"Pak, Pak Lurah ... Dayohe sampun rawuh—tamunya sudah datang—." Panggil seorang wanita paruh baya yang biasa menjadi buruh membatik di rumah pengusaha batik yang juga menjabat sebagai kepala desa saat melihat Adam putra semata wayang Pak Lurah datang dengan seorang pemuda berada diboncengan motornya.
"Enggeh Mbah—iya, Nek—," jawab Pak Lurah sebelum keluar dari rumahnya untuk menyambut sang tamu agung.
"Selamat datang di desa kecil kami, ini Pak Tirta, kami merasa sangat tersanjung bisa menerima kunjungan Bapak," Sambut Pak Lurah bernama Winoto itu, seraya mengulurkan tangan pada pria gagah yang baru menginjakkan kaki di halaman rumahnya.
"Tidak perlu sungkan begitu, Pak Lurah. Anggap saja saya ini teman lama Anda," jawab Tirta sambil balas menjabat tangan Pak Lurah.
"Kalau begitu, Anda tidak perlu memanggil saya Pak Lurah, panggil saja Pak Noto," ucap Pak Lurah hangat disertai senyuman lebar.
"Kalau begitu Pak Noto panggil saja saya, Tirta, tidak perlu memanggil Pak," ucap Tirta seraya bertawa kecil untuk mencairkan suasana, tapi tetap saja wibawa Tirta Bagaskara begitu terasa dan membuat segan lawan bicaranya.
"Kalau begitu, panggil Mas saja, biar lebih akrab, itu anak saya. Sudah kenalan tho?" ujar Pak Lurah sambil menunjuk pemuda berusia dua puluh tahun yang tadi menjemputnya di terminal, karena Tirta sengaja datang ke kampung batik itu tanpa membawa mobilnya, sopir ataupun kemewahan hidupnya. Hanya satu buah tas berisi pakaian santainya saja yang ia bawa, ia benar-benar ingin membaur dengan masyarakat di sana agar lebih memahami akar produksi bisnisnya juga memperbaiki kerusakan dari sumber terkecil.
"Masyarakat sini tidak perlu tahu siapa saya sebenarnya, Pak Noto cukup bilang kalau saya ini kerabat Pak Noto yang ingin belajar tentang batik di sini, asisten saya sudah memberitahu semuanya pada Anda, bukan?" bisik Tirta pada bapak kepala desa itu.
"Iya, Mas Tirta, kami paham. Mari silakan masuk, biar Mas Tirta bisa mandi, makan, dan beristirahat. Besok baru Adam akan mengantar Mas Tirta keliling desa," ajak Pak Lurah pada tamu yang rencananya akan menginap beberapa waktu di rumahnya. Tirta memasuki rumah Pak Noto, sebuah rumah bermodel tradisional jawa walaupun sudah bercampur dengan sentuhan moderen tapi kesan klasiknya masih sangat terasa.
Pak Noto langsung mengantarkan Tirta ke kamar yang akan ia tempati selama di sini, kamar yang bersebelahan dengan kamar Adam putranya.
"Silakan, Mas Tirta, maaf kalau hanya ini yang bisa kami sediakan. Maklum rumah ndeso, semoga Mas Tirta kerasan di sini," ujar Pak Noto sambil membukakan pintu kamar untuk Tirta.
"Tidak apa-apa, Pak Noto, saya sangat berterima kasih," jawab Tirta.
"Saya permisi dulu, kalau Mas Tirta mau mandi kamar mandinya ada di sebelah," ujar Pak Noto sambil menunjuk arah kamar mandi. Lalu menarik diri meninggalkan Tirta yang masih mengedarkan pandangan pada ruangan yang lebarnya tidak ada seperempat luas kamarnya di rumah.
***
Tirta masih terlelap di atas ranjang besi berkasur kapuk di kamar tempatnya menghabiskan waktu istirahatnya beberapa waktu ke depan. Sehabis mandi sore tadi ia beristirahat karena lelahnya perjalanan selama tujuh jam menuju kota batik ini, matanya mengerjam saat indera pendengarannya menangkap suara ketukan di daun pintu kamarnya.
"Mas ... Mas Tirta, makan malem dulu, yuk," suara Adam terdengar memanggil namanya.
"Iya, Dam," seru Tirta, tak lama ia membuka pintu dan mendapati pemuda yang namanya masih tercatat sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di kota. Kampusnya tidak jauh dari terminal tempat kemarin ia menjemput Tirta, sekitar dua jam perjalanan menggunakan sepeda motor dari kampungnya ini.
Memang melelahkan jika harus ditempuh pulang pergi setiap hari, itulah alasannya kenapa Adam memilih tinggal di rumah kost di dekat kampusnya. Hanya pupang seminggu sekali jika akhir pekan seperti hari ini.
Tirta mengikuti langkah Adam menuju ruang makan, di sana Pak Noto dan Bu Wiwik istrinya sudah menunggu.
"Mas Tirta, kenalkan ini Ibunya Adam. Namanya Wiwik." Tirta menyalami istri Pak Noto yang langsung menyambut uluran tangannya.
"Maaf, ya, Mas Tirta saya enggak ikut nyambut Mas Tirta tadi, saya ada kumpulan dengan ibu-ibu PKK di balai desa," ujar Bu Wiwik ramah.
"Enggak apa-apa, Bu, Ibu tidak perlu sungkan begitu," jawab Tirta.
"Ya udah, ayo mulai dimakan, mudah-mudahan makanan desa ini cocok dengan lidah kota Mas Tirta, ya," ujar Pak Noto, lalu di sambut tawa mereka semua.
Walaupun hanya masakan rumah yang sederhana, tapi mereka makan dengan nikmat dan penuh kehangatan.
Tirta menghabiskan waktu untuk berbincang dengan Pak Noto tentang bisnisnya juga tentang kecurigaannya tentang adanya korupsi besar di bagian produksi kain batik yang mengakibatkan banyak kerugian untuk perusahaan Tirta.
Rencananya Tirta akan dibantu Pak Noto untuk menyelidiki kasus tersebut, sebenarnya Pak Noto sudah curiga pada Pak Somad kepala perhimpunan pengusaha batik di desa itu. Maka esok rencananya Tirta akan datang ke rumah produksi batik milik Pak Somad tersebut.
***
Pagi yang dingin, terasa membekukan tulang-tulang Tirta yang meringkukkan tubuhnya di atas ranjang, menggulung tubuhnya di bawah selimut.
Desa asri ini berada di bawah kaki gunung, wajar saja jika malam hingga pagi hari udara terasa sangat dingin. Tentu saja berbeda dengan Jakarta yang selalu terasa hangat bahkan panas, hal itu membuat Tirta merindukan kota kelahirannya. Dia tidak suka dingin terutama jika tidak ada seseorang yang bisa memberinya kehangatan.
Walau telah lama bergumul dengan selimut tapi rasanya udara tidak kunjung menghangat, sedari tadi Tirta sudah mendengar suara Pak Noto berbincang dengan istrinya di dapur yang terletak tepat di belakang kamarnya tetapi Tirta belum juga berniat untuk meninggalkan ranjangnya.
Sampai beberapa waktu telah berlalu, rasanya kedua matanya hampir saja terpejam kembali saat mendengar Pak Noto memanggilnya.
"Mas Tirta, udah bangun belum, kalau sudah ayo kita sarapan."
***
Tirta mengekori langkah adam, menyusuri jalan setapak berbatu dengan rerumputan yang tumbuh kurang subur karena sering terinjak di kedua sisinya. Tirta tampak santai dengan kaus oblong, celana jeans selutut dan sebuah kamera Canon EOS 5D menggantung di lehernya. Sesekali ia mengambil gambar indahnya pemandangan desa itu, gunung yang menjulang di depan mata, sungai berair jernih yanv mengalir di atas bebatuan besar, anak-anak yang berangkat sekolah dengan berlarian. Saling berkejaran satu sama lain, ada beberapa anak yang membawa sepeda tapi lebih memilih menuntunnya demi menunggu temannya yang berjalan kaki, sungguh pemandangan yang mengejukkan mata dan hati tentunya.
"Ini tempatnya, Mas, rumah produksi batik terbesar di desa ini, punyanya Pakde Somad," ucap Adam setelah sampai di dekat bangunan besar beratapkan seng dengan bilik Terbuat dari anyaman bambu.
Tirta kembali mengikuti langkah Adam untuk menemui sang juragan untuk meminta izin melihat-lihat pembuatan batik di sana.
Dengan seksama Tirta memperhatikan saat Pak Somad memberinya pengarahan tentang bagaimana memulai membuka usaha batik, itulah yang Tirta inginkan, pura-pura belajar sambil menyelidiki satu persatu rumah batik yang telah menerima kucuran dana dari perusahaannya. Dari sinilah dia akan tahu siapa saja yang mencurangi dirinya.
"Saya heran sama Mas Tirta ini lho, wong saudara sendiri juga punya rumah batik la kok mau belajar sama saya," ucap Pak Somad penuh selidik, Tirta tersenyum tenang mendapatkan pertanyaan itu.
"Kan, menurut Pak Noto Om saya, Pak Somad ini pemilik rumah produksi batik terbesar di sini. Bapak juga ketua perhimpunan pengusaha batik, tentu saja saya tidak akan belajar dari orang yang salah," jawab Tirta, lalu tawa renyah terdengaar dari mulut lelaki di hadapannya itu, membuat mau tidak mau Tirta tertawa bersamanya.
"Ya sudah kalau begitu, Mas Tirta liat-liat aja dulu, keliling pabrik biar tau proses pembuatannya secara langsung, ada Adam yang nemenin tho?" Adam yang sedari tadi memainkan ponselnya merasa terpanggil dan langsung mendekat.
"Ya sudah, kami permisi dulu," pamit Tirta, Adam hanya tersenyum segan pada lelaki seusia Ayahnya yang terkenal galak itu.
Mereka berdua berkeliling guna melihat-lihat proses pembuatan batik, proses panjang yang membutuhkan ketelatenan dan kesabaran, tidak heran jika harganya tidak murah.
Tirta mengabadikan semua yang ia lihat dengan kameranya, dengan telinga yang tetap mendengarkan Adam yang menjelaskan nama-nama proses yang sedang mereka lihat.
Sampai pada aula terbuka di belakang pabrik, ada beberapa wanita yang tengah bercengkrama sambil menorehkan motif pada selembar kain yang ada di pangkuannya.
Beberapa orang berkerumun duduk di atas dingklik–kursi kecil dari kayu– mengitari kompor kecil yang diatasnya ada wajan mengepul dari lilin yang dipanaskan, sesekali mereka meniup ujung alat tulis yang mereka pegang lalu menorehkan pada kain putih yang dipegang menggunakan tangan kiri.
Pandangan Tirta terfokus pada wanita yang terlihat paling muda di antara mereka, wanita yang tampak sederhana menggunakan kemeja dan rok panjang, dengan rambut hitam panjang tergerai. Bibir Tirta ikut mengerucut saat wanita itu meniup ujung alat tulisnya lalu tertawa saat menorehkannya di atas kain, ia tetap fokus membatik walau sambil berbincang dengan rekannya.
Melihat tawanya, yang menghasilkan sebuah lubang manis di pipinya membuat Tirta merasakan getaran yang pernah ia rasakan beberapa tahun yang lalu
Tanpa sadar sudah ada beberapa foto wanita itu yang ia ambil saat tiba-tiba Adam yang entah darimana datangnya sudah ada di sampingnya sambil berkata, "dia cantik, ya, Mas."
Tirta hanya tersenyum mengiyakan.
"Calon pacar aku itu!" celutuk Adam.