Mereka berdua segera beranjak menuju teras. Benar, mobil yang akan membawa Dianna sudah berada di depan rumah. "Baik-baik disana yah sayang. kalau kamu sudah sampai jangan lupa untuk memberi kabar pada ibu." "Iya bu, Dianna pamit yah bu. Dianna pasti akan kabarin ibu." Iya memeluk Ibu Siti dengan penuh sayang. "Hati'hati nak" Ibu Siti mengurai pelukan diantara mereka. Iya ingin menatap wajah Dianna sebelum gadis cantik itu benar pergi. Entah kenapa firasatnya terus meminta dirinya agar mencegah kepergian Dianna. Tapi hal itu tidak bisa iya lakukan mengingat ayah Dianna adalah orang yang paling berhak atas diri Dianna sekarang. Dianna kembali memeluk Ibu Siti, selama ini Ibu Siti sangat menyayanginya. Dari sosok wanita paruh baya tersebut lah, dirinya bisa merasakan sedikit sentuhan kasih sayang ibu yang selama ini tidak pernah iya rasakan dari ibu kandungnya. "Kalau kamu ada apa-apa, jangan sungkan untuk kembali kesini yah nak. Hati-hati di jalan, dan jangan lupa pesan ibu untuk memberi kabar jika sudah sampai" pesan Ibu Siti kepada Dianna. Dianna menganggukkan kepalanya. Dengan langkah berat dirinya membawa kakinya menuju pintu mobil yang sudah menunggunya. "Assalamu Alaikum bu" pamitnya ketika dirinya sudah berada diatas roda empat tersebut. "Waalaikummussalam warahmatullahi wabarakatuh." Mereka saling melambai hingga mobil yang ditumpangi oleh Dianna sudah tidak nampak lagi dimatanya. Entah kenapa sejak semalam dirinya terus merasakan firasat yang buruk. 'Mungkin aku hanya terlalu khawatir saja. Dianna akan mendatangi ayahnya, bukan orang lain. Semoga saja firasatku yang salah. Aku seperti ini karena aku menyayanginya, aku menganggapnya sebagai putriku. Aku hanya merasa berat melepasnya, mengingat selama beberapa tahun belakangan ini kami cukup dekat dan saling berbagi cerita.' Batinnya terus dilanda kegelisahan sejak Dianna pergi. Padahal dirinya sudah memastikan kepada sopir tadi untuk mengantarkan Dianna sampai kealamat tujuannya sesuai dengan yang tertulis di buku tersebut. **** Sepanjang perjalanan, Dianna diliputi perasaan gelisah. Ada rasa takut dalam hatinya, maklum ini adalah pertama kalinya dirinya melakukan perjalanan jauh. Apalagi iya hanya berangkat seorang diri. Biasanya ada nenek yang akan terus bersamanya kemanapun iya pergi. Lagi- lagi bayangan nenek kembali menjelma dalam benaknya. Semua masa sulit yang pernah mereka lalui bersama berputar-putar dalam ingatannya. Satu bulir air matanya berhasil menetes. Iya menatap kearah luar jendela, mencoba menenangkan hatinya dengan menikmati pemandangan alam yang tersaji disepanjang jalan yang dilaluinya. Setelah merasa cukup tenang, iya memejamkan matanya sambil bersandar di jok mobil. Beberapa tembang kenangan yang mengiringi perjalanan berhasil mengantarkannya tertidur. Dianna berdiri menatap bangunan besar yang terpampang dihadapannya. Ditempat tinggalnya selama ini tidak ada bangunan yang berdiri sebesar ini. Yang ada hanya area persawahan dan perkebunan yang terbentang luas diantara rumah warga yang cukup sederhana. 'Apakah nenek salah menuliskan alamat?' Dianna kembali membuka buku yang ditinggalkan oleh mendiang neneknya. 'Tapi ini alamatnya sudah benar. Atau jangan-jangan rumah ayah sudah terjual. Aduhh.. kenapa aku tidak memikirkan hal ini sebelumnya' Dianna memukul jidatnya dengan perlahan. 'Mau bagaimana lagi, aku sudah terlanjur berada disini.' ''Assalamu' alaikum'' Dianna mencoba berteriak dari arah luar pagar yang menjulang tinggi. Sudah beberapa kali dirinya berteriak mengucap salam, tapi dari arah sana sama sekali tidak ada jawaban. "Waalaikum salam. Cari siapa?" sebuah suara terdengar menjawab salam yang iya ucapkan tadi. Dianna mengintip dari sela-sela pagar ukiran kayu yang berada dihadapannya, mencari sumber suara yang menjawab salam darinya tadi. Yang membuatnya bingung tidak ada siapac siapa yang iya lihat. Fikirannya mulai berkelana. Jangan-jangan yang di dengarnya tadi adalah hantu penjaga bangunan kosong ini. Menurut cerita mitos yang sering iya baca, bangunan yang ditinggal lama maka akan dihuni oleh makhluk yang berasal dari dunia lain. Bulu kuduknya mulai merinding memikirkan hal tersebut. "Oe.. Maling yah?" Suara itu kembali mengejutkannya. "Astaghfirullah" ucapnya kaget ketika melihat ternyata orang yang sejak tadi dia cari berada tepat dibelakangnya. "Kamu kenapa celingak-celinguk terus. Mau maling yah?" tanya seorang pria yang berseragam hitam, berbadan lebar dan berperut buncit dihadapannya. "Nggak pak, saya bukan maling kok. Sumpah saya orang baik-baik. Benar pak!" Dianna menaikkan dua jari tangannya mencoba meyakinkan pria dihadapannya jika keberadaannya tidak memiliki niat yang buruk. "Terus kenapa dari tadi nengok kedalam sana? saya petugas keamanan disini tentu tidak akan membiarkan bocah ingusan sepertimu mengelabui saya" Dianna mengusap hidungnya. setelah memastikan disana tidak ada ingus ataupun sejenisnya, dia menurunkan tangannya menutup bibirnya. 'Bapak ini lucu juga yah' batin Dianna yang merasa sedikit terhibur dengan tingkah polahnya. Pria berusia sekitaran lima puluh tahun itu menodongnya dengan tongkat plastik. "Oh iya pak, saya mau pastikan apa alamat ini sesuai dengan yang tertulis dibuku ini?" Dianna menyerahkan kertas tersebut dan memperlihatkannya kepada petugas keamanan tadi . "Iya benar. Alamat ini memang disini. Tapi rumahnya lagi kosong, semua penghuninya pergi." "Kemana perginya pak?" Tanya Dianna. "Ke Surabaya. Biasanya mereka balik hari minggu." Jawab pria tersebut dengan santai. "Inikan sudah hari minggu pak" ucap Dianna dengan senyum tertahan. Lagi-lagi Dianna merasa terhibur dengan ucapan bapak tersebut. Ditengah kebingungannya, iya masih bisa tersenyum karena ulah bapak tersebut. "Oh iya ya, kalau begitu kamu bisa datang sore lagi. Biasanya mereka akan tiba disore hari" 'Astagaa.. Bapak ini, sekarang sudah jam empat. Bagaimana kategori sore bagi orang kota?' Dianna membatin dalam hatinya. " Kenapa masih berdiri terus, kamu pergi dulu nanti kamu kembali lagi setelah penghuni rumah datang" Dianna akhirnya melangkahkan kakinya pergi dari tempat tersebut. Tidak ada gunanya juga dirinya berada disana, jika pemilik rumah saja tidak berada ditempat. 'Ya Allah, Dianna harus kemana? Semoga saja ayah pulang cepat.' Ditengah kebingungannya, perutnya tiba tiba berbunyi. Iya baru sadar, jika seharian ini perutnya hanya diisi dengan sarapan dirumah Ibu Siti. 'Astagaa.. Kalian pasti lapar yah. Kita kan makan tadi pagi saja. Baiklah kalian sabar yah cacing- cacing, kita akan cari makan' Dianna mengusap perutnya, agar cacing diperutnya bisa tenang. Dianna menghampiri warung bakso yang letaknya tidak jauh dari tempatnya berdiri. Tempat tinggal ayahnya bukan berada dipusat kota tapi sangat jelas jika rumah ayah nya lah yang nampak sangat mencolok dibanding rumah warga yang lain yang berada disekitarnya. "Mas baksonya satu porsi yah" Dianna langsung memesan makanan. "Baik, tunggu yah neng. Silahkan duduk dulu. Minumnya mau apa?" Tanya mas penjual bakso. "Air putih saja mas" Dianna memilih duduk di pojok, iya meletakkan ranselnya diatas meja. Pesanan baksonya sudah terhidang dihadapannya. Sudah tiga sendok suapan iya makan, ketika matanya menangkap pemandangan yang membuat dirinya bahagia dalam hati. Sebuah mobil terlihat memasuki pekarangan rumah besar yang baru saja iya tinggalkan. 'Itu pasti ayahnya yang sudah pulang' batinnya dalam hati. Senyum lebar terbentuk dari raut wajahnya, dengan langkah bergetar dirinya meninggalkan bakso yang sangat enak turun di tenggorokannya. Tidak iya pedulikan lagi teriakan pelayan yang memanggil dirinya karena belum membayar bakso yang dipesannya tadi. Dirinya sudah sangat tidak sabar untuk segera bertemu dengan ayahnya. Nafasnya sesak, suaranya tercekat ketika dari luar pagar yang masih terbuka dirinya melihat sosok yang bisa dengan sangat cepat dan jelas iya ingat. Wajah yang dulu selalu menebar sunyuman ketika datang menemuinya. Ketika akan pamit untuk bekerja, maka dirinya pasti akan tertawa kegelian akibat hujan ciuman yang ayahnya berikan padanya. Wajah tersebut masih sama, bahkan tampak lebih segar. Badannya yang lebih berisi saja yang menjadi pembedanya. Iya ingat ayahnya dulu bertubuh kurus tapi bukan yang kurus sama sekali. Ayahnya nampak bahagia sekali, menggandeng anak kecil dengan penuh kasih sayang. Tidak lama dua orang anak yanh sebaya dengannya juga keluar dari dalam mobil, kemudian disusul seorang wanita dengan pakaian berhijab juga menggendong anak yang masih sangat kecil. Mereka semua terlihat bahagia dengan menebar tawa diantara mereka. 'Ternyata ini alasan ayah tidak pernah tinggal bersamaku dulu.' 'Meskipun aku sudah memintanya, bahkan sampai harus menangis memohon agar ayah menginap bersamaku, tapi ayah punya seribu alasan untuk menolak keinginanku' 'Ayah punya keluarga lain' 'Ayah terlihat sangat bahagia bersama mereka' 'Mungkin nenek yang salah, yah nenek pasti tidak mengetahui tentang hal ini' Dianna mengambil langkah kembali. Iya berputar arah dengan cepat, ketika iya melihat seorang pria dari dalam pekarangan berjalan menuju kearahnya. Iya harus pergi. Dirinya tidak ingin merusak kebahagiaan mereka dengan kehadirannya. 'Iya, aku harus pergi. Cukup ibuku saja yang pernah membuat hidup ayah kacau.' Dianna mengusap air matanya tanpa menoleh kepada sumber suara yang memanggilnya dari arah belakang. Setelah merasa cukup tenang, dirinya kembali ke warung untuk membayar bakso yang tadi dipesannya sekalian mengambil ransel yang iya bawa dari kampung. "Mas, saya mau bayar baksonya." Ucapnya dengan wajah yang sudah sembab. Sebelum kembali ke warung bakso, dirinya sempat duduk di pinggiran taman sambil menangis, mengeluarkan semua rasa pedih yang berkecamuk didalam hatinya. "Tapi mangkoknya sudah diambil neng. Kirain nengnya nggak balik lagi" Ucap Mas nya dengan perasaan bersalah. "Nggak apa-apa mas" "Lima belas ribu neng" Dianna menyerahkan uang ke tukang bakso, lalu mengambil tasnya yang masih tersimpan diatas meja tempat makannya. Iya harus pergi, Dirinya tidak ingin menjadi beban bagi keluarga baru ayahnya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.1K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
98.6K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.5K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook