Tampak Di Depan Mata

1319 Words
"Abah sama Ambu mau ikut makan bakso?" "Bungkusin saja, Ambu nunggu Adek saja, takutnya nanti Adek datang tidak ada orang di rumah." "Nanti Aa belikan buat Abah dan Ambu." "Ntar yah, A. Neng mau ganti baju dulu." "Neng, mau pakai apa ke sananya, Neng? Mobil Aa atau motor punya Neng?" "Terserah Aa saja, Neng mau ganti baju dulu." Amira berlari masuk ke dalam kamarnya. "Ambu, kunci motor punya Neng di mana?" "Ambu tidak tahu, anak itu kalau naruh kunci motor selalu sembarangan. Mungkin di kamar, tunggu saja." Arbian menunggu Amira duduk di ruang tamu, entah kenapa setiap berada di rumah ini hatinya selalu adem. "Hayu, A." Arbian melihat Amira dari atas sampai bawah. Amira sudah mengganti bajunya dari daster berganti menjadi celana jeans dan kaus putih yang ditutupi sama cardigan rajut berwarna biru muda. Amira yang berumur empat puluh tahun malah terlihat seperti tiga puluh tahun kalau sudah berganti style mode jalan. Mungkin karena hidup Amira yang tanpa beban, belum ada suami dan anak. "Kenapa, A? Apa penampilan Neng aneh?" 'Cantik,' puji Arbian tanpa sadar namun Arbian menjawabnya dalam hati. "Ayo, A." "Kunci motornya mana, Neng?" "Ntar, ada di kamar." Amira balik lagi ke kamar, Arbian melihat Amira sampai tidak terlihat. Arbian beranjak berdiri dari duduknya, menunggu Amira di teras saja. Dengan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya, berdiri dengan mata menerawang memandang lurus ke depan. Perasaan Arbian semakin tidak baik-baik saja. "Ini A kunci motornya." Tangan Amira terulur di depan Arbian, Arbian langsung mengambilnya. "Neng, buka pagar. Aa keluarin motornya." Dengan gegas Amira melaksanakan titah kakak sepupunya. Motor keluar, Amira menutup pagar kembali, Amira siap dibonceng Arbian. "Sudah?" Arbian melirik Amira dari kaca spion. "Sudah, A. Let's go!" Arbian tersenyum melihat semangat Amira. Sengaja Arbian mengendarai motor dengan pelan untuk menikmati membonceng Amira. Hingga tiba di warung bakso, Amira turun dari motor duluan, Arbian memarkirkan motor dahulu. Amira menunggu Arbian dekat pintu masuk. "Aa mau pesan apa? Bakso atau mie ayam?" "Seperti biasa, Neng. Mie ayam komplit." "Minumnya es jeruk?" "Iya, Aa duluan duduk yah!" "Ya." Arbian memilih duduk di paling belakang, lebih adem kena angin sepay sepoy karena di belakang warung bakso ada sawah membentang. Setelah memesan, Amira duduk di sebelah Arbian. Arbian tadinya pengen protes supaya Amira duduk berhadapan dengannya agar Arbian bisa memandang Amira terus tapi Arbian takut Amira curiga padanya. "Neng." "Ya, A?" "Neng pengen menikah tidak sih?" Amira menoleh sejenak pada Arbian lalu kembali melihat lurus ke depan, menghela nafasnya. "Kenapa, Neng? Apa pertanyaan Aa bikin Neng tersinggung?" "Sama sekali tidak, A. Neng hanya simalakama saja." "Kenapa?" "Neng juga pengen menikah, tapi banyak hal yang neng pikirkan." "Salah satunya Abah dan Ambu?" Keduanya saling menoleh. "Itu urutan paling atas dan masih banyak hal lainnya." "Neng mau cerita sama Aa?" "Kapan-kapan deh, A." "Kapan pun Neng mau cerita, Aa siap mendengarkannya." Terlalu banyak yang Amira pikirkan sehingga untuk meminta jodoh sama Sang Pencipta pun sampai dia kesampingkan. "Neng apa lagi suka sama seseorang?" Amira berpikir dahulu sebelum menjawab karena baginya Rendra bukan dikategorikan sebagai suka karena Amira hanya penasaran saja. "Tidak, A," jawabnya sambil memperhatikan ibu penjual bakso yang sedang berjalan mengantarkan pesanan mereka. "Ini pesanannya, yang dibungkus mau ibu siapkan sekarang atau nanti?" Tanya ibu penjual. "Nanti saja, bu." "Oke." Dalam makannya sebenarnya Arbian sedang berpikir, namun sayangnya dia tak pandai mengungkapkannya, kalaupun pandai dia berpikir seribu kali untuk mengatakannya. "Adek sudah ngabari Aa sekarang dia lagi di mana?" Tanya Amira setelah bakso yang dikunyahnya ditelannya. "Belum, terakhir bilang lagi jalan-jalan sama temannya." "Oh." "Neng, setiap hari di rumah ngapain saja?" "Aa kan sudah tahu neng ngapain saja, cuma nongkrong di teras atas nyari inspirasi bikin novel." "Besok jalan yuk Neng." Kening Amira mengkerung terlebih dahulu, menoleh ke kanan, melihat kakak sepupunya dengan seksama. "Tumben Aa ngajak jalan. Aa sedang punya masalah? Aa mau curhat?" "Ck, cuma ngajak saja dibilang punya masalah." Amira terkekeh. "Terus apa dong? Memangnya Aa mau ngajak jalan ke mana?" "Nonton atau ke mana gitu Neng?" "Haaaah ??? Aa yakin? Aa sedang puber? Jangan bilang mau curhat mau cerita kalau Aa sedang dekat sama seseorang lagi?" Tangan Amira menunjuk di depan wajah Angga. "Sumpah, Neng jadi curiga sama Aa nih." Senyumnya menggoda Arbian. Tangan Arbian langsung menangkap jari telunjuk Amira, langsung digigit Arbian. "Aa, sakit tahu." Amira kesal sampai menyikut lengan Arbian. 'Neng, kita nikah yuk!' namun hanya bisa Arbian katakan dalam hati. Arbian sudah selesai menghabiskan baksonya duluan. Mengeluarkan dua lembar uang merah dari dompetnya, diberikannya pada Amira. "Ini uangnya, Neng." "Ntar yah A, habisin minum dulu." "Neng pesan berapa baksonya?" "Tiga, buat Abah, Ambu dan Adek." Inilah yang Arbian suka dari Amira, Amira selalu ingat anaknya. "Aa tunggu di luar yah!" "Oke." Arbian beranjak berdiri duluan, baru Amira. Amira membayar dulu pesanannya sekaligus mengambil bakso yang dibungkus. "Neng, mau ke mana lagi?" "Beli roti yah, A. Buat Abah dan Ambu." "Roti Holland?" "Iya." "Ayo naik." Amira naik, Arbian pun mengendarai motornya dengan pelan. Motor kembali berhenti di depan toko kue. "Aa mau ikut turun?" "Neng saja, ntar ini uangnya." Arbian mau mengambil dompetnya tapi tangannya ditahan Amira. "Uang dari Aa masih ada, ini saja." Amira tidak enak hati kalau harus dibayarin Arbian kembali. "Beneran masih ada?" Tanya Arbian sambil menatap Amira yang berdiri di sampingnya. Amira merogoh uang di saku celananya, ditunjukkannya depan Arbian. "Ini uang dari Aa." "Kalau kurang bilang sama Aa." "Hum." Amira meninggalkan Arbian yang duduk di motor. Amira merasa kok Arbian agak lembut sekarang, atau ini hanya perasaan Amira saja? Entahlah. Amira mengambil roti sisi kesukaan Abah, roti buat Ambu, Zaina, buat Arbian sekalian juga, Amira sudah tentu jelas iya juga. "Neng, itu uang dari Aa cukup?" Arbian melihat kantong kresek gede yang dipegang Amira. "Cukup, A." Amira berbohong karena sisanya pakai uang Amira sendiri. "Benar?" "Iya, A. Ayo pulang." Daripada Arbian nanya lagi, langsung Amira duduk di belakang Arbian. "Neng, pegangan." Nah loh, Amira pegang apaan? Mau pegang pinggang kakaknya rasanya tidak mungkin, terus mau pegang apa coba? Amira pura-pura saja tidak mendengar apa yang Arbian katakan. Setibanya di rumah, Zaina sudah datang ternyata, duduk bersama Abah dan Ambu di teras. Zaina yang lebih tinggi dari Amira menghampiri tantenya duluan di teras, Zaina salim bentuk hormat. "Sudah lama datangnya, Dek?" "Baru sepuluh menit yang lalu. Ateu sama Papi dari mana?" "Beli bakso, ini Ateu belikan juga buat Adek. " Nuhun, Ateu." "Ni Adek ambil sendiri punya Adek, tanpa mie kan sesuai kesukaan Adek?" "Ateu hapal ih. Buat Aki dan Nin gimana?" "Biar Ateu yang siapkan. Adek kan baru sampai pasti lapar." "Ateu de best deh." Keduanya masuk ke dalam rumah, tanpa keduanya sadari bahwa Arbian dari tadi memperhatikan keduanya dari garasi. Termasuk Abah dan Ambu yang juga memperhatikan anaknya pulang bersama Arbian. "Abah, Ambu, mau makan bakso sekarang?" Tanya Amira. "Boleh deh, tapi panaskan lagi yah," pinta Abah. "Ntar yah!" Amira, Zaina dan Ambu masuk ke dalam rumah. Abah masih duduk di teras, Arbian menemani Abah. "Jadi gimana di tempat dinasmu yang baru, A?" "Alhamdulillah, lancar." "Mau sampai mati kamu duda, A?" "Entahlah, Bah. Kalau memang jalan suratannya begini ya Aa jalani saja." "Pernah nyari?" "Pernah tapi ditolak," lirihnya. "Karena duda?" "Iya, Bah." "Apa Adek tidak minta ibu baru gitu?" "Dulu pernah tapi Aa tidak menjawab apapun ya karena Aa belum bisa ngasih." Lalu Abah dan Arbian sama-sama terdiam, menatap pemandangan di depan rumah yang terhalang pagar. Zaina datang untuk memanggil Abah. "Aki, baksonya sudah." "Iya." Abah beranjak berdiri dari duduknya, menoleh sebentar pada Arbian yang sedang melamun. "Tidak usah nyari yang jauh, yang nampak di depan mata saja, A," ucap Abah lalu masuk ke dalam rumah, meninggalkan rasa penasaran Arbian yang teramat sangat dalam. "Maksud Abah tadi apa yah? Abah ngomong ambigu sekali sih," gumamnya sendiri. Akhirnya Arbian masuk ke dalam rumah, duduk di sofa ruang keluarga sendiri karena yang lain sedang duduk di kursi makan menikmati bakso kecuali Amira yang hanya menemani. Abah dan Ambu keduanya makan sambil sesekali melirik melihat Arbian. Abah dan Ambu keduanya bicara lewat mata.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD