Sebelum adzan shubuh berkumandang, aku sudah terjaga dari tidur membantu ibu mengerjakan pekerjaan rumah, memasak, mencuci baju dan menyapu halaman karena pukul enam pagi ibu sudah harus sampai rumah majikannya dan pukul setengah tujuh pagi aku sudah harus berangkat ke sekolah setiap harinya.
Hanya aku yang ibu miliki, tinggal di rumah berdua membuat hubungan kami sangat dekat. Ibu adalah satu-satunya hal paling berharga dalam hidupku, ia adalah seorang Ibu yang pengertian, penuh kasih sayang dan perhatian. Bagiku ia bukan hanya seorang Ibu tapi juga seorang sahabat.
Walau pun ini hari Minggu, tapi hari ini aku harus berangkat lebih pagi, jam setengah enam aku sudah harus sampai di sekolah karena hari ini adalah hari istimewa bagi kota kami, guna memperingati pekan batik nasional maka hari ini akan digelar festival kostum karnaval batik dan aku didapuk oleh sekolahku untuk menjadi modelnya, memakai kostum karnaval batik yang bertemakan biota laut sesuai tema acara tahun ini.
Aku mengendarai sepedaku dengan kecepatan penuh menuju sekolah, angin yang berhembus dingin tidak bisa menghalangi semangatku karena kata Intan temanku tidak boleh datang terlambat, entah kemarin berapa kali kata itu dia ucapkan seharian.
***
Wajahku sudah full makeup, dengan eyeshadow berwarna biru sesuai warna kostumku yang bertema samudra dan lipstik merah menyala membuatku geli melihat wajah sendiri di cermin, selama ini wajahku memang tidak pernah memakai make up, aku lebih senang tampil natural walaupun kadang wajahku harus belang terbakar sinar matahari karena aku tidak bisa membeli tabir surya, sayang, uang yang sudah susah payah aku kumpulkan. Bukankah lebih baik uang itu aku gunakan untuk membeli buku.
Intan tampak centil berlenggak lenggok dengan kostum mirip ikan pari berwarna coklat yang ia kenakan, sahabatku memang seperti itu, selalu ceria dan meramaikan suasana dengan tingkahnya yang apa adanya.
"Ayo ... ayo cepat! semua talent bersiap ambil posisi masing-masing." seru Pak Budiman guru kami, mengiring dan menata semua muridnya yang terlibat acara pada posisi masing-masing.
Suasana stadion Hoegeng yang menjadi start karnaval budaya ini sangat ramai, penuh sesak oleh pengisi acara dan masyarakat yang ingin menyaksikan karnaval yang di gelar setahun sekali ini.
Acara pun berlangsung meriah, selain karnaval kostum berbagai tarian dan alat musik tradisional pun di gelar, memenuhi sepanjang jalan Kemakmuran dan akan finish di kawasan budaya Jetayu jalan Diponegoro.
Sepanjang trotoar dipenuhi masyarakat yang ingin menyaksikan acara ini banyak dari mereka mengabadikan penampilan kami dengan kamera ponsel mereka banyak juga fotografer profesional dan pers dari berbagai media massa. Namun, ada salah satu dari mereka yang sedari tadi mengganggu fikiranku seorang pemuda berpawakan tinggi badannya tidak terlalu besar, mungkin usianya tidak terpaut jauh dariku selalu berjalan di sampingku, mengambil gambar tapi hanya gambar diriku saja, mungkin ia sangat suka dengan kostum yang aku pakai. Kostum ini memang sangat indah, membuatku seperti seorang putri laut, dengan mahkota yang menjulang dihiasi mutiara dan kerang-kerang kecil. Walau pun membuatku sedikit pusing karena beratnya.
Berlenggak-lenggok dengan kostum yang lumayan berat dan menempuh jalan yang jauh membuatku sangat lelah, keringat mengalir di pelipisku. agak ragu saat dia mengulurkan tissu padaku.
"Ambil aja, nanti makeupnya luntur lho." ujarnya datar.
"Makasih," ucapku sambil mengambil tissu yang ia ulurkan.
Senyum tersungging dari bibirnya, senyum yang terasa berbeda bagiku. Ia berlalu meninggalkanku. rombongan terus berjalan, senyum kanan, senyum kiri kulakukan semanis mungkin walau kakiku terasa sangat lelah. ingin rasanya duduk 'sedeprok' saat itu juga.
"Tunggu ... tunggu." tidak kuhiraukan, lagi pula sedari tadi memang riuh sekali di sini mungkin saja panggilan itu bukan untukku.
Aku menoleh pada lelaki itu, lelaki yang memberiku tissu, dia sedikit berlari berusaha menyejajarkan langkahnya denganku.
"Ini, pasti hauskan," kali ini sebotol air mineral yang ia ulurkan padaku.
"Hah?" Aku bingung hendak menerimanya atau tidak.
"Udah minum aja, nggak mungkinkan aku ngeracunin kamu di tempat rame begini." Katanya meyakinkanku.
Benar juga yang dia katakan, aku meraih botol itu meminumnya hingga tersisa hanya setengah. Sementara dia kembali sibuk menjepretkan kamera, aku mencuri pandang pada wajah tampannya. Tapi sial! dia memergokiku lalu tersenyum senang, pipiku jadi terasa hangat karena malu.
"Makasih, lagi ya." ucapku sambil menahan senyum malu.
"Iya." Jawabnya sebelum menjauh.
Mendekati finish di kawasan budaya Jetayu iring-iringan semakin padat merayap, jejak-jejak kehadiran pria baik hati tadi sudah tidak terlihat lagi.
+++
Menjelang maghrib rombongan kami masih berkumpul di halaman sekolah, bercanda tawa membahas segala hal yang terjadi hari ini, lelah jadi tidak begitu terasa jika sedang berkumpul bersama teman-teman begini.
"Rayisa!" panggil suara yang sangat kukenal. seorang pemuda berwajah lumayan tampan menaiki sepeda ontel menungguku di depan gerbang sekolah.
"Iya, Mas. tunggu!" jawabku setengah berteriak.
"Temen-temen aku pulang dulu ya, udah di jemput." Pamitku pada teman-teman yang masih betah di sana, entah kapan mereka akan pulang.
"Cie... cie... Rayisa di jemput cowok'e." Ledek Intan sambil menowel lenganku.
"Sstthh ... dia itu Mas Wahyu, sepupuku!" jawabku sambil berlalu, tidak kuhiraukan bibir Intan yang sedikit terbuka bukti akan mengeluarkan kata. Paling mau minta di perkenalkan pada Mas Wahyu.
Aku mengambil sepeda di parkiran dan segera menghampiri Mas Wahyu yang tampak berbincang dengan seseorang.
"Mas, tumben jemput aku?" Tanyaku setelah berdiri di sampingnya.
"Iya. di suruh bulek Rahayu, katanya takut kamu pulangnya kemaleman. oh iya kenalin ini temen kuliah Mas namanya Aldo." Mas Wahyu memang kuliah di Jakarta, baru dua hari pulang karena adiknya mau di khitan, aku dengar dari Ibu ada temannya ikut. Ingin mengenal Pekalongan katanya, tapi kami belum sempat bertemu, padahal rumah Mas Wahyu tidak begitu jauh dari rumahku.
"Tunggu dulu, kamu yang tadi ngasih aku minuman 'kan!" Tanyaku memastikan.
"Iya," jawabnya sambil mengulurkan tangan, "Aldo," ia memperkenalkan diri.
"Rayisa, sekali lagi terima kasih, ya." Ujarku sambil menjabat tangannya.
***
Pelan kukayuh sepeda di sebelah Mas Wahyu yang juga mengayuh sepedanya sambil membonceng Aldo.
"Mas Aldo kok tadi liat karnaval sendiri, emang Mas Wahyunya ke mana?" tanyaku penasaran.
"Iya, tadi tuh si Wahyu sibuk pacaran. makanya aku sendiri, untung aku nggak ilang, gimana coba kalau aku ilang di kota orang?" jawabnya sedikit berlebihan tapi terdengar lucu, aku jadi tersenyum di buatnya.
"Lhah tadi kan kamu yang bilang mau jalan-jalan dulu cari cewek cantik, terus ninggalin aku di warung megono --makanan khas Pekalongan-- iya tho! gimana ketemu cewek cantiknya?" sanggah Mas Wahyu yang nampak kelelahan mengayuh sepeda.
"Aku nggak ketemu cewek cantik, tapi ...." Mas Aldo menjeda bicaranya.
"Tapi apa?" tanya Mas Wahyu penasaran.
"Tapi aku ketemu bidadari," jawab Mas Aldo sambil melirikku.
Aku hanya tertunduk malu menahan senyum, tidak terasa perjalanan kami telah mencapai tujuan, aku berhenti di halaman rumah.
"Mas Wahyu nggak mampir dulu?" tanyaku pada Mas Wahyu yang juga menghentikan sepedanya.
"Nggak, udah maghrib. besok aja Mas maen." jawabnya.
"Ya udah, makasih ya udah jemput." ucapku pada mereka yang semakin menjauh, Mas Aldo hanya tersenyum sambil melambaikan tangan.
"Assalamualaikum ...," ucapku sambil memasuki rumah, tidak terdengar jawaban ibu mungkin beliau sedang sholat.
Aku terperanjat melihat wajah pada cermin yang tergantung di dinding ruang tengah, ya ampun ... wajahku.
Rupanya tadi aku belum terlalu bersih menghapus makeup hingga sisa eyeliner mbeleber ke mana-mana bercampur keringat, jadi dari tadi aku bertemu Mas Aldo dengan penampilan mirip hantu begini? oh Tuhan! mau di taruh di mana mukaku, malu ....
Eh tapi tadi dia bilang aku mirip bidadari?
apa ada yang salah dengan matanya?
+++
Malam ini, aku makan malam bersama ibu, sayur bening daun ubi jalar dan sambel panggang atau yang lebih di kenal ikan asap menjadi menu favorit kami.
Kami berbincang ringan.
"Nduk, kamu udah ketemu sama temennya Mas Wahyu?" tanya Ibu membuka pembicaraan.
"Udah, Bu. tadi dia ikut Mas Wahyu jemput aku di sekolah." jawabku sambil menyantap masakan Ibu yang memang selalu terasa lezat.
"Ganteng yo nduk!" tumben Ibu memuji seorang pemuda biasanya Ibu selalu cuek, bahkan terkesan tidak suka jika ada pemuda yang mendekatiku.
"Eemmm ... iya sih, Bu. tapi selain ganteng dia juga baik." jawabku ringan.
"Baru ketemu bentar, kok kamu udah bisa bilang dia baik." tanya Ibu.
"Tadi waktu karnaval, kami udah ketemu dia beliin aku minuman padahal kami 'kan belum saling kenal," ceritaku, "eh ternyata dia temennya Mas Wahyu," imbuhku.
"Iya sih, emang Ibu lihat juga sepertinya dia anaknya baik, sepertinya beda sama anak-anak yang lain." Lagi, Ibu memujinya.
"Yah, semoga saja baiknya bukan cuma modus," Aku berkata sambil membereskan piring bekas kami makan.
"Modus? apa itu 'Nduk?" tanya Ibu bingung.
"Modus itu modal dusta, Bu. baiknya cuma karena ada maunya saja, padahal aslinya ya siapa yang tau." terangku pada Ibu.
"Dasar anak muda jaman sekarang, suka menciptakan kosa kata sendiri. nggak mudeng Ibu." jawab Ibu sambil terkekeh.
Bahagia rasanya bisa melihat Ibu tertawa, hanya beliau yang aku miliki saat ini. akan kulakukan apa saja untuk membahagiakannya.