Chapter 2

1593 Words
Hari sudah petang, ketika dirinya masih terus saja berjalan menyusuri trotoar kota yang terbentang jauh sejauh matanya memandang. Berjalan tanpa tujuan, sambil melihat dari beberapa sisi yang semuanya nampak sangat ramai. Kendaraan yang saling sahut menyahut membunyikan klakson, bahkan tidak jarang diantara mereka saling mengeluarkan kata yang berisi u*****n. Dianna hanya menggelengkan kepalanya. Selama ini dirinya tidak pernah menyangka, jika kehidupan dikota sekeras ini. Suara adzan maghrib sudah berkumandang, Iya mencari masjid terdekat untuk melaksanakan Shalat. ' Astagaa.. Aku melupakan sesuatu. Ibu Siti pasti khawatir, aku belum memberinya kabar'. Ya Allah, kenapa aku bisa seceroboh ini. Ternyata handphonenya lowbet sama sekali. Iya ingat semalam dirinya mencharger, entah bagaimana bisa baterainya kembali habis. Dianna memegang handphonenya dengan kuat, satu satunya benda yang ditinggalkan neneknya berupa handphone zaman dulu yang memiliki tombol besar dimana dibagian atas terdapat lampu yang bisa menerangi saat malam. 'Andai nenek masih ada.' Bulir air mata kembali jatuh membasahi pipinya. Mengingat waktu maghrib segera berlalu dirinya dengan cepat mengambil wudhu untuk melaksanakan shalat. Setelah shalat maghrib tadi, Dianna tetap berada dimasjid menunggu hingga shalat isya tiba. Dirinya terus berfikir dimana iya akan menginap, dari cerita neneknya dulu, dikota ini dia juga memiliki paman, saudara dari ibunya tapi dirinya juga tidak mengetahui alamatnya. "Neng, bapak mau tutup masjidnya." Dianna terdiam sesaat, setaunya masjid di kampung tempat tinggalnya tidak pernah dikunci. "Maafkan saya pak. Tapi saya baru datang dari kampung. Saya belum mendapatkan tempat tinggal. Saya boleh menginap disini saja yah pak, besok saya pasti akan pergi." ucapnya dengan nada penuh harapan. "Memangnya tujuan kamu kemana nak?" Dianna menggelengkan kepalanya. Dirinya berusaha menahan laju air mata yang hendak jatuh, mengingat saat dirinya melihat kebahagiaan ayahnya bersama keluarganya hatinya sangat sedih. Pantas saja ayahnya tidak mencarinya, bahkan ibunya rela meninggalkannya hanya untuk kebahagiaan mereka sendiri. "Maaf pak, besok pagi saya akan balik ke kampung lagi" Bapak tersebut sejenak terdiam, memandangi wajah tulus dihadapannya. Sebenarnya dirinya tidak tega jika anak gadis tersebut menginap sendiri dimasjid, apalagi mereka memang sudah sepakat menutup masjid jika sudah tidak ada aktifitas lagi di malam hari. "Kamu ikut bapak saja kerumah, kebetulan bapak juga punya anak kira-kira sebaya dengan kamu. Karena masjid harus ditutup sekarang, kamu nginap dirumah bapak saja. Tidak apa apa, Leni pasti senang ada teman dirumah." "Baik pak. Terimakasih banyak " Karena dikhawatirkan masjid yang merupakan tempat suci, disalah gunakan oleh sebagian orang membuat semua panitia menerapkan jam tutup diatas pukul 21.00 WITA. Tiba dirumah bapak yang menolongnya, dirinya juga tidak disambut dengan baik oleh istrinya. Sebagai tamu yang tidak diundang, dirinya tentu sangat sadar diri apalagi lingkungan yang iya tempati selama ini memang terus mengucilkannya. Dirinya bukanlah siapa siapa yang harus disegani. 'Nana mengharapkan pelukan Nenek saat ini. Kalau boleh diberi pilihan, akan lebih baik Nana terus bersama nenek saja. Berdua dengan nenek. iya nek, cukup kita berdua saja'. 'Nek.. Kenapa nenek tidak membawa serta Nana bersama nenek. Kenapa nenek meninggalkan Nana? Maafkan Nana nek, jika membuat nenek kecewa.' Lagi lagi air mata tak mampu iya bendung. Bantal pengalas kepalanya basah akibat air mata yang tidak henti mengalir. Bayangan ayahnya tertawa dengan sangat bahagia bersama beberapa anaknya membuat nyeri diulu hatinya. Dirinya memang tidak diharapkan sama sekali. Orangtuanya saja tidak pernah lagi memikirkannya. Pagi ini Dianna terbangun dengan mata yang bengkak, Semalaman menangis membuat suaranya juga ikut serak dan kepalanya terasa berat. Hari ini dirinya berencana untuk kembali ke kampung, tempat dirinya dibesarkan selama ini. Meskipun merasa berat hati kembali merepotkan ibu siti, menerima Tawaran tersebut merupakan satu satunya cara yang harus iya pergunakan dengan baik. Kapan lagi dirinya mendapatkan orang yang benar-benar tulus menyayanginya melebihi keluarga sendiri. Setelah shalat subuh, Dianna berniat pamit kepada pemilik rumah untuk segera berangkat ke terminal. Meskipun bapak yang menolongnya semalam, yang memberinya tempat tinggal sementara, masih tetap berupaya untuk menahan dirinyanya agar sarapan terlebih dahulu, tapi dirinya cukup tahu diri jika penghuni rumah yang lain tidak menerima kehadirannya. Pagi ini, dirinya berjalan dengan langkah berat. Berada dikota besar tanpa tujuan yang pasti sama sekali pengalaman yang paling pahit yang iya alami sepanjang hidupnya. Terkadang iya merutuki sikapnya yang tidak bisa berfikir panjang sebelum bertindak, dirinya baru akan menyesal ketika merasakan dampak dari sikapnya yang terlalu berambisi. Entah sikapnya itu iya dapat dari mana, yang iya tahu neneknya sangat tenang dalam bertindak, berbanding terbalik dengan dirinya yang suka menyesal belakangan. **** "Aku dimana?" tanyanya dalam hati, ketika dirinya membuka mata untuk pertama kali yang iya lihat adalah dinding ruangan yang bernuansa serba putih. "Apa yang terjadi padaku?" dengan wajah bingung, iya mencoba memeriksa satu persatu keadaan tubuhnya. 'Tidak ada yang luka, tapi kenapa dirinya bisa berada diranjang rumah sakit' iya tahu saat ini dirinya berada di rumah sakit karena bau obat yang menyengat lewat indra penciumannya. 'Kenapa aku bisa berada disini? Siapa yang membawaku kesini?' Banyak sekali pertanyaan yang membutuhkan jawaban di hatinya. Sampai sebuah suara yang asing dipedengaran datang menyapa dirinya membuat iya menoleh kesumber suara, iya ingin tahu siapa pemilik suara tersebut. "Syukurlah kamu sudah sadar" "Oh ya tante melihat kamu terjatuh saat tante jogging pagi tadi. Kamu tidak sadarkan diri makanya tante minta tolong seseorang agar langsung membawa kamu ke rumah sakit" "Terimakasih tante, maaf sudah merepotkan tante" Suara Dianna terdengar parau menanggapi penjelasan wanita dihadapannya. "Tidak apa-apa sayang. Panggil aja tante Khanza, kamu siapa namanya? Masih pagi kamu sudah berjalan sambil membawa ransel, kamu mau kemana?" "Nama saya Nana tante, saya baru tiba dari kampung sore kemarin" Dirinya memang selalu menyebut namanya Nana karena permintaan Neneknya sejak iya duduk di bangku sekolah. Nama Dianna hanya digunakan pada saat berada di lingkungan sekolahan, dan terkhusus orang yang sangat dekat dengan mereka, seperti ibu Siti. Selain itu iya selalu memakai nama Nana sebagai identitasnya. "Terus tujuan Nana mau kemana?" Khanza lanjut bertanya, iya memang sangat penasaran dengan anak remaja yang sedang berjalan dengan tatapan kosong. Dipunggungnya sedang memikul sebuah ransel. Dalam benaknya tadi, gadis ini sedang minggat dari rumahnya. Dianna menggelengkan kepalanya. Dia sendiri bingung, mau kemana. Sisa uang pemberian Ibu Siti ternyata sudah tidak iya temukan lagi ditasnya. "Kenapa kamu nangis sayang, apa yang membebanimu? siapa tau tante bisa membantumu." Nana kemudian bercerita jika dirinya memang sengaja datang ke kota untuk bekerja. Tapi sepertinya akan susah bagi orang seperti dirinya untuk mendapatkan pekerjaan. Selain belum memiliki ijazah dirinya juga tidak memiliki pengalaman dalam bekerja. "Apa Nana tidak sekolah?" "Dulunya sekolah, sekarang kelas satu menengah atas. Sejak nenek meninggal, Nana memutuskan berhenti bersekolah dan mau mencari pekerjaan. Nana datang ke kota untuk mencari pekerjaan" "Baiklah, Nana bisa bekerja ditempat tante. Tapi Nana harus istrahat dulu, setelah keadaan Nana membaik baru tante ijinkan bekerja." Mendengar sepintas cerita dari gadis tersebut membuat hatinya terenyuh. Khanza menatap mata gadis yang berada dihadapannya, tidak ada sinar kebohongan disana. Mata sembab tersebut terlihat sangat layu, tapi auranya memancarkan semangat yang cukup besar. "Benarkah tante?" Seketika senyum terbit dari bibirnya. Khanza menganggukkan kepalanya. Iya tidak memungkiri, jika hatinya merasa prihatin dengan hidup Nana. Diusianya yang masih remaja, harusnya iya masih bersekolah, menghabiskan waktunya bersama temannya tapi gadis dihadapannya ini menanggalkan semua mimpinya demi perbaikan hidupnya. "Tante bekerja di sebuah restoran, kebetulan kami sedang mengadakan even dengan promo besar besaran, kamu bisa membantu disana karena dipastikan akan banyak pengunjung yang berdatangan". "Iya tante, aku mau." jawab Nana dengan sangat antusias. "Kalau begitu tante akan tante akan pulang dulu. Rumah tante jaraknya dekat dari sini. Kamu tenang saja setelah pulang kerja tante akan datang lagi. Kamu istirahat biar stamina kamu cepat pulih." Entah kenapa memandangi Nana seakan dirinya merasakan ada keterikatan diantara mereka. 'Siapa Nana? Dari mana dia berasal, kenapa aku merasa dia sangat dekat denganku..? Hatiku terus meminta agar memberinya perlindungan.' Ada berbagai macam pertanyaan yang hadir di benak Khanza saat ini. **** "Haii Nana bagaimana kabarmu?" Tante Khanza kembali datang menemuinya disore hari sambil membawakannya makanan. "Alhamdulillah tante, Nana sudah lebih baik." "Syukurlah, kamu besok sudah dibolehkan pulang." Seketika wajah Dianna yang tadinya cerah, sekarang berganti dengan ekspresi berselimut duka. "Heii... Nana kenapa sedih begitu?" tanya Khanza yang menyadari ekspresi dibalik tertunduknya wajah cantik dihadapannya. Meskipun pakaian yang dikenakan Nana saat ini tidak semodern dengan pakaian anak remaja sebayanya, tapi wajah cantik yang iya miliki tetap terpancar. Tidak ada jawaban yang diberikan Nana untuk menjawab pertanyaan yang baru saja Khanza lontarkan untuknya. "Kalau tante tebak, Nana pasti bingung masalah tempat tinggal. Jangan khawatir sayang, tante mau ajak Nana tinggal bareng. Kebetulan tante tinggal sendiri dirumah." "Tante tidak punya keluarga juga?" "Punya, tapi mereka memiliki tempat tinggal yang jauh dari rumah tante. Tante juga dulunya sendirian di kota ini, awalnya tante berputus asa dan ingin menyerah. Suatu hari entah bagaimana tante menemukan semangat dalam diri tante, dan itulah yang membuat tante tetap kuat hingga saat ini. Nana tidak boleh putus harapan, nana harus memiliki tekad. Jadi Nana nggak boleh sedih lagi yah". "Iya tante. Nana berterimakasih sekali. Nana sudah banyak buat tante repot." "Oh ya Nana, sekarang usianya berapa tahun?" "Lima belas tahun tante mau enam belas tapi beberapa bulan lagi." "Iya sayang. Kalau begitu Makanannya di habiskan yah, tante mau menemui bos tante dulu sekalian membicarakan Nana yang akan ikut membantu umtuk sementara di resto atau cafe. Tante akan langsung kemari setelah pulang." "Ingat yah, jika makanannya sudah habis segera beristirahat agar cepat pulih" "Tante Khanza" Panggil Nana saat Khanza akan berlalu dari hadapannya. "Yah sayang, Nana butuh sesuatu?" "Boleh Nana peluk tante?" Khanza segera menghampiri Nana lalu membuka tangannya memberi ruang kepada Nana untuk merasakan kehangatan. Baik Nana maupun Tante Khanza sama sama saling merasa nyaman saat berpelukan. Mereka merasa sudah sangat dekat dan saling terhubung satu sama lain. Tapi faktanya mereka baru bertemu pagi tadi itupun pertemuan mereka terjadi secara tidak sengaja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD