Bab 2 : Ketakutan Adiba

1761 Words
*Membaca Al-Qur'an lebih utama* Ardan akan mengurus segala proses kepindahannya, saat ini ia tengah mengajar di sebuah universitas negeri, namun mengingat kondisi sang anak,, sudah saat nya ia meninggalkan zona nyamannya untuk membuat sang putri tenang, kota Bandung sudah terlalu berdarah untuk mereka berdua, tidak akan ada orang yang mampu mengerti lukanya maupun luka sang anak. "Nda... Nda..." Racauan itu membuat Ardan tersadar seketika, melihat tubuh sang anak yang menggigil ketakutan, ia khawatir apa yang dikatakan dokter tadi benar adanya. "Hey, Diba sayang. Ini abi, Nak." "Abi, nda mana?" "Bunda lagi kerja, sayang. Diba sama Abi dulu yah?" Gadis kecil itu yang sama sekali tidak mengerti apa pun hanya bisa mengangguk pelan, ia kembali menatap sang ayah yang berada di samping brankar nya. Mengelus pelan rahang tegas itu yang membuatnya geli setiap sang ayah menciumnya. "Bi, nda pasti pulang, kan?" Ardan mengangguk mantap, meskipun ia sendiri ragu akan hal ini. Tak lama kemudian pintu kamar inap terbuka, beberapa keluarganya masuk dengan wajah yang ketus. Adiba sendiri langsung memeluk erat tubuh nya, dengan badan gemetar penuh waspada, Adiba sampai tidak sadar jika posisi infus di tangannya sudah berubah. Mengakibatkan aliran darah naik melalui selang infus tersebut. "Ya Allah, Nak. Diba kenapa? Infusnya sampai begini, Abi panggil dokter dulu yah?" Anak kecil itu menggeleng kuat, badannya bertambah gemetar, sampai pernapasan sang anak tampak tersendat, Ardan panik, ia tidak menyangka kondisi anak bisa separah ini. "Yah, ma, minta tolong panggilkan dokter. " "Biarkan aja, sekalian mati juga gak masalah." "MAMA!!" suara menggelegar itu berasal dari Ardan yang sudah meneteskan air matanya tidak percaya, apa ini wanita yang sudah melahirkannya selama ini? Suami dari Ardina langsung berlari mencari dokter, jangan sampai keponakannya itu terlambat ditangani, karena pertengkaran yang sangat tidak bermutu itu. "Kalau mama tidak mau menolong anak Ardan, ya sudah! Tapi jangan sekalipun mendoakan sesuatu yang tidak baik, Ardan tidak terima." "Kamu bentak mama?" "Iya! Ardan bentak mama, kenapa?" "Kamu durhaka sama mama, Ardan! " Ardan terkekeh sinis, durhaka katanya? Lalu bagaimana dengan ibunya ini yang sama sekali tidak memiliki hati? "Ardan gak peduli. Ingat ma! Adiba itu anak Ardan, tanggung jawab Ardan, jadi siapapun yang mengganggu Adiba, Ardan tidak akan terima! Ardan harap kalian keluar semua, KELUAR! " Usiran itu berbarengan dengan masuknya dokter yang menangani sang putri. Ardan langsung saja mengikuti langkah dokter tersebut, tanpa memperdulikan lagi keluarganya yang memandang ia dengan tatapan murka. Tak lama suara langkah kaki terdengar keluar dari ruangan itu, Ardan menghela nafas lelah. Sampai kapan keadaan harus seperti ini? "Pak, seperti yang saya katakan tadi, putri bapak mengalami ketakutan-ketakutan pada beberapa peristiwa yang terekam dengan jelas di otaknya, tolong jauhkan putri bapak dari sesuatu yang menjadi pemicu ketakutan ini muncul." Adiba mulai ketakutan ketika keluarga besarnya datang, apa mungkin ketakutan sang anak berasal dari keluarga besarnya? "Kalau boleh tau, dok. Rasa takut ini terjadi karena apa?" "Bisa saja terjadi karena ada rasa trauma terhadap sesuatu itu, Pak. Jadi saya mohon tolong di pantau anaknya." Sebelum kejadian ini, sang anak baik-baik saja, kecuali malam itu, malam di mana sang istri pergi di hadapan anaknya dan juga keluarga yang menghakimi sang putri dengan brutal tanpa pembelaan darinya. Ia memutuskan untuk menenangkan diri di sebuah musholah. "Ya Allah, hamba salah kemarin, terlalu fokus terhadap luka yang hamba rasa, tanpa melindungi anak yang menjadi amanahmu." Lirihan nya dalam sujud malam ini, air matanya menetes tanpa ia perintah, ia sadar semua kesalahan ini berawal dari ketidakmampuan dirinya menjaga keutuhan rumah tangga, dan berdampak pada mental sang anak. Ia merasa sangat bersalah, sampai kapan anaknya harus menanggung ini? Bagaimana cara ia menjauhkan sang anak dari keluarga besarnya? Mungkin ia harus meninggalkan Bandung menuju kota lain, ia akan segera mengurus surat kepindahan mengajarnya secepatnya. Meski harus ia akui, ia sudah betah dan nyaman mengajar di tempatnya sekarang, akan tetapi, demi sang putri maka sudah sepatutnya ia mengedepankan rasa nyaman Adiba dibandingkan dengan kenyamanan dirinya sendiri. "Ingat Ardan, hidupmu sekarang jangan untuk Adiba." Kalimat yang akan terus ia tanamkan dalam dirinya, agar ia ingat untuk tujuannya sekarang. Keadaan Adiba perlahan-lahan mulai tenang, dan sudah ceria seperti biasanya, meski pada awalnya ia harus memperbanyak kesabarannya untuk menghadapi segala macam reaksi yang akan diberikan sang anak ketika melihat orang lain. "Ardan. " Ardan memutar tubuhnya, lalu tersenyum ketika melihat sahabat karibnya sudah sampai di ruang rawat inap secepat ini. "Arsyad, Alhamdulillah kamu udah sampai." "Alhamdulillah, Ardan, sekarang kamu harus menceritakan dengan lengkap apa sebenarnya yang terjadi?" Ardan tersenyum sendu, ia kembali mengingat kejadian kemarin. "Andini, kamu ingin kemana dengan koper itu?" Ardan yang baru pulang dari menghadiri seminar pun dibuat terkejut dengan istrinya yang sudah menenteng koper besar, sedangkan putrinya sudah menangis histeris di bawah kaki Andini. "Aku mau pergi, Mas. " "Iya, pergi kemana? Kenapa mendadak?" Wanita itu tampak menghela nafas lelah. Tanpa memperdulikan anaknya yang meraung, ia menatap dengan angkuh suaminya, Ardan. "Aku bosan sama kamu, kita terlalu monoton untuk pasangan suami istri, kamu yang terlalu kaku, dan aku yang mudah bosan. Jadi, lebih baik kita akhiri sekarang saja," ucapnya dengan lantang, seakan hal ini sudah ia tutupi sudah lama. Ardan sendiri menyadari, dirinya bukan tipe laki-laki yang mudah mengumbar kemesraan dan romantis, bahkan bisa dihitung ia menyatakan cinta dan sayang pada istrinya, Ardan pikir, tindakan lebih perlu dari pada pernyataan, namun kenyataannya, Andini jenuh dengan segala perlakuannya. "Tapi, semua bisa kita omongin bareng-bareng, kan? Kasian Adiba. " "Aku gak peduli, kamu urus saja anak kamu itu, dan satu lagi, jangan mempersulit segala proses perceraian kita. " Pergi, wanita itu yang ia nikahi dengan segenap hati memilih pergi, meninggalkan putri semata wayangnya yang sudah menangis histeris dan mengejarnya keluar, namun belum sempat mencapai Andini, Ardan segera menarik gadis kecil itu, ia tak ingin anaknya merasakan kecewa yang mendalam. "Sudah, Nak. Biar bunda pergi." "Bi... Nda.. hiks... Nda." Tangisan itu sungguh menyayat hatinya, tak pernah ia duga sebelumnya akan berada di posisi seperti ini, harus mengalami kegagalan paling berat bersama sang putri di rumah besar ini sendiri. Tangisan Ardan tidak bisa berhenti, ia tidak bisa memendam luka separah ini sendiri, Arsyad salah atau dari orang yang bisa ia percaya, sahabat semasa kuliah hingga sekarang. Arsayd sendiri sudah ikut meneteskan air mata, Ardan merupakan sesosok laki-laki yang paling bisa menjaga tanggung jawabnya, apapun tugas yang ia emban akan berjalan sesuai dengan yang seharusnya. Namun hal ini tidak berlaku dengan membina keluarga, entah apa kesalahan sahabatnya ini sampai Andini memutuskan untuk meninggalkan Ardan tanpa sebab. "Ardan, salah satu seorang hamba dekat dengan Tuhannya adalah sholat, lu udah sholat?" "Alhamdulillah, udah, " sahut Ardan serak. Arsyad menghela nafas sebentar, ia harus meluruskan masalah ini. "Sebenarnya, dua hari kemarin gua ketemu sama bini lu di cafe Thamrin, gua pertama mikir, mungkin ada urusan dan Andini udah pamit ke elu, pas mau gua samperin, ada hal ganjal yang buat pikiran gua jadi negatif, gua belum beranjak speak up, karena takutnya fitnah." Ardan tampak terkejut, gerak tubuhnya menandakan jika selama ini Ardan tidak tahu menahu mengenai sang istri. "Ardan, wanita itu bukan hanya butuh tindakan semata, kadang kala wanita butuh pengakuan yang membuat mereka yakin, mungkin kita bisa saja berpikir, yang penting tindakan bukan ucapan, tapi lu tahu kan? Kalau wanita lebih mengedepankan perasaan, bukan logika? Untuk kita yang hanya modal setia, harus benar-benar menjaga apa yang kita punya. " Arsyad melihat sebentar ke arah Ardan, melihat sahabatnya yang terdiam ia pun melanjutkan lembu penjelasannya. "Dan menurut gue, lu terlalu mengedepankan logika, bro. Sorry gua ngomong begini, tapi kita juga harus bisa ambil sisi sudut pandang yang lain, tindakan Andini gak bisa gua benarkan sama sekali, tapi terlepas dari itu, kepergian Andini juga ada sebab. Terus semangat, lu pasti bisa, ingat ada Adiba yang harus lu jaga, Andini pergi itu takdir Tuhan, meskipun kita sama-sama tau, perceraian adalah perkara yang diperbolehkan, akan tetapi Allah sangat membencinya. Ambil pembelajaran dari ini semua, Ardan. Setelah ini lu mau ngelakuin apa? " " Gua mau ajak Adiba pindah dari kota ini, Syad. " "Kenapa?" Arsyad sedikit kaget mendengar keputusan Ardan, mengapa harus pindah? "Adiba sedang dalam fase down banget, anak gua mentalnya sedikit terganggu, dia akan merasa sangat ketakutan ketika lihat keluarga gue, itu buat hati gua rasanya sakit banget, malam itu gua gak bisa berbuat apa pun. " Penjelasan Ardan membuat Arsyad didera syok seketika, hatinya ikut sakit mendengar ini, Adiba? Gadis mungil itu harus mengalami semuanya. "Keluarga lu gimana?" Ardan terdiam, ia masih enggan sebenarnya membahas keluarga besarnya yang kejam itu, namun Arsyad bukan orang asing baginya. "Emm... Keluarga gua nyaranin buat ngirim Diba ke panti asuhan yang gua kelolah." "Maksudnya bagaimana?" "Keluarga besar gua nolak kehadiran Adiba, semenjak kepergian Andini, semua kesalahan istri gua itu dilimpahkan ke anak gua, Syad. Gua harus apa? Kemarin anak gua harus lihat pakai matanya sendiri bundanya pergi, gak lama setelah itu keluarga besar gua datang dan langsung ngelontari kalimat-kalimat kasar, bentakan, bahkan perlakuan kasar lainnya, sedangkan gua? Cuma diem sambil mikirin hati gua yang masih bertanya kesalahan gua, tanpa peduli Adiba udah meringkuk ketakutan, bahkan malah oom nya yang menarik Adiba dari semua itu, bukan gue yang notabennya sebagai ayah. Kurang b***t apa lagi gue, Syad? " Tangan Arsyad terkepal kuat, baginya ini sudah termasuk kejahatan yang kejam, anak umur 3 tahun bahkan tidak mengetahui apa pun itu yang terjadi dengan orang dewasa, lalu mengapa Adiba harus menerima konsekuensi yang dia sendiri tidak membuat masalah? Seharusnya Andini dan Ardan saja, bukan Adiba. "Sekarang kondisi, Adiba bagaimana?" "Masih lemah, tapi udah bisa diajak berbicara, tidak seperti tadi yang berteriak ketakutan melihat kedatangan keluarga gue. " "Jangan bilang, Adiba trauma sama keluarga lu, Dan?" Anggukan dari Ardan membenarkan apa yang Arsyad tanyakan, ia tidak bisa menampik itu, Adiba mengalami sekelumit masalah ini juga berkat keluarganya yang tidak memiliki hati itu. Entah harus bagaimana caranya ia menyembuhkan sang anak? "Gua dukung lu pindah, tapi gua juga harus ikut." "Kenapa lu harus ikut?" Pasalnya Arsyad sendiri seperti yang ia ketahui sangat nyaman dengan pekerjaannya di sini. "Gua emang udah rencanain balik ke Medan, orang tua gue semakin tua, Dan, adik gua juga udah nyuruh gua pulang, lu tau gimana lah kedua orang tua gua. " Ardan terkekeh, ia cukup tau tabiat orang tua Arsyad yang sedikit unik dari yang lain. "Yah, gua tau... " Sebuah ide terlintas di benak Ardan, mengapa ia tak ikut Arsyad saja pindah ke kota kelahiran sahabatnya itu? Mungkin di Medan ia bisa mendapatkan kebahagian bersama sang anak. "... Syad, boleh gak gua ikut lu ke Medan? " "Serius? Lu yakin mau ikut ke Medan? " "Yakin, udah seharusnya gua ninggalin semua yang ada di Bandung, keadaan Adiba juga pasti lebih baik di sana, dari pada di kota ini, tapi dilingkupi rasa takut. " Arsyad mengangguk, kepindahan sahabatnya sudah telat menurutnya, mengingat kondisi Adiba yang butuh ketenangan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD