Bingung

1035 Words
"Bagaimana, Mbak?" tanyanya lagi. Pembawaannya tenang tapi matanya memang terlihat tajam, namun cukup menawan. "I-ini bukan prank kan? Mas ngga sedang bercanda mau booking aku?" Aku seperti orang bodoh, masih saja menanyakan tentang kebenaran. Pasalnya penampilan dia benar-benar seorang layaknya ahli ibadah, bahkan jidatnya saja tercetak jelas bekas seringnya sujud. Ngapal. Dia kembali tersenyum, aku justru makin dibuat heran. Jika pelanggan lain akan tergesa-gesa untuk main sikat, dia malah terlihat main-main. Itulah yang membuat aku yakin dia ngga serius. Dia itu sedang bikin konten atau apa? Aku celingukan takut dia memegang kamera dan aku kecolongan. Bisa berabe kalau pada tahu aku di kota jual diri. Pasalnya teman dan tetangga aku tahunya jika di kota aku bekerja di kantor dengan gaji besar. Namun, semua tak seperti yang mereka bayangkan. Kota itu keras gais! "Berapa yang harus aku bayar untuk booking kamu sampai malam nanti?" tanyanya jelas. Aku berfikir sejenak, untuk menentukan harga yang pantas bagi seorang yang berdiri di depanku ini, pasti duitnya tebal dan kalau aku tarif murah rugi aku ngga bisa memanfaatkan keadaan dengan baik. "Kira-kira sampai jam berapa? Atau mau sampai pagi?" Aku mengedipkan mataku genit. Lagi-lagi dia hanya tersenyum, aku makin gemas dibuatnya. Kalau saja ini ditempat sedikit tertutup dan ngga ada sang sopir ngga mengantar laki-laki itu, sudah aku terkam dan kubuat dia melayang sebelum menentukan harga yang pantas. "Kira-kira sampai jam dua, Mba. Nanti aku antar kamu ke sini lagi atau kalau mau langsung aku antar pulang juga boleh." Dia berkata kembali, tetap tenang, bahkan terkesan menantang. "Apa kita akan berkencan jauh dari sini? Kamu mau bawa aku ke hotel mana?" tanyaku penasaran. Tentu takut dia bawa aku jauh-jauh ditinggal ditengah jalan tanpa diberi imbalan bisa gawat. "Ngga jauh kok, Mbak. Cuma paling sekitar lima kilo dari sini!" Dia menjawabnya, kemudian si sopir mengintip. "Bagaimana, Tadz?" Sopir itu sepertinya ngga sabar banget. Dia bahkan memandang aku dengan tatapan tak suka. Aku kan kesal! Lagi bernego malah. Dia menggerakkan tangan memberi tanda agar sedikit bersabar. "Bagaimana, Mbak? Sebutkan saja berapa?" "Biasanya sih satu juta, Mas. Kalau mau ngasih lebih juga boleh!" Aku sengaja meninggikan harga, biasanya hanya dua ratus ribu untuk waktu dua sampai tiga jam diluar sewa kamar. Siapa tahu ini rejeki, benar dia ngasih satu juta, kan lumayan bisa bayar kontrakan lunas. "Baiklah, Mbak. Ayuk masuk!" Dia langsung membukakan pintu. Ragu tapi sepertinya tak dapat aku menolak, karena nyatanya tak ada pelanggan lain. Aku duduk dibelakang sopir, aku pikir dia akan duduk di sebelahku seperti pelanggan lain yang akan pemanasan sebelum bertempur. "Butuh obat kuat atau tissu magic?" tanyaku dengan membuka tas. Dia menatapku langsung menengok kebelakang. Berbeda dengan si sopir yang tersenyum mengejek dan mengelengkan kepala. "Tak perlu, Mbak. Aku masih kuat tanpa itu semua." Dia berkata dengan tersenyum. Aku memilih memasukan obat yang biasanya dicari pelanggan itu. Aku hanya mengangguk dan memilih duduk dengan menumpuk kaki, memperlihatkan paha mulus yang sengaja untuk memancingnya. "Sudah lama bekerja seperti ini, Mbak?" tanyanya kembali tapi kali ini tanpa menatapku. "Lumayan, hampir satu tahun ini." Aku menjawab dengan cuek. Dia manggut-manggut. "Punya suami atau single parents?" tanyanya lagi. Entah sebenarnya malas menjawab, apalagi ini menyangkut privasi, walau bukan kali ini saja pelanggan menanyakan hal demikian. Tapi kali ini sepertinya boleh aku bercerita, bagaimana pahitnya hidupku sampai akhirnya terdampar di negeri penuh kenistaan ini. Bukan tak ingin menjadi baik, tapi sepertinya jalan itu belum terlihat dan Allah belum tunjukan. Semoga disisa umurku Allah berikan aku kesempatan untuk bertobat. Itu doa yang kupinta setiap malam. "Aku punya suami, tapi ... Aku kabur darinya. Entah statusku kali ini bagaimana, aku sudah tak peduli." Aku mulai bercerita. "Kenapa? Bukankah harusnya kalau bersuami itu ada yang mencari nafkah, Kok malah kabur?" tanyanya lagi. "Siapa yang mau punya suami yang hanya bisa menyiksa istrinya. Menjadikan istri samsak tiap hari. Hanya karena aku menjadi istrinya karena untuk menebus hutang ayahku." "Maksudnya bagaimana? Kamu dijual ayahmu?" Aku mengangguk lemah. Ya, begitulah keadaanku, aku dipaksa menikah dengan seorang juragan sapi hanya demi menutupi hutang ayahku yang suka berjudi, tapi sayangnya laki-laki yang menikahi aku itu bukan laki-laki penyayang. Andai dia baik, tentu aku berusaha menerima walau harus jadi istri ke tiga. Malangnya Juragan Komar itu manusia yang kejam. Jika salah sedikit saja, cambuk sapinya melayang pada badan istri anak dan anak buahnya. Tampangnya yang seram berkumis tebal dan bermata nyalang. Siapapun akan takut saat melihatnya. Entah kenapa istri pertama dan keduanya kuat menghadapi laki-laki bringas yang kejam walau nafsunya besar. "Ayahku seorang penjudi, bahkan sampai sekarang pun masih. Aku begini juga demi menutupi hutang dia yang tak pernah lunas. Hanya demi ibuku, aku siap begini karena dia bagiku orang yang sangat aku cintai." Aku berkata dengan sedikit serak. Tentu jika mengigat bagaimana jalan hidupku, rasanya ingin menangis sepanjang hari. "Pak, berhenti di toko depan ya!" Laki-laki itu memerintahkan. Ah, bahkan aku sampai lupa tanya namanya. "Baik, Tadz." jawab sang sopir. Dia turun saat sopir berhenti di depan toko. Toko baju yang cukup besar. Aku memilih menunggu dengan bermain ponsel. Kulihat dari kaca spion sopir itu curi pandang terhadapku, tapi tentunya aku enggan untuk meladeni, biar aku pancing kakapnya dulu, dia mah cuma kecebong saja! Tak lama, laki-laki itu kembali masuk dengan membawa paperbag. Tak mengatakan apapun dia menyuruh sopir kembali menjalankan mobilnya. Sepuluh menit kemudian sopir kembali menghentikan mobilnya lagi atas perintah majikannya. Aku masih melihat sekitar, belum ada tanda-tanda hotel terlihat. "Pakailah ini! Aku dan pak sopir akan keluar dulu. Segera ya karena sebentar lagi kita sampai tujuan." Paperbag tadi ia serahkan padaku. Aku tentu bingung, sedangkan kini sepertinya sudah masuk gang desa, bukan lagi di kota. Mana ada hotel di pinggir desa begini. Aku melihat kedepan, plang sebuah pondok pesantren terlihat jelas. 'Apa dia bawa aku ke Pesantren? Ah! Sepertinya dia sudah kurang waras! Mau nge lon te malah di pesantren.' aku bermonolog. Kubuka paperbag itu yang ternyata isinya .... "Gamis?" Aku mengeleng kepala. "Dasar laki-laki pintar berdrama, dia menyuruh aku untuk menyamar?" Lebih baik aku turuti saja demi satu juta didepan mata, toh dia bilang hanya sampai jam dua dan akan mengantarkan aku kembali lagi? "Sudah belum!" Dia mengetuk pintu tanpa melihat kedalam. Aku yang masih sedikit kesusahan karena berganti baju di dalam mobil berteriak belum. "Sepertinya dia sudah ngga sabar!" Aku terkekeh sendiri. Dasar laki-laki buaya!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD