DUA

2500 Words
[Entah siapa yang salah, aku yang terlalu banyak menggantungkan harapan padamu, atau kau yang tidak acuh.] Dengan jantung masih berdebaran, aku menyeruput jus jeruk yang dingin sampai tersisa sedikit saja. Berharap dengan begitu bisa menghilangkan bayangan adegan Ruth dan Elang tadi dari kepalaku. Tapi ternyata jus jeruk saja tidak cukup, adegan panas antara sahabatku dan cowok b******k itu malah semakin jelas. Mataku mengedar ke seluruh penjuru kelas sambil melirik jam yang melingkar di tanganku. Harusnya Ruth sudah datang ke sini untuk kelas berikutnya, karena lima menit lagi kuliah akan dimulai. "Kirei!" Tiba-tiba suara Ruth datang dari arah pintu masuk. Kepalaku mendongak ke arahnya dan dengan wajah riang gembira ia duduk di sebelahku seraya meletakkan tasnya di atas meja. "Aku mau cerita!" serunya dengan raut bahagia. Aku tahu apa yang akan ia sampaikan. Pasti Ruth mau menceritakan kejadian yang kulihat tadi. Yang kutahu, ia memang sangat berharap untuk bisa dekat dengan cowok bernama Elang itu, walaupun hanya sekedar bertegur sapa. Tapi apa dia lupa kalau sebelumnya Elang sudah mengabaikan tegurannya begitu saja? Pasti kejadian ini membuat hatinya melonjak bahagia setengah mati. Karena akhirnya ia bahkan bisa berciuman dengan laki-laki tukang tebar pesona itu. Ia pasti sedang terbang melayang ke langit ketujuh sekarang. Dan aku takut ia akan sakit hati karena jatuh dari tempat yang sangat tinggi. Aku menelan ludah sambil melihat sekitar dan sedikit mendekatkan diri kepadanya. "Ruth ... a—." Dia memotongku, "Aku jadian sama Elang, Rei!" selanya dalam tempo yang cepat dengan senyum lebar yang tidak bisa ia sembunyikan. Mataku membesar dan hampir tersedak ludahku sendiri. Nah! Apa kan kubilang. "Rei? Kamu kenapa?" Ia menyodorkan air mineralnya, "minum ini." Aku menerima dan meminumnya seteguk sambil mencerna kata-katanya tadi. 'Jadian' yang ia maksud, sudah pasti tidak sama dengan yang dimaksud cowok player itu. Aku menatapnya dengan dahi berkerut, "Kamu—jadian—sama Elang??" kataku mengulang kata-katanya dengan terbata. Ia mengangguk dengan antusias. "Sejak kapan, Ruth?" tanyaku pelan, berusaha untuk tidak memadamkan perasaan bahagianya saat ini. Ia melongok jam tangannya, kemudian mendongak padaku lagi. "Sejak pukul 13.15 tadi Rei!" serunya gembira sambil meremas tanganku. "Kamu ... kamu tahu enggak Rei, tadi Elang menciumku! Berarti dia suka juga sama aku kan Rei? Itu berarti sekarang aku pacarnya ya kan??" Aku menarik napas panjang sambil mengamati sikapnya yang aneh. Perasaan benci pada cowok berlesung pipi menawan itu semakin membuncah. Aku bisa saja tidak peduli dia mempermainkan perasaan perempuan manapun, tapi tidak sahabatku! Dan yang aku tahu laki-laki model seperti Elang itu tidak perlu status pacaran untuk bisa mencium wanita yang dia inginkan, bukan begitu? "Kok kamu kelihatannya enggak senang melihat aku senang, Rei?" tuding Ruth dengan ekspresi sedih. Aku menyentuh tangannya dan meremasnya pelan, "Ruth ... aku bahagia kalau kamu bahagia ... sungguh," kataku, "tapi ... ini kan Elang, Ruth, kamu yakin?" kilahku mengungkapkan resahku. "Aku enggak mau kamu kecewa atau sakit hati...." Ruth menggeleng dan balas meremas tanganku, seolah ia juga merasakan resah yang sama, "Aku tahu kamu cemas, Rei. Tapi itu mungkin juga karena cerita yang pernah kusampaikan ke kamu," sanggahnya. "Elang itu enggak seburuk yang kita kira selama ini kok Rei. Aku pernah cerita kan, kalau dia dan aku pernah satu kelas di semester satu?” Aku mengangguk, “Tapi dia enggak ingat kamu sama sekali, kan?“ “Dia memang lupa, tapi aku sudah membuatnya mengingatku tadi," ungkapnya senang. "Maksud kamu itu...." "Kamu tahu kan dari dulu aku penasaran bagaimana rasanya dicium bibir Elang itu, dan ternyata...." Gadis itu mengulum bibirnya dengan mata berbinar, "rasanya lembut dan panas, Rei," ucapnya setengah berbisik di telingaku. Aku melongo menatapnya. Ya ampun sahabatku ini sedang mabuk kepayang akibat ciuman cowok playboy itu. Aku menepuk pundaknya pelan, karena ia memejamkan matanya seolah sedang membayangkan kembali adegan ciumannya dengan Elang tadi. "Ruth...." Aku menelan ludah. Ruth menaikkan kedua alisnya dengan senyum yang aneh sambil membuka matanya, "Ya?" "Apa cowok itu meminta kamu jadi pacarnya?" Ruth menggelang, "Sshh ... kadang-kadang kata-kata itu enggak diperlukan, Rei,” selanya. Dan aku tahu risikonya pacaran dengan cowok paling populer di kampus ini," ujarnya sambil menganggukkan kepalanya terdengar sangat percaya diri. Aku menghela napas sekaligus mengembuskannya pasrah. "Hhhh ... baiklah, terserah kamu," cetusku, "setidaknya sebagai sahabat, aku sudah mengingatkan." "Iya ... Kirei," ucapnya sambil memelukku, "setidaknya kamu ucapkan selamat pada sahabat kamu ini, karena bisa menggapai impiannya," rengeknya. "Selamat Ruth" kataku pelan sambil mengangguk. Memang terdengar seperti tidak rela. Karena aku memang tidak rela kalau sampai Elang menyakiti perasaan sahabatku ini. "Hai hai ... Rei, Ruth," sapa Ina yang baru datang dan duduk di sebelah Ruth. "Aku pikir aku terlambat, tapi ternyata dosennya belum datang?" lanjutnya. Kami berdua menggeleng. Dahinya mengernyit memandang ke arahku dan Ruth bergantian. Ekspresinya berubah menjadi curiga ketika melihat Ruth yang tidak melepaskan senyumnya sejak tadi. "Ehm ... apa aku ketinggalan berita membahagiakan hari ini?" "Coba tebak Na!" seru Ruth sambil melirikku dari sudut matanya. Sementara bola mata Ina berputar dengan dahinya yang berkerut seolah-olah sedang berpikir keras, "Aku tahu, kamu kegirangan seperti ini karena tadi satu kelas lagi sama Elang, kan? Cowok impian kamu itu," tebak Ina penuh keyakinan. Ruth manggut-manggut, "Itu benar juga, tapi ada yang lebih membahagiakan dari itu!" lontarnya makin berbinar. Ekspresi Ina makin penasaran lagi, ia melihat ke arahku, "Huh? Lebih dari itu?" timpalnya, "apa Ruth?" Ina kembali melihat ke arahku dengan tatapan was-was, mungkin perasaannya sama denganku. "Aku dan Elang baru saja jadian!" serunya hampir memekik girang. Namun, ia langsung menutup mulutnya saat menyadari suaranya sedikit keras. "Kenalin..." ujarnya sambil menyodorkan tangannya pada Ina, "aku Ruth, pacar barunya Elang." Kepala Ina mundur ke belakang, "Pacar atau simpanan??" tanya Ina skeptis. Ina lebih blak-blakan mengungkapkan perasaannya tanpa takut Ruth akan tersinggung atau marah. Ia menyentuh dengan keras dahi Ruth, "Ruth, sadar! Kamu itu enggak pernah dianggap sama cowok itu ... mana bisa dia mau—." "Ina ... kamu kok gitu sih," sela Ruth dengan wajah sedihnya. Ina sependapat denganku, ia tidak setuju Ruth terperangkap pesona Elang dengan menjadi pacarnya. Ia juga mengatakan ciuman sama Elang itu belum berarti menjadi pacarnya! Laki-laki itu bahkan bisa melakukan lebih dari ciuman dengan wanita manapun tanpa harus pacaran! Namun, Ruth tetap keras kepala dan kami berdua hanya sanggup menghela napas saja. *** Langkah kaki kami terhenti ketika Ruth merentangkan tangannya di depanku dan Ina dan menunjuk ke arah di mana terlihat cowok bernama Langit Segara dan kelompoknya sedang berjalan ke arah kami. Kuperhatikan wajah Ruth yang bersemu merah melihat lelaki berambut sedikit acak-acakan itu seolah sedang berjalan menghampirinya. Pada jarak kurang lebih tiga meteran—baru jelas terlihat bahwa perhatian laki-laki itu sama sekali bukan pada Ruth. Cowok itu bahkan tidak melihat sedikit pun ke arah kami. Sampai saatnya kami berpapasan pun, Elang sama sekali tidak mengindahkan Ruth yang sudah berharap mendapat sapaannya. Mata Ruth membesar melihat ke arah Elang yang melewatinya begitu saja tanpa menegurnya. Aku dan Ina saling berpandangan merasa prihatin. Ina meraih tangan Ruth dan menariknya, "Lihat kan kelakuan 'pacar semu' kamu itu?!" ketusnya. Perlahan pelupuk mata Ruth berkaca-kaca dan raut wajahnya berubah drastis. Ina menariknya sampai ke mobil dan aku membukakan pintu untuk Ruth masuk ke dalamnya. Di situlah Ruth baru menangis, menumpahkan kekesalan dan sakit hatinya karena diabaikan begitu saja oleh laki-laki yang ia klaim sebagai pacarnya beberapa jam lalu. "Aku sudah bilang, jangan berharap banyak dari cowok itu Ruth!" tukas Ina geram. "Enggak! Aku yakin Elang punya perasaan yang sama ke aku, Na! Aku bisa merasakannya," kelit Ruth menolak kenyataan. "Dengar Ruth, Elang itu cowok player, kita kan tahu cewek-cewek yang dekat sama dia itu seperti apa—," tambah Ina lagi. "Cukup Na, kamu enggak usah jelek-jelekin Elang terus. Aku paham kok, mungkin dia belum mau terbuka tentang hubungannya denganku," dalih Ruth keras kepala. "Lagipula kalau dia enggak punya perasaan ke aku, mana mungkin dia mau berciuman sama aku tadi?!" tuturnya lagi. Oh ya ampun Ruth. "Aku harus bicara sama Elang!" geramnya seraya membuka pintu mobil dan menghambur keluar untuk kembali ke arah kampus. Aku dan Ina sontak saja ikut melompat turun dari mobil dan mengejar Ruth yang berderap gusar ke arah Elang. Benar saja Ruth menghampiri kelompok Elang yang sedang berkumpul di lorong kampus yang terbuka. Ia berdiri di belakang laki-laki itu, "Elang, aku mau bicara!" ujarnya dengan suara bergetar. Aku dan Ina memantau dari tempat yang tidak begitu jauh. Laki-laki itu memutar tubuhnya dan melihat Ruth dari atas sampai bawah, alisnya berkerut, "Lo siapa ya?" Bukan hanya Ina yang tangannya mengepal ingin memukul wajah cowok sok ganteng itu, tasku juga hampir melayang ke arahnya kalau saja aku tidak menahan diriku. Bisa-bisanya dia lupa sama gadis cantik yang bibirnya bersatu dengannya beberapa jam yang lalu. Hatiku sangat geram melihatnya. Ruth terlihat syok, namun ia berusaha menahan diri untuk tidak terlihat lemah di depannya. Kemudian ekspresi Elang berubah, "Owh, gue ingat! Lo yang tadi nyium gue tiba-tiba itu kan?" cibirnya ketika mendapat perhatian teman-temannya. Kemudian dia menggeleng mengejek, "parah ... ciuman lo parah banget!" oloknya sehingga memancing tawa yang lain yang memberikan tatapan cemooh ke arah Ruth. Mata Ruth membesar dan berkaca-kaca mendapatkan hinaan di hari bahagianya. Air mata tak terbendung mengalir dari sudut matanya. Dadanya juga terlihat naik turun karena ia berusaha untuk menahan emosinya. Aku dan Ina menghampiri Ruth, bersamaan memandang tajam ke arah cowok yang sedang terkekeh bersama teman-temannya itu. Sementara Ruth hanya membeku, hatinya pasti hancur saat ini—karena akhirnya ia pergi berlari—menjauh. Ina mengejarnya, sedangkan aku terpaku menatap pemilik manik mata berwarna cokelat tanpa perasaan itu, "Hati kamu itu terbuat dari apa, huh? Saya yakin kamu belum pernah tahu bagaimana rasanya dicintai dan mencintai!" makiku dengan suara keras. Laki-laki itu menatapku tajam namun tidak mengeluarkan suara. "Coba bayangkan kalau ada orang lain menyakiti ibu kamu dan saudara perempuan kamu, seperti yang baru saja kamu lakukan pada teman saya!" semburku penuh amarah dan tanpa sadar tanganku melayang ke pipinya yang bolong itu. 'PLAK!!" suaranya cukup nyaring karena aku melakukannya dengan sekuat tenaga. Seketika suara tawa teman-temannya berhenti karena menahan napasnya. Mata cokelatnya yang tajam menyala-nyala menyorotku sambil memegang pipinya yang baru saja kutampar. Rahangnya mengeras dan berkedut sekaligus menahan amarahnya, ia masih menatapku intens dengan matanya yang membesar. Wajahnya mendekat ke arahku sambil mendengkus. Telunjuknya menunjuk tepat di wajahku, dan sebelum ia balas menyemburku, aku sudah memutar tubuhku untuk pergi meninggalkannya. Lalu suara ejekan teman-temannya mengiringi derap langkahku yang semakin jauh darinya. Dasar cowok berhati batu karang! Tidak punya perasaan! Aku masih saja mengumpat dalam hati sampai di mobil Ina dan mendapati Ruth yang masih menangis. *** Aku memandangi bayanganku di dalam cermin. Sudah hampir satu minggu aku bekerja di cafe ini. Kaus seragam dengan tulisan Blue Sky Crew ini terlihat cocok di tubuhku, ini merupakan identitas dari karyawan yang bekerja di cafe ini. Pekerjaanku adalah sebagai pelayan bar yang menyajikan minuman, tapi bisa berganti juga sebagai pelayan yang mencatat pesanan tamu pengunjung. Mataku menangkap seseorang yang masuk ke dalam ruangan ini, Dia adalah Rosa,teman sejawatku sesama pelayan. "Kamu cantik banget, Rei...," pujinya sambil melihat bayanganku di dalam cermin. Aku tersenyum dan memutar tubuhku untuk memeluknya. Rosa juga orang pertama yang menyambutku dengan ramah sebagai karyawan baru di cafe ini. "Mba Rosa juga cantik...." balasku. Karena ini hari Sabtu, suasana restauran lebih ramai. Sampai Mas Leo, manager cafe ini harus ikut turun tangan melayani meja pengunjung. Ia pimpinan yang bertanggung jawab dengan pekerjaannya, tidak sungkan membantu melayani tamu cafenya. Banyak yang bilang Leo adalah orang terdekat sekaligus sahabat dari pemilik cafe ini. Menjelang jam tutup cafe , pukul sembilan lebih tiga puluh menit saat ini, namun cafe masih saja ramai, walau berkurang sedikit. Kakiku terasa kaku karena berdiri hampir seharian ini, belum sempat duduk. Demi tidak mati rasa, aku memilih beristirahat sebentar setelah izin pada Rosa tadi. Namun tiba-tiba pintu ruanganku terbuka dan wajah Leo muncul di sana dengan senyumnya yang khas. "Capek ya?" tanyanya membuatku tidak enak dan menyegerakan untuk berdiri. Aku menggeleng, "Maaf Mas, sudah enggak capek lagi kok," jawabku cepat. Leo tersenyum, "Enggak apa Rei. Aku cuma mau kenalin kamu ke pemilik cafe ini, kebetulan dia datang dan sekarang ada di kantornya" ujarnya. Aku mengangguk dan mengiyakan, kemudian mengikuti langkahnya menuju ruangan di lantai atas yang merupakan kantor si pemilik cafe ini. Ia mengetuk pintu dan mendorongnya pelan hingga pintunya terbuka. Ruangannya cukup nyaman untuk sebuah kantor, dengan jendela besar yang menghadirkan pemandangan kota, tedapat dua buah sofa berwarna putih yang cukup besar menghadap ke arah meja kerja sang pemilik, dan juga sebuah layar besar berwarna hitam pada salah satu dindingnya. Leo mempersilakanku masuk, lantainya dilapisi karpet warna hitam dan abu-abu dengan motif bulat-bulat yang samar. Lampu gantung yang bulat pipih seperti uang logam raksasa menggantung cantik di atas tengah ruangannya. Pasti pemiliknya punya selera tinggi dalam hal desain ruang. Leo menyuruhku duduk sambil ia membuka pintu lainnya dengan bersuara, "Brooo! Lo di mana sih?" Dari ruangan yang lain, keluarlah sosok lelaki yang tidak asing lagi buatku. Aku malah  sempat terperangah ketika melihatnya ada di ruangan ini. Mataku tidak berkedip melihatnya sedang merapikan baju yang dipakainya, sepertinya ia baru saja mandi, karena rambutnya yang berkilau basah. "Nah! Gue cariin...," seru Leo ketika melihat Elang keluar dari arah kamarnya. Lalu ia melihat ke arahku yang berdiri mematung, ketika ia mengalihkan pandangannya pada si pemilik cafe itu, ia juga menyadari kalau atasannya itu sama bekunya denganku. "Ngapain tu cewek di sini??" tanyanya dingin sembari menuju ke meja kerjanya, matanya menyoroti kaus yang kupakai dengan tatapan sinis. Pandangan manajer cafe yang bernama Leo itu beralih padaku, dahinya berkerut, "Kalian saling kenal?" bisiknya. Tatapan Elang yang penuh kebencian padaku diabaikan Leo. Lalu Atasannya itu berujar, "Gue enggak mau tu cewek di sini Le!  Cari pegawai lain!" bentaknya pada Leo. Akan tetapi Leo malah terkejut menatap atasannya itu dengan ekspresi merasa bersalah padaku. "Lang, apa-apaan sih!" cetusnya, "mana bisa main cari pegawai lain begitu aja! Lagi pula Kirei itu pekerja keras, sudah lima hari dia kerja di sini dan enggak ada masalah,” sambungnya sambil berjalan mendekati bosnya itu. “Apalagi dia memang butuh pekerjaan ini Lang. Kirei baru aja ditinggal ibunya, ha—," kata-kata Leo terpotong. "Heh! Itu masalahnya, bukan masalah gue!" dengus Elang. "Pokoknya gue enggak mau cewek itu kerja di cafe gue! Titik!" berangnya sembari berdiri dan pergi meninggalkan ruangan. Leo terlihat menghela napasnya sembari menggelengkan kepalanya. Matanya melihat ke arahku dengan ekspresi iba. Aku menghargai pembelaannya, tapi aku juga mengerti kenapa Elang tidak mau aku bekerja di cafe miliknya ini. Mungkin ia membenciku sama seperti aku membencinya. Pria ramah itu menghampiriku, "Rei, maafin kejadian tadi ya, tapi tenang aja ... jangan diambil hati kata-katanya yang pedas itu. Aku akan bicara dengannya nanti, mungkin mood-nya lagi kurang bagus saat ini," tuturnya. "Mas Leo, rasanya percuma bicara padanya. Elang pasti benci sama saya, Mas. Karena kemarin saya menampar pipinya dengan sangat keras di depan teman-temannya,” ungkapku. “Dan pastinya saya juga enggak akan nyaman bekerja di sini. Memang lebih baik saya cari pekerjaan di tempat lain saja," sambungku bercampur perasaan gengsi. Padahal aku sendiri enggak tahu lagi cari kerja kemana yang bisa menerimaku sebagai pekerja paruh waktu—dengan gaji lumayan. Kuhela napas panjang saat keluar dari ruangan tersebut meninggalkan Leo yang termangu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD