bc

Kurikulum Hati

book_age16+
61
FOLLOW
1K
READ
fated
mate
goodgirl
self-improved
inspirational
city
secrets
spiritual
widow/widower
naive
like
intro-logo
Blurb

Menjadi duda bukanlah sebuah keinginan, namun itu merupakan takdir yang harus di perankan, di mana Ardan harus merasakan peran sebagai ayah sekaligus ibu secara bersamaan, di saat sang istri dengan tega meninggalkannya bersama sang putri.

Ada kalanya, manusia tidak mampu memprogram apapun untuk hidupnya, dan kadang kala pula, sesuatu yang telah dirancang, meleset dari perkiraan.

Karena manusia hanya makhluk yang berjalan sesuai takdir yang digariskan Tuhan.

Manusia hanya bisa berencana, yang menentukan rencana mana yang terbaik adalah Tuhan.

chap-preview
Free preview
Bab 1 : Ardan dan Adiba
*Membaca Al-Qur'an lebih utama* Ardan menatap sendu mata sang anak yang sudah terpejam, seharian ini ia harus menahan tangisnya ketika anak semata wayangnya menangis histeris mencari sang ibu, wanita yang dengan tega meninggalkan dirinya bersama buah hati tanpa sebab, pagi yang seharusnya menjadi pagi yang paling indah, malah menjadi petaka dan kehancuran bagi Ardan dan juga Adiba yang baru berumur 3 tahun. Ia dengan sekuat tenaga mencegah agar wanita yang ia nikahi 4 tahun silam itu tetap tinggal bersama dirinya membentuk sebuah keluarga kecil, namun dengan tegas wanita itu menolak dan tetap pada pendirian nya untuk melangkah pergi, bahkan tidak menghiraukan jerit tangis Adiba yang memeluk memaksa untuk ikut. Sesak hati Ardan bertambah parah dengan keluarga besarnya yang ikut membenci balita tidak bersalah, cacian dan makian diterima oleh sang putri yang hanya bisa menutup telinga guna menghalau suara bentakan yang harus didengarnya. Ardan pada saat itu sama sekali tidak fokus dan hanya menatap kosong Adiba yang sudah menjerit histeris. Hingga tubuh kecil itu diangkat oleh kakak iparnya menuju kamar gadis malang itu. Dan di sini lah Ardan sekarang, menatap mata sembab itu dengan garis wajah penuh penyesalan. Kenapa ia tidak membawa sang putri menjauh dari cercaan? Putrinya sama sekali tidak bersalah dalam hal ini, dan mungkin ini kesalahan Ardan yang sama sekali tidak bisa mempertahankan keutuhan rumah tangganya. "Maafkan Abi, Nak, " ucapnya pilu, ia segera meninggalkan kamar sang anak, menuju tempat yang dulu menjadi ruangan favoritnya, tempat ia menghabiskan waktu bersama wanita yang kini malah menjadi duri dalam hidupnya, kini ia merasa berat untuk melangkah ke sana. Bayang-bayang Andini, sang istri masih menempati seluruh ruangan ini, tadi malam mereka baru saja menikmati indahnya pernikahan, namun pagi tadi pula, dirinya harus menelan pil pahit kegagalan pernikahan. Dengan tangan gemetar ia membuka pelan pintu bercat putih gading itu, matanya mengedar penuh waspada ke setiap sudut ruangan, hatinya remuk, dan angan yang telah ia susun dengan baik hancur lebur tanpa sisa. "Andini, mengapa sesakit ini kau beri luka pada kami? Apa kekuranganku yang tidak bisa kamu tutupi lagi? Bahkan tadi malam kita masih bisa membahas rancangan kehidupan untuk ke depannya " Ardan mengusap pelan setitik air di matanya. Menatap foto pernikahan yang terpajang besar tepat di atas ranjang mereka berdua, seharusnya ini menjadi cambuk bagi Andini untuk pergi meninggalkannya sendiri, pernikahan mereka bukan sesuatu yang bisa ditinggalkan dengan seenaknya. Masih banyak tanya yang bersarang di otak Ardan, namun tak satupun ia dapat menemukan jawabannya, kepergian Andini baginya sesuatu yang mustahil, karena selama ini mereka sangat baik-baik saja, tidak pernah ada masalah yang sampai membuat Andini memutuskam untuk pergi. Dengan tekad bulat, Ardan mengeluarkan semua barang Andini yang masih tertinggal dari kamarnya, cukup sampai hari ini ia berurusan dengan Andini, dan setelahnya, hanya ada kehidupan ia bersama sang putri, Adiba. -----*------- Pagi telah datang, sepasang mata itu tampak mengerjap pelan, menyesuaikan cahaya yang masuk ke retinanya, Ardan tersadar telah tertidur di lantai tadii malam, ia langsung bangun dan menuju kamar sang putri, ketika membuka pintu kamar Adiba, ia dikejutkan dengan kondisi putrinya yang sudah menggigil dan terus memanggil Andini. Suhu tubuh Adiba sangat tinggi, Ardan segera membawa gadis mungil itu ke rumah sakit, tanpa peduli dengan pakaian nya yang awut-awutan, dan tidak menggunakan alas kaki apapun, Ardan dengan panik langsung mengendarai mobilnya. "Bunda... Bunda...." Suara lirih itu membuat fokus Ardan terpecah, putrinya sakit setelah ditinggal oleh sang ibu, dan sekarang merintih memanggil Andini. Hatinya terasa sangat sakit, di saat seperti ini, ia sama sekali tidak bisa melakukan apa pun. "Sabar, Nak. Jangan sakit begini, Abi bingung," ucapnya sembari memeluk tubuh mungil itu seberat mungkin. 25 menit kemudian ia sampai di rumah sakit terdekat, dengan berlari tergopoh-gopoh, ia menghampiri seorang suster yang sudah menyediakan brankar untuk anaknya. "Tolong anak saya, Sus." Matanya mengawasi tubuh Adiba yang sudah didorong masuk di sebuah kamar inap. Fokusnya terpecah setelah dering ponsel yang berada di saku celananya berbunyi. Untung saja ia tidak ganti baju kemarin, dompet dan ponselnya masih berada di saku celana. Mama caliing.... "Assalamualaikum, Ma. Ada apa?" Tubuh Ardan menegang seketika, ucapan mamanya di sebrang telpon seolah menghancurkan seluruh raganya, surat panggilan sidang perceraian? Andini sudah sejauh ini melangkah tanpa berdiskusi dengan nya terlebih dahulu? Mama nya juga ingin mengirim Adiba ke panti asuhan? Yang benar saja, ia masih hidup, kenapa anaknya harus ke panti asuhan? "Pak, Ardan. Bisa kita berbicara?" Panggilan itu membuat Ardan kembali dari keterpakuannya, ia mengikuti langkah dokter yang memeriksa anaknya tadi. "Ada apa, Dok? Apa kondisi anak saya mengkhawatirkan?" Dokter itu tampak tersenyum maklum, ia hanya sedikit heran ketika melihat anak kecil itu hanya di dampingi oleh sang ayah, padahal biasanya pasien anak yang ia periksa akan selalu di dampingi sang ibu, terlebih lagi, sedari tadi gadis mungil itu selalu memanggil bunda dan bunda. "Begini, Pak. Kondisi Putri bapak hanya kelelahan saja, selebihnya tidak apa-apa, dan boleh saya bertanya, Pak?" Ardan mengangguk, ia sedikit takut tentang pertanyaan dokter di hadapannya ini. "Apa Putri bapak baru saja mengalami hal yang tidak menyenangkan?" Tubuh Ardan menegang, apa ini ada kaitannya dengan kepergian Andini? Apalagi sebelum pergi, mereka berdua bertengkar dengan hebat di hadapan sang putri. "Maaf jika pertanyaan saya menyinggung, akan tetapi saya sangat takut mengenai kondisi mental anak bapak, seperti ada ketakutan yang berlebihan." Lanjut sang dokter karena tidak ada tanggapan dari laki-laki di hadapannya. "Saya dan istri baru saja berpisah, dan keluarga saya melimpahkan masalah ini kepada putri saya, mungkin hal ini juga dipicu oleh anak saya yang belum bisa menerima itu semua." Dokter tersebut memandangnya dengan tatapan prihatin, dan Ardan sadar akan itu. "Tapi anak bapak ini masih terlalu kecil untuk memahami perceraian itu, saya menduga ada hal lain yang terjadi, Pak. Kita pantau terus kondisi mentalnya beberapa hari ke depan, semoga hasilnya baik yah, Pak." Ardan mengusap wajahnya kasar, kenapa keadaan semakin sulit seperti sekarang? Kenapa harus putrinya yang menerima? Ardan menatap tubuh mungil yang masih tergeletak tak berdaya itu, demam anaknya sudah mulai berkurang, namun efek dari kejadian demi kejadian ini belum ia ketahui. "Ardan!" Panggilan itu membuat Ardan membalikkan badannya lalu memandang tajam beberapa orang yang turut membuat putrinya dalam kondisi seperti ini. "Mau apa kalian?" tanyanya dengan sinis, beberapa orang yang terdiri dari kedua orang tuanya, adik dan adik iparnya dan beberapa keluarga lainnya, menatap ia dengan mata yang membola. "Tidak sopan sekali kamu, Ardan. Kami orang tuamu." "Orang tua yang membuat anak Ardan di kondisi yang tidak baik?" Bagi Ardan kondisi anaknya kini ada sangkut pautnya dengan keluarga besarnya. Bagaimana kemarin anaknya yang berteriak dan meringkuk ketakutan, kenapa ia tidak sadar, tatapan anaknya saat itu menatapnya dengan penuh meminta pertolongan kepadanya? Dan setelah kejadian itu, mata sang anak menatapnya sangat kosong, apalagi ketika ia berada di gendongan sang adik ipar. "Itu bukan kesalahan kami, emang anak kamu itu sama seperti ibunya, menyusahkan." "Ma! Cukup hina anak Ardan." "Kak Ardan, yang mana bilang itu benar, anak mas itu akan sama seperti ibunya, buah jatuh tak jauh dari pohonnya, kan? Dina takut anak mas akan seperti ibunya." Ardan terkekeh pelan, ia menajamkan tatapannya. "Kakak lebih takut anak kamu akan sama seperti ibunya yang tidak punya otak." Ardan yang mendengar itu meradang seketika, dengan keras ia langsung menampar sang kakak, bahkan beberapa orang yang berada di lorong yang sama dengan mereka menoleh penasaran. Ardan sendiri hanya berdiri tenang, ia tidak merasakan sakit dari tamparan adiknya, namun hatinya merasakan sakit, ketika dunia sang anak langsung berputar 180° setelah kepergian Andini. "Udah, Ardan. Lebih baik Adiba kita kirim ke panti asuhan yang kamu kelolah, setidaknya Adiba bisa kamu awasi, kan?" Ardan sontak mengeraskan rahangnya ketika pria paruh baya yang ia panggil Ayah, tega memberikan saran seolah Ardan membuang Adiba. "Yah, kenapa sekarang Ardan ragu, kalau ayah adalah orang tua Ardan?" "ARDAN! TIDAK SOPAN KAMU." Ardan sama sekali tidak peduli dengan bentakan itu, ia langsung masuk ke dalam ruangan sang anak, baginya kehidupan sang anak adalah hal utama, tidak mungkin ia menyerahkan putrinya ke panti asuhan, sedangkan dirinya masih hidup dan dalam kondisi yang mampu merawat anaknya. "Kita akan sama-sama, Diba. Kamu dan abi, kamu tenang aja, kita akan cari kehidupan yang baru, " batin Ardan.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
204.6K
bc

My Secret Little Wife

read
96.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
12.7K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.5K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.5K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook