Teman Kecilku

1154 Words
Dengan terengah-engah aku membawa baju kering itu ke loteng. Alhamdulillah... berhasil mengalahkan kecepatan hujan hingga baju-baju itu selamat. "Kardus dan plastik bekas untuk sedekah barang bekasnya basah nggak, Ra?" ujar Emak ketika menyusul ke loteng. "Aman, Mother," jawabku sambil menumpuk dua keranjang berisi baju ini, ini akan menjadi next project, setrikaan. "Pasang alarm pas Ashar, Ra, Emak mau tidur sebentar. Lumayan dua puluh menit," lanjut Emak sambil membentangkan busa kasur tipis yang tergulung di sudut loteng. Aku tersenyum lebar, ini momen paling menyenangkan dalam hidupku. Aku segera ikut berbaring di belakang Emak. Tangan ini melingkar di pinggangnya. "Mak, beneran lo, calon mantu Emak itu guanteng pol," ucapku iseng. Emak terkekeh pendek. "Dasar cah gemblung, masih kecil pun, tahu apa tentang ganteng," sanggah Emak sambil menggenggam telapak tangan ini dan menariknya hingga pelukan ini tambah erat. Sejenak kemudian terdengar napas teratur. Dengan cepat, Den Ayu Emak ini telah memasuki alam tidur. "Pokoknya, calon mantu Emak itu nggak ngecewain deh, Mak. Mak doakan Raya ya, jangan sampai calon mantu Emak itu jatuh ke tangan teman-teman Raya yang tiga itu," selorohku kemudian terkekeh pendek tanpa mempedulikan bahwa Emak sudah nggak dengar lagi, sudah masuk ke alam mimpi. Akhir pekan tiba. Aku harus membawa kardus dan plastik bekas ini ke serambi masjid. Ada program sedekah barang bekas di sana. Selain itu, aku juga diizinkan Emak untuk mendapat bagian menjadi relawan dalam program ini. "Sekalian bawa snacknya, Ra," pinta Emak yang sedang sibuk mengaduk bahan. "Wokey," sahutku sambil mengeluarkan bungkusan snack besar itu dan meletakkan ke dalam keranjang sepeda yang menempel di depan stang. Kemudian, aku ke belakang rumah dan mengangkat kumpulan karton dan plastik yang lumayan banyak, satu tali plastik kuselipkan di sana. Tumpukan ini tak berat, cuma bentuknya yang tak beraturan cukup merepotkan. "Hah!" Mulut ini berteriak ketika mendadak satu sosok berdiri tak jauh dari sepeda ini. Sesaat kemudian mulut ini tak tertutup. Laki-laki yang berdiri di depanku itu mengenakan kaos warna hitam dengan gambar tengkorak, celana jinsnya robek-robek hingga bagian paha, di lehernya melingkar kalung dengan bandul jangkar. Kupingnya yang tak bersalah ditindik dan diisi dengan anting-anting logam yang tak mulia dan ala kadarnya. "Ra," sapanya kemudian nyengir, salah tingkah dan menggaruk kepalanya yang kupastikan nggak gatal. "Rip?" balasku dengan wajah heran. Heranku kali ini beberapa drajat dari heran yang biasanya. Laki-laki itu terlihat sungkan, kepalanya menunduk melihat outfit yang dipakainya. "Em... adanya ini, Ra," celetuknya sambil berusaha menutup robek-robek pada celana yang mengumbar kulitnya. "Aku nggak menanyakan keadaan celanamu. Kira-kira tujuan, maksud, goal and aims berdiri di halaman rumahku yang lebarnya cuma dua langkah ini apa ya?" balasku kemudian menyipitkan mata. "Oh! itu... em...," jawabnya sambil melirik ke samping kanan bawah. Aku mengikuti arah lirikan itu dan menemukan karung goni plastik besar. "Ra, Arif mau barengan ke masjid nanti, ibunya bilang ke emak kemarin." Tiba-tiba suara Emak yang lantang bagai speaker masjid terdengar. Ah ... aku mendengkus. Sebwah informasi yang mengalami keterlambatan. "Manusianya dah nyampe, Mak," balasku tak kalah nyaring. Arif hanya terkekeh mendengar itu. Aku menunjuk ke tumbukan kardus dan plastik bekas yang dibawa temanku sejak sebelum masuk PAUD ini, kemudian mengangsurkan tali plastik. "Ikat saja di bagian depan, biar punyaku di bagian belakang, nanti kita jalan aja," saranku sambil mengikat sampahku di kursi boncengan. Arif mengangguk dan segera melakukan apa yang kusarankan. "Ra!" Suara Emak terdengar mendekat. Dua detik kemudian wajah Emak muncul di ambang pintu. "Ibunya Arif nitipin anaknya ke Kamu lo, Ra," ucap Emak menyampaikan amanat itu. Aku menelengkan kepala. "Arif 'kan dah lulus SMA kayak Rayya," sahutku heran. "Tapi, 'kan ibunya nitipin ke Rayya," balas Emak dengan nada, lagu dan lirik yang hampir sama, tak mau kalah. "Ne, Ma-ma," jawabku sambil menirukan gaya kasim-kasim di Kerajaan Goreyo. Arif cekikikan menyaksikan itu. Hem, Arif nggak tahu, titah paduka yang mulia Emak ini tak boleh dibantah. Gerak hatinya juga bisa menggerakkan arsy-nya Allah. Kami pamit dan segera meninggalkan rumah. Jarak antara rumahku dan masjid tak terlalu jauh. Setelah belokan itu, kami akan melalui jalan raya besar dan masjid ada di seberang jalan itu. Arif menuntun sepedaku dan aku berjalan di sisi yang lain. "Em... Ra, em... apa nanti orang-orang di masjid akan menerimaku apa adanya?" celetuk Arif pelan, kepalanya sedikit menunduk, kemudian kembali terangkat menatap lurus ke depan. Aku menghela napas panjang. "Kamu mau menyetorkan barang bekas daur ulang, Rip, bukannya mo menemui calon mempelai," selorohku iseng. Arif terkekeh pendek. "Maksudnya... aku 'kan... em... kayak gini," lanjutnya sambil sekilas menatap dirinya sendiri dari ujung kaki ke d**a. "Tenang, kalau mereka nggak terima, biar kupaksa menerimamu, hem!" seruku sambil mengacungkan jempol. Arif tertawa. "Semua masalah selesai sama Kamu ya, Ra," canda Arif setelah selesai tertawa. Aku melirik pada teman sebayaku ini. Apa yang membuatnya hari ini ikut program di masjid? Dulu dia adalah termasuk teman dekat. Sejak kecil kami selalu satu kelas. Kami juga termasuk siswa berprestasi. Jika aku ranking satu, kadang dia ranking dua. Jika dia ranking tiga, aku ranking satu. Pokoknya dia mau ranking berapa aja terserah, yang penting aku rangking satu, begitu. Pernah sih, kita barengan ranking satu, tapi untung aja nggak sering-sering. Hehe... aku tertawa jahat dalam hati. Aku melompat satu langkah biar jalan kami sejajar. "Rip, tumbenan, biasa ibumu nitip barang bekas ini ke aku?" celetukku sambil sesekali meliriknya. "Em... iya, em... kayaknya aku dah lama nyusahin ibuk," jawabnya lirih, ada nada sedih terdengar dari suaranya. Aku menghela napas panjang, telinga ini kupasang baik-baik. "Pasti semua orang tahu aku berubah karena apa, jadi anak bandel yang nggak jelas, bikin onar ke mana-mana. Aku membutakan diri ketika ibu menangis dan tiap hari pontang-panting melanjutkan hidup. Ah ya... beberapa hari lalu, aku habis berkelahi dan pulang dalam keadaan babak belur. Ibuk menangis dan kami sedikit... em adu mulut." Arif berhenti sejenak, kemudian menoleh ke arahku. Aku meliriknya sekilas, berharap temanku ini segera menceritakan lanjutannya, tanggung banget. Kekepoan ini telah membuka pintunya. "Ibu bilang, harusnya aku bersyukur, bapakku pergi setelah aku remaja, lihat Rayya! Sejak lahir belum pernah lihat wajah bapaknya, suara bapaknya aja belum pernah dengar." Arif menunduk. Seketika seolah ada vampir menyusup ke tubuh ini dan mengunyah jantungku yang hanya satu. Seperih itu rasanya. Arif mengucapkan kata maaf. "Kemudian aku sadar, harusnya aku nggak menghancurkan diriku gara-gara bapakku minggat. Kamu saja tetap bahagia dan berprestasi." Laki-laki itu tersenyum pahit. Aku mengangguk-anggukkan kepala. Pura-pura bijaksana dan mengerti keadaan itu. "Aku juga akan ikut program ngaji akselerasi itu, Ra. Kata ibuk, Kamu hanya diizinkan kuliah ke jurusan agama ya? Aku juga mau begitu," sambungnya sambil menyeberang jalan. Beberapa langkah lagi kami sampai ke masjid. "Ya, Emak mengharuskan itu. Tak peduli mau jurusan fiqih, tarekh, khot, alif ba ta, terserah. Yang penting a-g-a-m-a," jelasku sambil menuliskan kata agama di udara. "Baguslah, setahun ini Kamu juga bisa ikut, sementara uang ibukmu juga terkumpul," lanjutku menyemangatinya. "Rayya!" Sebuah suara memanggilku ketika kami baru saja memasuki gerbang masjid. Aku menghentikan langkah dan mulut ini ternganga ketika mengetahui siapa yang memanggilku itu. "Aaa!" Aku menjerit dalam hati. My bias, my beloved Ustaz Ganteng.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD