Meet You Again, Lady.

1152 Words
Kejadian seranjang dengan pria asing adalah hal yang paling ia hindari, jangan sampai one night stand. Amara menepuk kepalanya berkali-kali. Ia masih trauma karena kemarin harus tidur dengan Daniel. Pria itu memang tidak mengatakan apa-apa, sialnya malah seolah tidak terjadi apa-apa. Amara yang geregetan karena pelupa pun tak berani bertanya. Daniel. Pria itu ada di pernikahan Letta dan Rian, berarti Daniel adalah kenalan dari keduanya atau mungkin kerabat. “Muka lu kenapa sih suntuk banget?” “Biasa, lagi ada endorse yang belum gue kerjain, Bang. Tuh, gue aja belum bongkar semua paketan yang udah seminggu numpuk di situ.” Nathan melirik sekilas. Kebiasaan Amara dari dulu adalah belanja, dengan kegigihannya membuat video membuat banyak brand menggaet adek kesayangannya. Bahkan Nathan dulu tidak percaya adeknya bisa menghasilkan uang hanya kerja dari rumah. Konten kreator memang harus pintar menaikkan viewers dan pengikut. Nama Amara Dwi Atmaja mungkin banyak bersliweran di sosmed karena adeknya memang selalu posting centil demi menarik banyak job. “Semalem lu gak pulang kan?” Mampus! Nathan memang jeli, padahal nyokap dan bokap tidak tahu kalau anak bungsu mereka ternyata semalam tidak tidur di rumah. “Ya kali Letta nikah gue malah pulang awal. Ada pesta dan gue terpaksa harus ikut, banyak teman-temannya juga kok.” bohongnya. Tidak bertanya lagi, Nathan ada jadwal ke luar kota hari ini. Ia memiliki usaha wedding organizer, merangkap sebagai leader dalam tim. Gajinya lumayan apalagi kalau yang menggunakan jasanya adalah orang terkenal. Masih malas untuk sekedar cuci muka, Amara mengecek notifikasi ponsel satunya. Ponsel yang ia gunakan untuk bisnis, ia tidak memiliki admin untuk mengelola. Gajinya pas-pasan, kalau lagi rame ya syukur, kalau sepi Amara hanya bisa irit akhir bulan. Orang tuanya tidak memberatkan Amara karena selama ini pilihan Amara adalah seorang selebgram dengan modal fotoshoot atau video sebuah brand. Gajinya tidak banyak, tapi paling tidak ia bukan pengangguran yang hanya bisa mengandalkan gaji orang tuanya saja. Nomer tak dikenal masuk ke ponsel utamanya, siapa sih orang iseng jam segini? ‘Hmm. Spam kali.’ “Hai, Amara. Daniel di sini, inget gak? Yang semalem nemenin kamu bobok.” What! Amara langsung menjauhkan ponselnya, mengecek nomer Daniel. Apa-apaan? Dari mana si kampret itu dapat nomernya. “Halo? Ra?” Panggilan ‘Ra’ membuat Amara agak tertegun, hanya orang-orang dekat saja yang biasa menggunakannya. “Lu tuh ya, bisa banget dapetin nomer ponsel gue. Malak dari mana?” “Gak usah ngegas, cantik. Kamu sendiri yang ngasih semalam, aku beri nama Amara 36B.” Sialan. Tebakannya akurat, Amara tambah kesal. “Punyamu ukurannya segitu kan? Porsi yang pas untuk digenggam, idaman semua pria, termasuk aku.” “Dasar m***m!” Klik. Amara langsung memblokir nomer Daniel. Ia mengutuk, mulutnya berkomat-kamit. Jengkel, kesal, malu jadi satu. Jangan-jangan waktu tidur bareng Daniel grepe-grepe lagi? Ah, Amara tidak mau membayangkannya. Untuk menaikkan moodnya di pagi hari, Amara turun ke lantai bawah dan menyapa sang mama. Kelihatan baru saja mengembalikan masakannya ke dapur, Amara melewatkan sesi sarapan. “Anak gadis jam segini baru bangun. Abangmu aja udah berangkat tadi.” “Papa juga?” Naomi mengangguk. Hanya tersenyum lalu pergi untuk melanjutkan kesibukannya. Sedangkan Amara sudah siap mengambil nasi, sayur dan lauk-pauk. Daniel. Pria itu bahaya sekali, dari tampangnya sih seperti pria kaya yang selalu dituruti keinginannya. Masa bodoh ah, Amara sudah tidak mau lagi berurusan dengan pria itu. (Part 2) Kerja sama endorse bagi Amara memang harus dengan kontrak. Tapi ia hanya memilih bertemu di hari weekend saja. Amara bukan tipe orang yang punya banyak waktu untuk hang out apalagi nongkrong kecuali diajak Letta. Setelah sahabatnya menikah, sudah dipastikan Amara bakalan jarang sekali keluar dari peradabannya. “Jadi deal ya, Kak Amara. Untuk produknya nanti saya bakalan kirimkan, tema video juga beberapa foto dengan latar menarik. Kami menantikan kerja sama yang terbaik dengan anda.” “Terima kasih, Kak Wina. Saya juga merasa bangga karena memilih saya untuk project ini.” Setelah selesai, Amara masih stay di cafe. Ia cukup malas berdiri dan pulang, nomer Nathan pun tak ada jawaban. Males banget rasanya harus mengendarai motor dengan cuaca sepanas ini, namanya aja Jakarta. Dengan kemageran yang luar biasa, akhirnya Amara berjalan menuju parkiran. Ia menstater motor, mengendarainya dengan kecepatan normal. Baru setengah jalan hampir dekat pertigaan mendadak motornya berhenti. Ujian apa lagi ini? “Heart, jangan ngambek dong. 10 menit lagi kita sampai rumah! Ih!” Heart adalah nama motornya, ia membelinya satu tahun lalu. Tapi karena pernah nyungsep di selokan, semenjak itulah si Heart suka ngambek gak jelas kayak gini. Beberapa orang hanya menengok sebentar lalu berlalu begitu saja. Amara memakai masker, ia mengutuk orang-orang yang tidak mau membantunya. “Aku buka masker ah, siapa tahu ada cowok tampan yang lewat terus bantuin aku.” Doa terkabul. Siapa sangka, Daniel yang baru saja lewat kembali mundur setelah melihat seorang gadis dari spionnya sedang duduk di atas motor dengan wajah melasnya. “Hai si seksi. Mogok ya?” Daniel melepas helmnya. “Butuh tumpangan?” “Gak usah.” jutek Amara. Ia membatin dalam hati, dia lagi-dia lagi. “Kalau kamu naik taksi, motornya bisa kamu titipin ke aku. Aku bisa nelpon pihak bengkel daerah sini. Mana kuncinya?” “Gue bilang gak usah, Daniel. Budeg ya lu.” Untung Daniel ini penyabar. Ya, penyabar kalau ada maunya, yang ia mau adalah Amara. Umurnya sih sudah dewasa, tapi wajah Amara masih unyu seperti umuran SMA. Daya tarik Amara bukan cuma soal ukuran dadanya 36B, tapi kecuekan dan sifat plin-plannya yang membuat Daniel bisa sampai segemas ini dengannya. “Jadi kamu mau dorong motormu sampai rumah?” “Enggaklah.” Amara bakalan jadi tontonan orang-orang yang lewat. Ia menghembuskan napas kesal. Nathan tidak aktif. Ia tahu abangnya sudah sibuk dengan pekerjaannya, apalagi kalau sehari ganti beberapa lokasi resepsi. “Ya udah, anterin gue balik. Dari tadi udah nemu gojek cuma gak nyampe-nyampe.” Daniel tersenyum menang. “Gue telpon temen gue dulu.” Tak ada 15 menit, dua pria datang dan berbicara akrab dengan Daniel. Mereka membawa Heart dan akan menyelesaikannya paling lambat besok. Amara naik ke jok belakang, ia menjaga jarak dengan Daniel. Biasanya adegan seperti ini, si cewek pasti bakalan nempel kayak perangko. Tapi tidak, Amara gak bakalan kena perangkap batmannya si Daniel m***m. “Kalau jatoh gak tanggungjawab ya. Minimal pegangan jaketku, Ra. Aku gak pernah naik motor pelan-pelan.” Benar kata Daniel. Pria itu mengendarai motor seperti naik pesawat. Amara bahkan meracau setiap detik, ia masih sayang nyawanya. Apalagi mati berdua dengan Daniel, oh no! Sampai di depan gerbang, Amara masih mengatur napas. “Kayaknya ada yang betah meluk gue deh.” Logat Daniel akhirnya keluar. Ia membiasakan apa yang sering digunakan Amara padanya. Bukan aku-kamu saat seperti pertama bertemu. “Pede. Makasih tumpangannya, nanti biar gue yang ambil sendiri motornya.” “Caranya? Bukannya lu blok nomer gue ya? Lu kan gak kenal mereka.” Ih, bener juga. “Iya-iya, nanti gue buka bloknya. Bye.” Daniel lagi-lagi menang. Daniel dilawan, Amara yang bakalan ditaklukkan.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD