Empat

1209 Words
Sekilas aku menatap pantulan tubuh di cermin, lantas tergesa menyambar jilbab, mengenakannya sambil melangkah cepat menuju pintu karena ketukan tak sabar lagi-lagi terdengar. Aku menyentak napas. Dasar manusia tak sabaran. "Kan tadi aku udah bilang mau ngajak jalan, seharusnya kamu siap-siap." cerocos Ian saat aku membuka pintu kamar lalu melangkah keluar, berdiri diam di depannya. Ia memerhatikanku cukup lama. Apa ia terpukau? "Kenapa? Ada yang salah?" Ganti aku mengamatinya. Ia terlihat santai dengan kaos hitam polos tanpa lengan dan jins panjang agak pudar yang sobek di beberapa tempat. Kaca mata hitam bertengger di kepalanya. Ian menggeleng kecil, tatapannya terus merayapi tubuhku. Bibirku melekuk senyum. Mungkin, ia terpesona padaku. Tubuh tinggi langsing, wajah putih mulus kekanakan, bibir seksi merah muda. Selain itu, aku juga ceria, mudah beradaptasi dengan orang baru dan punya pembawaan menyenangkan. Saat masih jadi pelajar, banyak sekali teman sekelas maupun kakak senior yang berlomba merebut perhatian, bak sekumpulan laron mengerubungi lampu. Aku merasa geli sendiri saat terkenang pada kakak kelas yang mengejarku tanpa lelah. Ia sekelas dengan Mas Aswin, 3 SMP, sementara aku kelas satu. Cowok itu selalu bertingkah menyebalkan--mengirim surat, menitipkan salam rindu pada banyak teman sekelas, namun selalu kucueki. Pernah juga, ia mengumandangkan perasaannya dengan pengeras suara, membuatku malu sekali. Membuat rasa benci padanya kian bertambah. Meskipun begitu, aku sedikit berterima kasih karena atas semua perbuatannya, akhirnya aku dan Mas Aswin yang dulu sangat cuek menjadi dekat. "Senyum-senyum sendiri! Apa ada yang lucu? Jangan-jangan ... kamu kesambet setan!" Ian mengerutkan kening. Menatap dengan pandangan menyebalkan. Aku mengerucutkan bibir, berusaha menepis keinginan agar tak mengoreksi penampilannya. Alay banget, seperti anak ABG baru tumbuh. "Ayo!" Ian melangkah mendahului, telunjuknya segera menekan tombol di dinding dekat dua pintu besi yang tertutup. Pintu membuka perlahan, ia bergegas masuk. Aku terpana saat pintu mulai bergerak menutup. Waaah, amazing. Bisa membuka dan menutup secara otomatis, yang seketika memisahkanku dan Ian. Sigap aku mendekat ke arah tombol. Tadi Ian tekan yang mana, yaa? Kakiku refleks mundur saat pintu membuka sendiri, padahal, tangan belum sempat menekan tombol. Di dalam ruangan kecil segi empat, Ian menatap dengan wajah cemberut. "Bodoh! Ayo, cepat masuk!" serunya sambil bergerak cepat menarik tanganku. Pintu menutup pelan-pelan menutup. Mau ngapain sih masuk ruangan ini? Lantai tiba-tiba terasa bergerak. Aku langsung merapat pada Ian, serta-merta melingkarkan tangan kanan ke lengannya. Ian menoleh terkejut. Tetapi sesaat kemudian bahunya berguncang. Terlihat sekali ia sedang menahan tawa. Dasar menyebalkan! Apanya yang lucu! Orang takut kok ditertawai. Aneh. "Dasar orang desa. Aku juga orang desa tapi nggak segitunya." Ia akhirnya tertawa. Kuberi pandangan sebal. Pintu terbuka sendiri. Kami segera keluar. Wah, sungguh ajaib sekali ruangan dan pintu tadi. Tahu-tahu, sudah ada di bawah. Tatapan spontan menyisir sekitar, pada bunga-bunga cantik di dalam pot yang berbaris rapi di halaman yang tak begitu luas, lalu ke arah jalan, di mana berbagai kendaraan terus melintas. Aku dan Ian berjalan beriringan menuju gerbang rendah bermotif bunga yang terbuka lebar. Tepat di depan gerbang, agak ke pinggir, terpacak plang tinggi dengan papan putih bertulis "Dr. Ardian". "Kita mau ke mana?" tanyaku sambil menoleh menatap Ian yang tiba-tiba menyambar tanganku, menariknya menuju jalanan. Beberapa kendaraan langsung mengklakson tak sabar. "Jalan-jalan," sahutnya setibanya di tepi jalan. Tangannya melambai ringan saat bis aneh berwarna oranye--beda sekali dengan bis di desa--bergerak mendekat. Kami segera masuk. Sekitar 20 menit, sampailah kami di pusat perbelanjaan. Wah, ramai sekali. Di pinggir jalan, berjajar gerobak aneka warna. Ian mendekati salah satunya. "Dua." Pesanan segera dibuatkan. Ian memberikan satu tusuk panjang keripik kentang padaku. Aku menerimanya, menatapnya lekat. Aneh. Tak ada keripik kentang macam begini di desa. "Ayoo," katanya sambil melangkah mendahului. Melihat Ian melangkah mantap penuh semangat, tiba-tiba wajah Mas Aswin membayang di benak. Kenapa tak memberi kabar, Mas? Perasaan senang yang sejak tadi menyelimuti d**a karena menemui hal-hal baru, perlahan mengendur. Bagaimana mungkin saat ini aku bukan bersama Mas Aswin, malah dengan lelaki asing? Ian menghentikan langkah. Menoleh. "Ada apa? Ayoo." "Apa Mas Aswin gak nelpon kamu?" Suaraku lirih. Ian menarik napas. "Nggak." Aku menunduk sedih. Mendadak, aku tak ingin lagi ke mana-mana. Lampu-lampu yang bersinar dari arah gedung, sudah tak lagi mengusik perhatian. Ian mendekat, lalu menggandeng tanganku. "A-yoo!" Aku menyentak tangan Ian, lalu mengikutinya dengan langkah malas. Ian sepertinya mulai menyadari tingkahku. Alih-alih masuk ke dalam gedung yang ramai, ia malah menyambar tanganku, menariknya cepat menuju terminal, melompat naik ke bis serupa yang tadi kami naiki. "Duduk." Aku menurut. Mata menatap lurus ke depan. Beberapa penumpang berlarian masuk. Banyak kursi kosong, tapi Ian tetap berdiri, tangannya menyentuh sandaran kursi keras yang kududuki. Bis bergerak perlahan membelah keramaian. Sang kondektur terus berteriak "Pondok Labu! Pondok Labu!" Sesekali, bis berhenti dan menaikkan penumpang. Ian melangkah ke tengah, bertepuk tangan. "Lagu ini ... kupersembahkan untuk dia." Tangannya menunjuk ke arahku. "Yang sedang bersedih." Sambil terus bertepuk tangan, Ian mulai bersenandung. Hmm, lumayanlah suaranya, enak di dengar. Sejak aku mengenali dirimu Bermacam dugaan yang kuhadapi Adakala tersentuh rasa hati Adakala cemburu melukai Namun aku tempuhi dengan sabar Ian menatap ke sana-kemari, bertepuk tangan dengan wajah menghayati. Sejak aku jatuh cinta padamu ... Perasaan aku sering terganggu ... Adakala aku rasa curiga ... Adakala semacam tak percaya Adakah kau setia kepadaku Ian mengerling ke arahku. Dasar alay. Beberapa penumpang bertepuk tangan. Sesekali, Ian tersenyum. Lekuk kecil di pipi, gigi gingsulnya, membuatnya terlihat begitu manis. Perlahan, aku mulai bertepuk tangan. Meringis saat tangan seperti tersengat. Sakit. Oleh kerana hatiku setia Sebab itulah teguh cintaku Oleh kerana hati sudah terpikat Sebab itu aku sayang Ian menjulurkan tangan ke arahku, tersenyum menawan. Beberapa penumpang bersuit-suit. Penumpang di dekatku berkata, "Itu dokter Ardian, kan, langgananmu?" "Iya, kukira dia itu jomblo." Aku tertawa kecil mendengarnya. Jangan-jangan ... mereka menyangka aku pacarnya. Suara Ian mengeras. Dari hari ke hari aku terus merindui Dan aku dapat rasakan betapa hatiku sukar Nak melepaskanmu Biar terpaksa susah payah Namun kurelakan Asalkan kita terus dapat oh bersama selamanya Tangannya lagi-lagi menunjuk ke arahku. Aku tersenyum sendiri saat membayangkan Mas Aswin si lelaki kaku itu yang melakukannya. Pasti lucu. Oleh kerana hatiku setia Sebab itulah teguh cintaku Oleh kerana hati sudah terpikat Sebab itu aku sayang "Terima kasih sudah mendengarkan." Lalu, ia merapatkan telapak tangan, berjalan mendekati kursi paling depan. "Silakan mbak sedekahnya, moga panjang umur, enteng jodoh, murah rizki, di sayang pacar." Aku tersenyum kecil. Astaga, Iaaan. "Terima kasih, Mbak. Terima kasih, Mbak. Makasih, Pak. Ayo, Bu, sumbangannya. Makasih. Makasiih." Ian melewatiku, terus meminta uang. Hingga akhirnya, ia berdiri di dekatku, menatap sambil tersenyum lebar. Lihatlah dekik kecil di pipinya, sungguh manis sekali. Mirip Mas Aswin. "Ini buat kamu, jangan sedih lagi, yaa. Ya? Ya?" Ia mengerling, mendesak-desakkan tangan ke lenganku, mungkin maksudnya agar segera kuterima. Beberapa penumpang bersuit-suit, ada pula yang bertepuk tangan. Duh, malunya. Segera saja aku menangkupkan tangan, menutup muka. Ian tertawa. Aku membuang tangan dari wajah, menatapnya sebal. "Baiklah, baiklah, aku bawain dulu." Ia tersenyum, lalu tangannya memasukkan beberapa lembar uang 2 ribuan, lima ribuan, beberapa keping recehan ke saku celana. "Mau kembali ke Blok M lagi, atau tetap pulang?" Bis berhenti. Macet. Sudah begitu, debu beterbangan masuk. Aku sesekali membekap hidung. "Ya begini rasanya kalau naik metromini. Kamu gak nyaman? Lain kali, aku ajak naik mobilku aja." "Nggak papa," sahutku pelan. Ian mengangguk-angguk. "Aku paling males bawa mobil pas waktu orang berangkat dan pulang kerja.  Gak sabar ngendarainnya karena sangat macet. Kamu beneran gak papa?" Ia menunduk, menatapku lama. Aku mengangguk. "Gak papa.  Ini hal baru bagiku. Bisnya apa tadi, namanya?" Ian tertawa kecil. "Metromini." Aku mengangguk-angguk. Di sekitar metromini, kendaraan begitu padat. "Turun aja yuk, makan dulu." Belum juga aku menyahut, ia sudah menyambar tanganku. Segera kami melompat turun, lalu mendekati salah satu penjual gorengan. Tak jauh dari sini, nampak seorang penjual berteriak-teriak, tangannya yang menyentuh sehelai baju berayun-ayun ke udara. "Baju murah. Baju murah. Murah. Muraaah!" "Ayo kesana!" Ian menarik tanganku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD